PART 2

21 1 0
                                    


Lita masih menatap nanar layar di depannya. Dia masih tak percaya dengan apa yang ia lihat. Fikirannya berkelana entah kemana

"Aylita...".suara umi Naya tiba-tiba mengejutkan gadis itu. Aylita menatapnya lekat-lekat seolah meminta penjelasan dengan apa yang baru ia lihat. Bukannya menjawab, umi malah langsung memeluknya. Gadis itu tak dapat membendung air matanya lagi, ia menangis dalam pelukan sang umi.

"Umi,, ini gak bener kan? Ini lelucon kan, mi? ini gak nyata kan?", tanya Lita disela isak tangisnya. Umi Naya hanya diam dan terus mengusap lembut kepala Lita.

"Umi, jawab Lita mi. Ini gak bener kan?", Lita kembali menatap umi Naya.

"Itu semua bener sayang. Bundamu sendiri yang mengirimkannya pada umi. Dan laki-laki itu,, sekarang adalah suami kamu sayang". Gadis itu menggeleng. "Nggak, ini pasti bohong kan?".

"Lita masih di sini umi, Lita gak pernah kemana-mana. Bahkan Lita gak mengenal siapa laki-laki itu, gak mungkin Lita menikah dengan laki-laki itu. Lita gak mau umi, Lita gak mau", rintihnya pelan.

"Lita. Kamu gak boleh seperti ini, nak. Akad sudah diucapkan. Mungkin ini sudah menjadi bagian dari scenario-Nya", wanita itu terus menenangkan Lita.

"Tapi Lita belum siap umi. Kenapa mereka menyembunyikan ini dari Lita? Bahkan dari kemarin bunda gak bisa dihubungi. Kenapa mereka tega umi? Mereka udah nggak sayang lagi sama Lita, makanya mereka lakukan ini", gadis itu menunduk lemah.

"Astaghfirullah Aylita. Kamu gak boleh bicara seperti itu. Kamu mengenal mereka kan? Gak mungkin mereka gak sayang sama kamu. Mereka gak mungkin salah memilih sayang, mereka pasti sudah memikirkan semua yang terbaik untuk kamu. Dan kamu harus ikhlas menerimanya", gadis itu kembali menggeleng.

"Nggak umi. Lita gak bisa menerima, ini sulit buat Lita. Lita gak bisa mi", ucap Lita seraya beranjak dari duduknya dan berlari meninggalkan wanita paruh baya itu. Ia sudah tak peduli lagi jika dianggap tidak sopan. Ia hanya ingin berlari. Lari dari semua keadaan ini.

***

Ruangan itu terlihat putih. Sama seperti kamar rumah sakit pada umumnya. Semua orang yang berada di ruangan itu tertuju pada satu orang. Tak ada yang tak mengeluarkan air mata. tak terkecuali seorang pemuda tampan yang sedari tadi selalu di samping sang ibu yang terbaring di brankar rumah sakit.

Tak ada yang aneh di awal. Hingga pemuda itu mengucapkan sesuatu. Satu kalimat yang berhasil mengubah segalanya.

"Saya terma nikah dan kawinnya Aylita Kenzia Zidan binti Zidan Wijaya, dengan mas kawin tersebut. Tunai".

Ya. Pemuda itu mengucapkan kalimat itu dengan sangat tegas. Kalimat yang akan merubah status seorang Aylita setelah ini.

***

Lita bersandar di bawah pohon mangga di belakang asramanya, kepalanya menengadah ke langit.

Hilma sudah duduk di sampingnya sejak 10 menit yang lalu. Tapi ia tak mengucapkan sepatah kata pun. Ia sangat mengenal Lita. Suatu saat Lita akan bercerita sendiri kepadanya saat hatinya sudah tenang, ia hanya perlu bersabar.

Lita menghembuskan nafasnya pelan. "Aku udah jadi hak orang lain, Ma". Ucapnya pelan, namun masih dapat didengar dengan jelas oleh Hilma. Hilma bingung, namun ia memilih untuk tetap diam.

"Di Bandung sana,, ayah sama bunda udah nyerahin aku ke orang lain. Mereka nikahin aku, tanpa sepengetahuanku, Ma", gadis itu kembali terisak.

"Kenapa mereka setega itu, Ma? Kenapa mereka gak tanya dulu ke aku? Aku yang jalani pernikahan itu, tapi malah aku yang gak tau apa-apa". Hilma memeluknya dari samping.

"Kamu harus tenang, Ta. Mungkin orang tua kamu punya alasan, kenapa mereka gak kasih tau ke kamu secara langsung", Hilma akhirnya angkat bicara.

"Tapia pa, Ma? Mereka takut aku nolak? Kalau mereka takut, harusnya mereka gak lakuin ini", ucap Lita mengeluarkan kekesalannya.

"Istighfar, Ta. Kamu gak boleh kayak gitu, bagaimana pun juga mereka itu orang tua kamu. Mereka pasti punya alasan untuk itu". Lita menggeleng. "Tapi ini semua berat buat aku, Ma. Aku juga punya perasaan, dan semua gak bisa dipaksa gitu aja".

"Mungkin ini saatnya kamu buat berbakti sama orang tua kamu. Utruti keinginan mereka. Toh, mereka pasti sudah memikirkan segalnya sebelum bertindak", Hilma terus menasehati Lita, sedangkan gadis itu hanya terdiam dan terus menangis di pelukan sahabatnya itu.

***

Semalaman Lita tak bisa memejamkan matanya. Ia terus berdzikir menyebut asma-Nya. Entah kenapa hatinya belum tenang.

Ya Robb. Entah apa yang sebenarnya takdir apa yang Engkau berikan padaku. Tapi ini semua terlalu sulit buatku. Hamba tau, pernikahan ini adalah pelengkap agama hamba, tapi ini semua terlalu cepat. Hamba masih belum yakin, apakah hamba bisa menjalani kehidupan baru ini.

Gadis itu kembali melamun. Bahkan tanpa ia sadari, air matanya kembali jatuh. Seberapa pun ia mencoba ikhlas, namun nyatanya itu tak semudah mambalikkan telapak tangan.

***

Pagi ini Lita berangkat sekolah dengan mood yang masih kurang baik. Tapi ia mencoba tuk tetap tersenyum. Tak ada yang menyadari kesedihannya, kecuali Hilma tentunya.

"Ma, aku harus gimana saat harus bertemu pemuda itu nanti?", tanya Lita saat kelas mulai sepi karena sudah waktunya istirahat. Mereka memang tidak pergi ke kantin karena sedang menjalankan puasa sunnah hari senin.

"Kamu sudah siap, Ta?". Aylita hanya mengedikkan bahu. "Entahlah. Aku juga belum yakin. Kalaupun ada pilihan lain, aku lebih memilih untuk menolak ini semua. Tapi sekarang aku gak punya pilihan lain. Ini semua sudah terjadi. Jadi, mau gak mau aku harus tetap menjalaninya". Lita menghembuskan nafasnya pelan, mencoba menenangkan pikirannya.

"Aku jadi penasaran deh, Ta.kenapa dia bisa menerima perjodohan ini. Padahal dia sendiri juga belum pernah ketemu sama kamu", tanya Hilma seraya menopang dagunya.

"Kamu aja bingung, apalagi aku,Ma". Lita menunduk. Hilma paham apa yang dirasakan Lita, tapi ia sendiri tak bisa berbuat apa-apa.

"Tetep jadi diri sendiri, Ta. Itu kuncinya".

***

My Past MateWhere stories live. Discover now