☔ Hujan 11 ☔

137 11 19
                                    








"Ada yang beda, semenjak tokoh tritagonis datang"
_HujanNandira












Siang ini Jingga akan berangkat ke kantor, namun kali ini Hujan memiliki rencana. Hujan telah menyiapkan makan siang penuh makanan. Jingga duduk melahapnya,
"Hujan ambilin tas gue di kamar, cepat ya!!" perintah Jingga terhadap Hujan.
"Oke" jawab singkat Hujan menyetujui.
Hujan berjalan cepat menapaki tangga satu persatu. Hingga sampailah di kamar Jingga. Hujan mengambil tas kerja Jingga. Namun kali ini Hujan membuka tas Jingga. Map berwarna cokelat ia keluarkan dari tas. Kali ini Hujan ingin disuruh Jingga untuk mengantarkan berkas yang ketinggalan, alhasil Hujan akan pergi ke Kantor dan bertemu dengan Afero Aditama.
Hujan pun menutup tasnya dan lekas membawanya turun menghadap Jingga, sembari menyembunyikan aksinya.
Namun dari atas tangga sudah tak ada penampakan Jingga, rupanya orang itu sudah berada di halaman.
Hujan pun berlari menuju halaman dan lekas-lekas menyerahkannya.
Jingga pun menyerahkan sebuah amplop berwarna cokelat. Hujan buru-buru menangkapnya,
"Makasih" semangat Hujan.
Hujan pun membuka amplop coklat yang berisi uang merah. Seperti ada kalimat penyesalan, karena adanya misi yang baru saja dia lakukan.
"Ah sudahlah, yang penting dapet uang. Ketemu Afero nanti. Hadeh semalem mimpi apa ya gue?" Heran Hujan penuh senang.
Hujan pun masuk ke dalam rumah dan menutup pintu. Mengambil sapu untuk menyapu, sembari menunggu telepon rumah berbunyi.
Namun setelah menyapu, panggilan pun tak ada sama sekali. Hujan pun bergegas menuju kamar Jingga untuk mengambil berkas yang dia keluarkan sekitar satu jam yang lalu. Kemudian pergi menuju ke Kantor Jingga dengan naik taxi. Setelah sampai, Hujan berlari untuk menemukan Ruangan Jingga. Rupanya siang ini ada meeting atau Jingga benar-benar sibuk dengan pekerjaannya. Sampai tak sadar jika ada berkas yang tak ia bawa.
Hujan berlari cukup tergesa, sampai akhirnya menabrak seorang laki-laki yang membawa beberapa berkas. Sampai akhirnya berkas itu terjatuh dan berhamburan di lantai. Hujan pun dengan gegabah memunguti beberapa berkas yang jatuh. Sampai akhirnya pandangan dua orang yang telah tertabrak itu menyatu. Hujan tak bisa berkutik sama sekali, benar-benar diluar dugaan hari ini beradapan dengan Afero Aditama. Namun kali ini jantungnya tak bergerak cepat, namun biasa saja. Tak ada hal yang dia rasakan lagi. Hujan membuyarkan tatapannya dan kembali memunguti berkas yang berhamburan di lantai.
"Maaf Fer.. maksudku maaf pak. Saya buru-buru" penyesalan Hujan.
"Oke" singkat Tama yang membuat Hujan melengo, benar-benar menjadi cowok sedingin kutub.
Tiba-tiba Tama memegang kepalanya, ada yang aneh dengan reaksi tubuhnya. Seperti ekspresi pusing dan badan tidak nyaman.
"Bapak gak papa?" tanya Hujan sembari membantu Tama berdiri.
"Gausah" tolak Hujan dengan melepaskan pegangan Hujan.
"Bapak sakit? Saya antar ke rumah sakit ya? Dari pada pingsan di sini" tawar Hujan.
Hujan pun menjauhi Tama, dirinya mencari seseorang untuk menitipkan berkas yang dia bawa. Setelah itu, dirinya menarik tangan Tama dan membawanya keluar dari lobby kantor.
"Lo siapa? Mau apa? Gue bisa sendiri" bentak Tama.
Alhasil Hujan melepaskan pegangan tangan itu.
Sebuah taxi diberhentikan oleh Hujan, bahkan Hujan membukakan pintu untuk Tama. Mereka berdua kini telah duduk bersampingan di dalam mobil taxi.
"Pak berhenti" tegas Tama.
Dia turun dari mobil, sementara Hujan pun ikut turun juga.
"Maaf pak, gak jadi" ujarnya terhadap supir taxi.
Tama berjalan cepat sembari merapikan jasnya. Hujan berlari mengejarnya,
"Afero.. please dengerin gue. Gue Hujan, Gue Hujan Nandira. Gue masih sayang sama lo, tolong ngertiin gue" teriak Hujan tanpa menyadari suasana sekitar kantor yang ramai.
"Bisa diam gak!!! Gue gak kenal sama lo. Dan jangan bilang kalimat itu ke gue. Gak sopan!!!" bentak Tama menunjukkan amarahnya.
Lelaki yang tak pernah menunjukkan amarahnya, kini untuk pertama kalinya Hujan merasakan amarah dari Afero.
"Afero jujur!! Lo sakit gagar otak? Atau amnesia?? Bilang sama gue!!" bentak Hujan menambahkan amarahnya.
"Bisa gak jaga omongan lo. Gue sibuk! Pergi sana, kalau lo masih ngikutin gue satu langkah lagi. Gue bakal panggil satpam" tegas Tama yang rupanya ancaman.
Hujan pun tak mendengarkan kalimat itu, dia justru membuntuti Tama. Sampai akhirnya Tama membalikan posisi dan mendorong Hujan hingga jatuh ke lantai.
Dan dengan cepat Jingga datang menolongnya berdiri.
"Tama? Lo keterlaluan sama cewek!! Lo gak boleh kasar" bentak Jingga tak terima dengan perilaku Tama yang terkesan kasar.
"Dia gak salah, Jingga. Gue yang salah, gue yang terlalu berharap" pengakuan Hujan yang beberapa detik pun menjadi tontonan kantor.
"Tama? Gue gak mau ikut campur masalalumu. Tapi jangan perlakukan dia seperti ini. Hargai!!" Tegas Jingga.
"Jingga!! Gue gak kenal sama pembantumu ini!! Dia keterlaluan" gretak Tama tak mau salah.
"Udah Jingga. Gue gak mau kantor lo rusuh cuma gara-gara gue" pelan Hujan kepada Jingga.
Jingga yang menyadari segala karyawan kantornya memandangi mereka bertiga yang bertengkar.
Jingga angkat bicara,
"Bubar!!!" Tegas Jingga.
Jingga pun menarik tangan Hujan, membawanya keluar dari kantor dan menuju parkiran mengambil mobil.
Mobil pun dikendalikan oleh Jingga.
Hujan hanya melirik Jingga, Jingga yang tersadar buru-buru angkat bicara.
"Kenapa?" Tanya Jingga.
"Lo pasti salut ya sama gue?? Tadi gue udah kayak laki-laki sejati belum?" Tebak Jingga super kepedean kuadrat.
"Gue makin tampan pastinya" pujinya.
"Terserah lo deh, maaf ya jadi bikin rusuh di kantor lo" permintaan maaf dari Hujan.
"Gue gak bakal maafin lo. Sekarang lo harus temenin gue, baru gue maafin" balas Jingga.
"Apa?" Tanya Hujan kepo.
"Gak jadi ah"
"Kenapa?" Tanya Hujan.
"Malas" singkat Jingga.
"Yahh, padahal gue udah seneng banget" kata Hujan sembari memberikan ekspresi sedih.
"Yaudah deh, karena lo berharap sama gue. Kita makan ke cafee, tapi lo yang traktir"  ucap Jingga seenaknya.
Kalimat traktir membuat Hujan tercengang,
"Baru aja dapet gaji, ya kali gue kerja buat lo doang. Harusnya lo yang traktir gue, lo kan kaya" kode Hujan.
"Terserah gue" katanya.
Hujan pun diam dan memalingkan pandangannya.
Hujan terlelap dalam perjalanan, memandangi kota Jakarta yang begitu ramai. Tak ada  ruang yang sepi di kota Jakarta ini.
Dia juga merasa ada hal yang aneh,
"Mengapa rasanya beda? Berubah begitu amat drastis? Bukankah seharusnya selepas kejadian tadi. Aku seharusnya sedih? Merasa galau kepada tindakan Afero. Namun kali ini aku begitu bodoamat. Justru dipikiran ini bergentayangan sosok Jingga" gumam Hujan dalam batin.
Jingga yang sedang menstir mobil, melirik Hujan.
"Lo gak usah terlalu mikirin gue deh. Gue emang ganteng, idaman semua ceweklah" bangga Jingga.
" Idiw, pede banget" gretak Hujan.
Hujan pun memilih diam saja, membuang segala pikiran yang ada diotaknya. Rupanya bosnya memiliki kepekaan luar biasa.
Tak ada setengah jam, sampai di cafee.
Hujan duduk terlebih dahulu, sementara Jingga menuju kamar mandi.
Hujan pun mengeluarkan amplop cokelat yang sebelumnya telah didapatkan dari Jingga. Menghitung beberapa lembar yang tersisa. Apalagi cafee yang ditujunya ini, bukan sekadar cafe. Bahkan cafee yang terkenal segalanya mahal. Amplop yang digenggamnya mungkin hanya dapat membeli segelas jus saja.
Hujan menghela nafas, Jingga datang menghampiri. Mereka duduk berhadapan menunggu pelayan datang. Setelah pelayan datang sembari memberikan daftar menu. Mata Hujan melongo memandangi harga yang tertara di lembaran menu. Tak ada harga yang cocok, makanannya memang enak. Namun harga yang sesuai tak ada sama sekali.
Sementara Jingga seperti manusia tak ada dosa, memesan segalanya tanpa memikirkan harga.
Hujan yang mendengar, hanya dapat menghela nafas sabar.
"Saya air putih saja" kata Hujan membuat Jingga tertawa.
"Yakin? Lo gak bosen di rumah air putih melulu?" Sindir Jingga sembari tertawa, bahkan pelayan cafee itu ikut tertawa.
"Gue died, dan lagi gak mood buat makan" alasan Hujan yang membuat Jingga menahan tawa.
Pelayan pun pergi, cukup sepuluh detik saja. Pelayan itu datang kembali membawakan nampan yang banyak sajian makanan. Sedangkan Hujan yang menghadap air putih saja.
Jingga begitu semangat melahap makanan pesanannya.
"Akhirnya lo bisa mecahin rekor nlaktir gue" ucap Jingga puas.
"Itu gaji pengen gue gunain buat shoping. Eh lo gunain buat satu jam melahap ini semua" keluh Hujan begitu jujur.
"Ya ampun kasihan banget ya? Yaudah kerja terus lagi, nanti biar dapat gaji. Terus shopingg!!" Semangat Jingga yang begitu mudah diucapkan namun cukup menyusahkan jika harus dilakukan.
"Oke buruan habisin"  perintah Hujan pasrah.
Selesai makan, mereka berdua lanjut perjalanan. Hujan terlihat suram sekali,
"Baru aja ada pelangi. Kok ada angin topan ya?" Gumam Hujan meratapi kehidupannya.
Hujan diam, perjuangannya tak membuahkan hasil sama sekali untuk hubungannya terhadap Afero Aditama. Yang ada hidup susah semakin melaruti dirinya.
"Dah sampai!! Lo mau tungguin gue di mobil?" Tanya Jingga membuyarkan lamunan.
Hujan yang sadar pun memandangi keadaan sekitar, mobil terpakir didalam parkiran Mall.
" Untuk apa ke sini? Udah rp.0" tanya Hujan sebal.
"Gue yang bayar deh" ucap Jingga yang membuat Hujan membuka pintu mobil untuk lekas turun dari mobil.
"Gini kan semangat" kata Hujan.
Jingga pun memegangi tangan Hujan. Hujan yang merasa pun lekas memangangi Jingga.
"Gue gak ilang kok, santai aja" kata Hujan sedikit canggung.
Jingga tak menghiraukannya. Mereka berdua berjalan mengelilingi Mall. Memilih tempat yang menjual pakaian cewek.
Hujan memilih berbagai dress, Jingga pun duduk menunggunya.
Setelah tiga stell dres dipilih, Hujan pun menghampiri Jingga.
"Sudah. Bayarin gih sana" perintah Hujan.
Jingga pun menurutinya, seusai dibayar dan dikemas. Mereka berdua keluar dari Mall dan pulang ke rumah.
Sesampainya di rumah, Hujan membuka pintu rumah dan mempersilahkan masuk tuan bosnya terlebih dahulu.
"Silahkan masuk raja" ujar Hujan penuh semangat.
"Tumbenan" katanya.
Hujan pun berjalan menuju kamarnya, namun belum sampai kamarnya. Jingga membuntuti Hujan,
"Jangan lupa habis ini kita nyuci mobil" katanya.
"What? Kenapa gak sekalian aja tadi mampir?" Tanya Hujan kesal.
"Cuci sendirilah"
"Orang kaya kok nyuci sendiri" ledek Hujan.
"Biarin"
"Terus?" Lanjut Hujan menunggu kepastian.
"Kita cuci bareng" ajak Jingga.
"Capek gue" keluh Hujan.
"Ya pokoknya harus, nanti gue bakal kasih gaji lagi" paksa Jingga.
"Oke-oke"
Dua puluh menit kemudian, Jingga dan Hujan telah berada didepan bagasi.  Mereka berdua telah siap mencuci mobil kesayangan Jingga. Rupanya mobil itu tak boleh dipegang selain pemiliknya.
"Untuk pertama kalinya pasti lo baru cuci mobil" ujar Jingga mengawali perbincangan.
"Yap"
"Karena lo gak punya mobil atau malesan?" Sindir Jingga.
"Gue mah orang kaya, bukannya mau sombong hlo ya. Kalau cuci, tinggal dibawa ke jasa tukang cuci" ucap sombong Hujan.
"Terus ya? Kalau mobilnya kotor, tinggal ganti mobil" tambah Hujan sombong.
"Prett" celetuk Jingga.
Mereka pun mencuci mobil dengan senang, seakan masa kecil terulang kembali. Bermain air membuat kebahagiaan meningkat 99%.
Bahkan mereka saling beradu menyemprot air ke badan mereka berlawanan.
"Jingga, basah" teriak Hujan kesal.
"Gue juga!!" teriak Jingga ikut kesal.
Jingga melihat Hujan begitu senang, tak ada kesedihan yang terlihat diwajahnya. Wanita ini betul-betul kuat dan tak lemah. Mereka berdua begitu menunjukkan wajah bahagia.
"Jinggaaaaa" teriak Hujan yang terkena semprotan air sampai seluruh badannya basah kuyup.
Sedangkan saat Hujan membalasnya, Jingga justru bersembunyi.











Next gak ya?
Tinggalin jejak kalian ya disini, boleh komen sepedas mungkin. Tenang aja penulisnya kuat kok ngelihatin tulisan pedas wwk.
Aku bakal publikasi lagi, kalau pembacanya udah lebih 15 an. Semakin banyak yang baca, semakin semangat ♥️♥️

Hujan Januari 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang