BAB 2

224 31 101
                                    

Bomi membuka matanya kala kedua telinganya mendengar suara bising yang sedikit asing baginya.

Kepalanya terasa berat, ditambah cahaya terang yang berasal dari lampu di ruangan ini membuatnya tak bisa melihat dengan jelas. Seperti ada yang mengganjal di matanya.

Selang beberapa saat, gadis itu akhirnya bisa membuka kedua matanya lebar. Diamatinya ruangan tempat ia berada. Tak ada manusia selain dirinya. Tapi ia tak sendiri juga karena dari tembok barusan ada perempuan dengan pakaian seperti biarawati melintas, mirip dengan valak, pikirnya. Bomi menatap lurus kedepan seolah benar-benar tak bisa melihat perempuan itu. Bersyukur, ia selamat. Biarawati itu tak mengganggunya.

Sedang asik menatap barang-barang secara acak, Bomi melihat neneknya. Bagaimana mungkin neneknya itu bisa sampai sini? Tadi Bomi sempat melihat jam di dinding, saat ini jam 3 pagi. Bomi ulangi, jam 3 pagi.

"Bomi, kau sudah sadar nak?" Nenek Bomi dengan antusias menuju ke arah Bomi. Beberapa detik kemudian wanita tua itu keluar dari ruangan Bomi untuk memanggil perawat. "Perawat tolong lihatlah cucuku."

Seorang wanita dengan pakaian biru terang masuk sambil membawa papan dada dimana ada kertas bertuliskan riwayat kesehatan milik Bomi.

"Kondisimu sudah membaik. Apa yang kau rasakan saat ini?" Tanya perawat tersebut.

"Tak ada. Aku sudah baik-baik saja."

"Baiklah." Suster tersebut hendak berbalik arah, namun tidak jadi. Ia menatap Bomi dengan penuh selidik. "Apa yang terjadi padamu sehingga kau pingsan di sekolah selarut ini? Bisa kau ceritakan kepadaku? Jujurlah, jika ada kejahatan kami akan membantu menelepon polisi."

"Aku, sebenarnya... ini bukan masalah besar. Aku mungkin hanya kelelahan. Ta,tapi, bagaimana bisa aku sampai sini?"

"Tadi kami mendapat panggilan dari seorang pria, dia mengatakan seseorang tergeletak pingsan di sekolahmu itu. Ketika tim kami sampai disana, kami hanya menemukan kamu yang pingsan dan sebuah ponsel di sebelahmu. Tunggu sebentar aku akan mengambil ponselnya," perawat tersebut pergi sejenak. "Ini ponselnya."

"Ah, itu ponsel milikku." Bomi langsung mengenali ponselnya karena miliknya berbeda dengan teman-teman sekolahnya yang lain. Dia adalah satu-satunya orang di kelas yang masih menggunakan ponsel keluaran 5 tahun yang lalu.

"Ya, ini memang milikmu. Maaf tadi kami sempat membukanya untuk melihat riwayat panggilan. Panggilan paling atas sebelum ambulans adalah nenek, jadi kami memutuskan menelepon nenek yang ternyata benar nenekmu. Ini kukembalikan ponselmu."

"Ah, terima kasih."

"Kalau begitu, aku akan pergi melanjutkan tugasku. Semoga lekas sembuh,"

Bomi dan neneknya tersenyum menanggapi ucapan suster tersebut.

"Bagaimana kau bisa sampai pingsan, nak?" tanya nenek Bomi.

Bomi memasang tampang melas dan ketakutan. Ia kemudian memilih untuk berjujur kepada neneknya."Ah, nenek, tadi aku dikejutkan oleh seorang hantu. Mungkin aku sedang lelah juga jadinya sampai pingsan seperti itu."

"Begitu rupanya."

"Ya, Nek. Nenek datang bersama siapa? Ini masih pagi buta. Aku mengkhawatirkanmu, Nek."

"Tenang saja, aku datang bersama pamanmu. Dia sedang ke toilet, mungkin sebentar lagi dia akan datang. Itu dia." Tepat sekali saat sedang dibicarakan, paman Bomi datang.

"Kau datang, Paㅡ"

"Hei, bocah sial. Kenapa menyusahkan sekali? Apa hidupku tidak bisa tenang sedikit saja? Gara-gara kamu aku harus kehilangan waktu tidurku yang berharga. Lihat, sudah tak ada waktu lagi. Sebentar lagi aku harus bekerja untuk memberi mu makan. Kenapa kau tak mati saja? Menyusahkan."

I Can Hear You | Lee JenoWhere stories live. Discover now