Part 3 | Rift

467 51 28
                                    

Wajah Seungri sudah sekaku papan gilasan sanking tegangnya. Dia menelan ludah, keringat bercucuran ada turun melewati pelipis, ada yang merembes disela-sela kaus gelapnya.

Sungguh kegiatan menunggu adalah hal yang paling membosankan sedunia. Padahal baru duapuluh menit berlalu sejak Jiyong menghadap Yang Hyun Suk tetapi terasa lama sekali. Kalau saja sejak tadi ini dia membaca buku botani ia mungkin sudah masuk bab akhir tentang bahasan tahap persilangan dua spesies tanaman berbeda. Terdengar hiperbola? Ini realita.

Personel BigBang beralih posisi ke lobi gedung YGE tepat berhadap dengan pintu utama, mereka duduk berhadap-hadapan pada set sofa beludru. Tiga orang berjejer pada sofa panjang, seorang lagi pada arm chair dipisahan oleh coffee table berdesain futuristis setinggi lutut orang dewasa.

"Berhentilah khawatir. Aku mengenal Jiyong sejak bangku sekolah, dia bukan anak yang lemah." Seunghyun angkat bicara setelah mejejal asbak dengan puntung rokok kesekiannya, lama-lama muak juga sejak tadi memperhatikan si Panda-nama julukan Seungri-yang sudah berperan jadi patung.

"Aku tahu hal itu hyung. Aku tetap saja khawatir. Lagipula setahuku Jiyong hyung tidak terlibat skandal apapun," Seungri diam-diam sebal, karena manusia setengah alien ini tidak mengerti kegundahan hatinya. Tiba-tiba berlagak pandai menyemangati. Mereka tidak seakrab berita-berita yang terumbar didepan media. "Dan berhentilah merokok."

"Aku sudah dewasa. Merokok atau tidak akan mati juga, lagipula kekasihmu juga perokok aktif. Simpan aja wejanganmu untuknya"

Sudah tahu tidak baik untuk kesehatan tetapi masih saja terus mengisi paru-parunya dengan nikotin berkadar tinggi. Dasar golongan orang bebal.

"Aku pernah kekantor sajangnim sekali seumur hidupku. Seminggu kemudian aku tabrakan, tempat itu benar-benar terkutuk." Daesung paham suasana, mencoba mencari topik percakapan sembari memasang tampang sok ngeri sambil meringgis.

Mirisnya Daesung salah bicara, ada seseorang yang kini merasa dilempari bom rupanya.

Perasaan Seungri sudah ketutupan kabut asap kecemasan kini ditambah lagi lontaran kalimat serampangan tadi menariknya kedalam kubangan halusinasi. Pikiran yang tidak-tidak mulai mengisi aliran syaraf otaknya, hingga muncul konklusi konyol; mencari kebedaraan penyihir untuk mematahkan kutukan jahat tidak ada salahnya.

"Itu Jiyong'ie!"

Seungri kembali tertarik keras kepermukaan kesadaran.

Sorot mata bersamaan menilik Jiyong yang berjalan gontai dari ujung lorong elevator. Mukanya penuh amarah, kilatan matanya setajam pisau asahan memang sengaja tak disembuyikan.

"Ada masalah apa denganmu huh? Dan wajah apa-apaan itu, kau seperti ingin bunuh orang." Yongbae yang pertama kali menodong pertanyaan.

"Hyung, kenapa kau lama sekali? Ada masalah apalagi?" Beda Jiyong, beda Seungri. Dia malah mengerutkan kening memberi gestur tanda kebingungan.

"Bisa kita bicarakan lain waktu. Aku ingin pulang. Lelah sekali." Jiyong menjawab. Dia menghindari tatap mata terhadap Seungri.

"Hyung kau tidak apa-apa ... 'kan?" Daesung hanya ingin memastikan.

"Ya."

Kekasihnya bergidik ngeri, aura yang terpancar dari tubuh Jiyong pekat dan tajam, serasa menembus pori-pori hingga rongga tulang.

"Mari kita pulang," Seungri menggaet tangan kekasihnya. "Hyung, kami pulang duluan."

Semua dari mereka memiliki keyakinan tinggi bahwa Jiyong tidak baik-baik saja sekarang. Tak mau menerka-nerka lebih banyak lagi. Sebaiknya menunggu pria pengoleksi tato itu yang berbicara sendiri.

HINTWhere stories live. Discover now