TAK LAGI SAMA, DENGANNYA

26 2 0
                                    

David benar-benar tidak menunggunya ketika Fanny melangkah keluar dari tempat praktik dr. Hendra. Seharusnya gadis itu tidak boleh merasa terlalu kecewa seperti ini, bagaimanapun, David sudah mengatakan padanya bahwa dia akan berada di Hellionz, bukan berada di random kafe untuk mencari pacar baru. Fanny menggertakkan giginya.

"Kita pulang sekarang, Nona?" Fanny sedikit terkesiap kaget mendengar suara Betrand. Dia nyaris lupa sama sekali kalau David sudah mengutus lelaki itu supaya menjaganya tetap aman.

Fanny akhirnya mengangguk, lalu membiarkan lelaki berpakaian serba hitam itu membimbingnya ke mobil. Fanny mengikutinya, lalu ketika tangan Betrand tersingkap sedikit, dia berhenti begitu saja. Rasanya seperti ada petir yang menyambarnya. Betrand membalikkan badannya.

"Apa?" Suara lelaki itu keras, sekeras postur tubuhnya saat ini. Fanny tidak mengatakan apa-apa, hanya menatapnya dengan penuh kebencian yang teramat sangat.

"Oh, ayolah. Jangan menatapku seperti itu, Sayang. Mana putri kecilku yang manis?" Lelaki itu menyeringai.

"Tante Lia benar. Kamu sudah gila!" Fanny mendesis dari sela-sela giginya. Setiap kekecewaan yang dia rasakan, setiap kemarahan, keputusasaannya, frustasinya, dia bebankan di setiap kata-katanya itu.

Betrand—Bukan, Handoko tersenyum padanya. "Tentu saja dia benar. Sekarang, kamu mau pulang apa tidak?" Lelaki itu langsung berbalik arah menuju mobil dan melompat masuk. Dia bahkan membukakan pintu mobilnya untuk Fanny. Meskipun setiap tulang gadis itu berteriak untuk tidak masuk, dia tahu dia hanya punya sedikit pilihan. Kalau dia melawan Handoko sekarang, David pasti akan langsung tahu dan panik. Begitu juga dengan Tante Lia. Sambil memaksa dirinya untuk tidak berteriak atau mengumpat, Fanny melompat masuk ke dalam mobil.

"Kamu keberatan kalau kita mampir dulu ke suatu tempat yang nyaman untuk bicara, Nak?" tanyanya begitu Fanny sudah duduk di kursi penumpang. Gadis itu tidak menjawab. Bahkan tidak sepatah katapun keluar dari mulutnya. Handoko mengangkat bahunya. "Oke. Aku anggap kamu setuju untuk jadi pendengar yang baik."

Lelaki itu langsung melajukan mobilnya. Lima belas menit kemudian, mereka berhenti di sebuah kafe yang sepi. Fanny jadi orang pertama yang keluar dari mobil itu. Jelas dia akan mengambil tempat tempat yang dekat dari pintu di dalam kafe, jadi akan mudah baginya untuk kabur dari Handoko. Dia masih belum bisa mempercayai lelaki itu.

Untungnya, lelaki itu tidak protes dengan pemilihan tempat Fanny dan tidak membuang-buang waktunya juga.

"Dengar, aku sudah menjenguk ibumu di penjara." Katanya. "Kalian ternyata tidak berlebihan waktu bilang kalau dia sudah rusak." Fanny menangkap sesuatu dalam suara lelaki itu. Penyesalan, mungkin? Tidak. Pasti bukan itu. Fanny mendengus.

"Kamu yang merusaknya." Fanny mencoba membuat suaranya tetap datar.

"Aku tahu." Handoko mendesah. "Dia bahkan lebih buruk daripada waktu aku meninggalkanya." Bibirnya tertekuk. "Aku juga menjenguk suami barunya."

Fanny mengerjap tidak percaya dengan apa yang dilihatnya sekarang. Apa dia cemburu? Tidak mungkin!

"Kalau kamu butuh teman curhat untuk masalah percintaanmu—"

"Bukan, bukan itu." Handoko langsung memotong. "Aku sekarang tahu seberapa buruk mereka memperlakukanmu dulu." Lelaki itu dengan hati-hati menatap putrinya. "Bekas luka di perutmu. Dulu kamu sempat hamil, benar kan?"

Wajah Fanny langsung memutih, seolah jantungnya berhenti memompa darah. Untuk sesaat Handoko khawatir putrinya itu sedang mengalami serangan jantung. Dia bahkan tidak bernapas.

"Fanny?"

Gadis itu langsung berdiri. "Cukup!" Dia mendesis. "Bawa aku ke rumahnya David. Sekarang!" Dengan sisa kekuatannya yang masih tersisa, Fanny keluar dari kafe itu secepat yang dia bisa dan kembali melompat masuk ke dalam mobil.

Dia merasa sangat lelah. Dia lelah dengan aibnya sendiri, dia lelah memikirkan masa depannya yang tidak pasti, dia lelah terus berpura-pura memiliki kehidupan yang normal, dan dia sangat membutuhkan David sekarang.

Dia ingin menangis, tapi dia tidak bisa. Dia sudah terlalu lelah hingga untuk menagis pun dia tidak bisa.

"Fanny, kita sudah sampai." Perkataan ayahnya itu membuatnya kaget. Fanny mendongak, dan memang benar mereka sekarang sudah di istananya Albert. Rupanya dia sedari tadi terlalu tenggelam dengan emosinya sendiri hingga tidak menyadari. Gadis itu langsung melompat turun dari mobil. Dia bisa melihat jika ayahnya ingin mengatakan sesuatu lagi, tapi dia tidak peduli. Dengan kasar dia membanting pintu mobil hingga tertutup.

Dia mengenal kamar David seperti dia mengenal kamarnya sendiri, jadi tanpa canggung dia menerobos masuk ke dalam kamar itu meskipun dia tahu David masih belum datang.

Dia tidak tahu berapa lama dia sudah menunggu David, yang jelas dia sudah membuat kamar itu berantakan. Dia mengeluarkan buku-buku dari dalam rak, membacanya, lalu membantingnya ke lantai. Lagi, dan lagi, dan lagi. bahkan buku-buku bodoh yang biasanya mampu mengalihkan pikirannya sekarang tidak lebih dari sekedar kata-kata tak bermakna di matanya.

Dia berhenti membuang buku-buku ketika dia mendengar suara langkah kaki yang berlari menuju tepat ke kamar David. Setelah itu pintu kamar langsung mengayun terbuka lebar.

David berdiri di sana, wajahnya tampak ketakutan. "Fanny, apa yang terjadi?" tanyanya. Tapi Fanny tidak menjawab, dia malah langsung menerjang David dengan ciuman.

Dia menekan bibir David dengan menuntut dan putus asa. Rasanya menyakitkan. Sungguh, dia tidak ingin mencium David seperti ini. Tapi dia tidak bisa mencegah dirinya sendiri. Tangannya dengan liar menyentuh David seolah gadis itu membutuhkannya untuk bernapas. David menggeram. Dengan satu sentakan tangan dia menutup pintu kamarnya dan berbalik menerjang Fanny dengan sama liarnya.

"Katakan kamu tidak membutuhkan ini maka aku akan berhenti," ujarnya di sela-sela ciuman mereka. Fanny menggeleng dan menggigit leher David. Pemuda itu langsung melemparkan tubuh mereka berdua ke ranjang. Fanny nyaris saja menangis. Dia tahu dengan pasti jika David tidak akan mengecewakannya.

You know I need a distraction, David. Something or anything that makes me forget I'm broken.

TAK LAGI SAMAحيث تعيش القصص. اكتشف الآن