Thunie Azsarn

327 34 2
                                    

Terseret begitu jauh, membuatku sangat lemah. Baru kali ini dalam hidupku aku selemah dan setidak berdaya ini. Bahkan separuh lengan atasku hingga bahu sudah hancur, tidak sampai putus namun ini membuatku mati rasa di tangan kananku. Seluruh tubuhku terasa nyeri dan kebas. Efek dari mantra dan racun ini membuatku berkali-kali batuk berdarah, namun aku hanya bisa diam saat ini.

"Aku tahu kau orang yang tenang, tapi tak kusangka akan setenang ini," ucap Wren.

Aku tak membalasnya. Sejujurnya aku tak ada lagi tenaga bahkan untuk mendengarkan basa-basinya. Mataku mulai berkunang-kunang dan telingaku berdenging. Sepanjang perjalanan seperti ada gelombang memori yang membanjiri kepalaku, semua tumpang tindih, tampak tidak relevan, dan tidak masuk akal. Kalau saja aku tidak menyadari ini efek dari kekuatan Luna aku pasti sudah gila.

Aku tak menghiraukan ocehan Wren sampai cahaya mulai menghilang. Aku masih setengah sadar, sepertinya aku masuk kedalam sebuah ruangan. Licin, dingin dan gelap. Diseret sangat jauh lalu tiba-tiba semuanya menjadi terang.

Cring!

Wren melepaskan rantainya dari genggamannya dan menggeletakkanku begitu saja di lantai. Ia seperti berbicara dengan seseorang sebelum akhirnya ia melangkah ke arah kami datang. Aku mendengar suara yang sepertinya tengah berbicara entah itu pada siapa ia terus saja mengoceh.

Apa jangan-jangan itu untukku?

Aku tak peduli. Aku hanya peduli dengan seberapa lelahnya aku saat ini. Ketika aku membuka mataku dan mendapati diriku terbaring di tengah padang rumput. Ini pemandangan yang tak asing, aku tahu ini di mana.

"Aku bahkan harus ke sini dulu baru kita bisa bicara?" Aku menoleh kebelakang dan melihat seseorang berdiri dibelakangku.

"Hey, apa-apaan tatapanmu itu! Apa ini caramu memberlakukan seorang tamu? Huh tidak sopan," celotehnya.

Aku membenarkan posisi dudukku dan menghadap padanya dengan malas. Apapun wujud dan rupanya entah kenapa sifatnya ini tak ada yang bisa menduplikatinya. Tidak ada makhluk yang dapat seperti itu kecuali dirinya. Siapa lagi, kalau bukan si peramal agung yang mengutuk kehidupanku sampai saat ini.

"Ini melenceng sangat jauh sekali, bagaimana bisa kejadian seperti ini terjadi?" gunamku.

"Yah kau benar, ini jauh sekali. Seharusnya kita belum bertemu, dan kalian tengah mati-matian menghadapi wanita serakah itu. Oh tunggu, jika kita sudah membahas ini itu berarti kau sudah ingat semuanya? Wah ini benar-benar melenceng, aku harus mengganti rencana lagi deh. Huft menyebalkan sekali, tapi aku sudah menduganya....."

Dia terus menyeloteh tanpa bisa dihentikan lagi. Aku bahkan ragu ia butuh napas untuk mengucapkan semua kata itu. Dia sang peramal agung, orang gila yang menciptakan semua adegan ini. Wujudnya sekarang berada dalam tubuh seorang gadis cantik berambut emas dan mata sebiru langit dimusim panas. Dalam peristiwa-peristiwa sebelumnya ia selalu menggunakan wujud yang berbeda, oleh sebab itu kami tak bisa mencarinya hanya dengan mengingat wajahnya.

"Yah ... setidaknya pada akhirnya kau memilih fisik yang lumayan. Tidak seperti sebelumnya," ucapku.

"Woah woah woah ... sejak kapan serigala ini peduli dengan penampilan fisik? Aku terkejut, oh atau kau sekarang tertarik denganku? Aku tahu sekarang ini aku sangat cantik dan menawankan, kan?" godanya dengan cara yang aneh.

"Kau tetap pria botak tua menyebalkan di mataku, dan tidak akan berubah bahkan jika kelahiran kita terulang untuk kesekian kalinya," ucapku dingin. Dia sungguh menjijikan.

"Ck, kenapa sih sifat kejam dan dinginmu itu tak bisa hilang," gerutunya.

"Kau tidak akan susah-susah menyeretku ke sini hingga masuk ke sini untuk berbincang tidak jelas. Katakan, apa maumu?"

"Oke, kalau bergitu," ia duduk tak jauh dariku dengan menghadap kesamping. Matanya menatap langit yang tak nyata dengan pandangan lesu.

"Aku hanya lelah," jedanya. "Aku sempat berpikir apa kuhentikan saja sampai di sini ya? Sebenarnya apa yang kita capai, apa yang kita lindungi, apa yang kita perjungakan, apa yang kita cari ... dari semua ini?"

Aku tak menjawabnya. Aku memejamkan mataku dan menikmati suasana, bukan berarti aku mengabaikannya, aku tetap mendengarkannya walaau setengah hati.

"Bukankah yang harusnya berhenti sejek awal adalah ... kau?" ucapku.

"Ahahahahaha ... kau masih saja menyalahkanku, kenapa sih kalian harus melindungi makhluk menjijikan seperti manusia?" ucapnya dengan muak.

"Yah kami hanya menjalankan tugas. Sebagai Ood Eyes."

"Hah! Apa itu masih bisa di sebut 'tugas mulia' yang harus diemban Ood Eyes!"

"Heh, kau kan juga bagian dari kami," ucapku mengingatkannya.

Namun, ucapanku barusan mengheningkan suasana di antara kami. Penyihir agung ini sebenernya mempunyai darah Ood Eyes, murni Ood Eyes dari golongan manusia. Uniknya, jika tidak melihat dengan jeli perbedaan warna matanya tidak akan terlihat. Walau matanya sekarang sebiru langit musim panas, namun nyatanya mata sebelah kanannya agak lebih gelap sedikit, sangat sedikit.

"Sampai kapan pun, aku tidak angan mengakui darah tersebut," gunamnya penuh dengan penekanan.

"Itu tak akan mengubah masa lalu bahwa kau merupakan seorang Azsarn, Thunie Azsarn, bergaris keturunan dari anak pertama pemilik ood eyes pertama." Aku melirik tajam padanya dan ia tengah melihatku dengan bengis dari sudut matanya.

"DIAM!" bentaknya.

Langit yang tadinya cerah dengan cepat menjadi kelabu. Dia marah, dalam ruangan ini energy negatif akan tercerminkan lebih dominan.

"Beraninya ... beraninya kau mengungkit itu!"

Mata kirinya mengularkan air mata darah, itu air mata Ood Eyes. Ia menatapku tajam dengan penuh kebencian. Ini bukan sesuatu yang bagus, ruangan ini menjadi lebih dominan energy negatif darinya. Angin kencang dan gemuruh halilintar memenuhi ruang ini.

Ah, sepertinya aku membuatnya tersinggung.

OOD EYES III : Back to ChildWhere stories live. Discover now