High School • POROS - END

39 4 0
                                    

–Selamat membaca kaum rebahan–

•••

Aku mematikan mesin motor dan memasang standar. melepaskan mantel hujan, mengibarkannya pelan kemudian menyampirkannya di setir.

Aku tahu. Ekor mataku sudah bisa menangkap tiga sosok bayangan manusia begitu aku memasuki pekarangan rumah ini. Dua orang perempuan dan satu orang laki-laki. Jantungku berdegup aneh begitu melihat laki-laki itu duduk berdampingan dengan salah satu perempuan disana. Mereka terlihat begitu mesra.

Otakku terus bekerja memikirkan hal apa yang harus aku lakukan terlebih dahulu. Beberapa detik kemudian aku mendapat sebuah ide. Aku menarik napas dalam sebelum berbalik dan menuju tempat mereka berada.

Saat masuk ke tempat itu, mataku langsung mengunci Arin, Sahabatku. Kemudian hendak berkata sesuatu namun langsung didahului oleh laki-laki itu. Jantungku berdetak dua kali lebih cepat. Membuat desiran darah di kepalaku terasa aneh.

"Nadine, kenalin ini pacar gue, Ilene." Ujar Rey sedikit mengagetkan aku.

Terpaksa aku harus menatap kedua orang itu. Memaksa otak mengirimkan sinyal ke bibir agar tersenyum tulus.

Mataku bergantian menatap dua orang itu, sebelum akhirnya terpaku pada seorang gadis cantik disebelahnya. "Annyeong." Sapaku dengan suara cempreng kekanakan. Bukankah itu makin terlihat bahwa aku sedang berada di situasi canggung sekarang?

"Jangan ajarin dia yang begituan." Ujar sang lelaki dengan nada protektif.

Aku langsung pura-pura mendelik, "apaan." Dan untuk mengakhiri perasaan canggung ini aku kembali menatap Arin dengan ekspresi meminta tolong.

"Arin, temenin ke toilet dong. Udah nggak tahan banget nih."

"Langsung aja ke dalam. Arin temenin dia, yah." Kata laki-laki itu, aku hanya menatapnya sekilas. Masih terus berakting seperti seseorang yang menahan buang air.

"Ayo." Ajak Arin. Kemudian aku langsung berlari terbirit-birit menuju toilet, membiarkan Arin menyusul di belakangku.

Meskipun rencanaku gagal untuk melarikan diri dari situasi awal, tapi setidaknya aku bisa menenangkan diriku di toilet dan berharap bisa menyemangati diri agar bisa berakting lebih baik lagi. Ayolah, Nadine, bukankah pura-pura terlihat baik-baik saja adalah keahlianmu?

Saat berada di dalam bilik kamar mandi. Aku terus memikirkan apa yang harus aku katakan, apa yang harus aku lakukan. Aku tidak ingin terlihat bahwa aku sedang patah hati.

Ah, seharusnya aku mengikuti kata hatiku tadi untuk tidak ikut berkumpul bersama mereka. Karena aku pikir malam ini akan sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Dimana hanya ada kami teman satu 'geng'.

Untuk meredakan suasana hatiku yang sedang kacau sekacau-kacaunya, aku mengajak Arin berbicara tentang apapun dan memaksanya untuk mendengarkan ceritaku. Sampai kami tiba kembali ke tempat itu. Untungnya sudah ada Rendi, Tomo dan dua orang perempuan. Aku tahu salah seorang dari mereka adalah pacar Rendi.

Aku membuang napas dengan pelan. Kemudian ikut bergabung dalam pembicaraan mereka. Sesekali aku menyibukkan diri menjawab pesan WhatsApp grup maupun personal. Sisanya, setelah menjawab aku menyibukkan diri dengan mengirim pesan ke teman kampusku agar mau berbicara denganku. Tolonglah keluarkan aku dari situasi yang mencekam hatiku ini.

Waktu terus berjalan dan tidak bisa dipungkiri tak sengaja aku melihat kemseraan yang ditampilkan oleh Rey dan Ilene. Telingaku sedikit kepanasan begitu Ilene memanggil Rey dengan panggilan 'sayang'. Membuat perasaanku terasa seperti di remas-remas. Tangan perempuan itu juga terkadang membelai wajah Rey ketika mereka sedang tertawa mendengar celotehan Tomo. Ilene terlihat begitu cantik ketika tertawa. Pipinya yang putih, berseri begitu dia tertawa. Harus aku akui, dia memang cantik.

Tapi, semakin kesini aku makin disadarkan. Cara Rey menatap dan memperlakukan Ilene begitu istimewa. Membuat aku yakin, mereka pasti saling mencintai.

Otak, kenapa kau harus memperjelas kalimat itu?

Aku kembali meneguk air untuk kesekian. Bahkan Rey tidak mengajakku bercanda seperti sebelum-sebelumnya. Ya, wajar saja. Dasar aku.

Selesai menyantap makanan, hal lain yang harus dilakukan adalah mengabadikan momen. Kami mulai mengatur posisi yang pas. Lima cewek di depan agar bisa terlihat di frame dan tiga laki-laki di belakang. Awalnya Rey berdiri di belakangku, tapi setelahnya dia pindah ke belakang Ilene.

Suara hitungan timer membuatku sadar, menghadap ke kamera dengan senyum yang mungkin akan terlihat aneh. Setelah beberapa jepretan, kami kembali berbincang sampai waktu menunjukkan pukul 21.30. Kami mulai membersihkan tempat, mencuci piring dan membuang sampah.

Setelah kegiatan bersih-bersih selesai, aku mulai merapihkan barang-barangku. Mengambil kunci motor, berbincang sedikit dengan mereka sebelum akhirnya berpisah.

"Maaf, yah. Aku nggak bisa anterin kamu." Kata Rey. Aku mencoba memfokuskan diri pada motorku.

"Iya, nggak apa-apa."

Aku membuang napas pelan. Rey sudah meminta tolong pada Arin agar bisa mengantar Ilene pulang ke rumah karena dia masih harus mengurus sesuatu.

Ilene sudah naik keatas motor Arin. Ekor mataku lagi-lagi menangkap bayangan kemesraan mereka. Andai saja aku bisa menurunkan volume pendengaran telinga, akan aku lakukan asal tidak mendengar suara mereka.

Setelah itu Arin langsung menarik gas dan berangkat lebih dulu kemudian disusul olehku. Aku tidak mengatakan apapun pada Rey, bahkan aku sangat tidak ingin melihat wajahnya.

Aku sengaja memelankan laju motorku agar bisa tertinggal jauh dari rombongan Arin. Menenangkan perasaanku yang kini berkecamuk. Selama hampir enam tahun ini aku memendam rasa pada laki-laki itu. Aku pikir dia juga menyukaiku karena perlakuannya padaku yang berbeda. Dia selalu ada ketika aku membutuhkannya. Dia selalu menghiburku. Selalu mengatakan apapun untuk membuatku tertawa. Selalu menyemangatiku ketika aku sedih. Tapi apa sekarang. Dia bahkan tidak memikirkan perasaanku ketika dia memperkenalkan gadis itu.

Tanpa sadar air mataku jatuh begitu saja, membasahi maskerku.

Aku teringat kalimatnya saat kami sedang beberes. Hanya ada aku, dia dan gadis itu. Mereka duduk berdua, seperti ada perekat diantara mereka, begitu lengket.

"Mentang-mentang Lo paling adik disini, jadi nggak ikut beberes, yah. Adik angkat gue ini emang beda."

Ah, jadi selama ini aku hanya di anggap adik olehnya.

•••

~

T A M A T ~

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 18 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

High SchoolTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang