TAK LAGI SAMA, RENCANANYA

26 1 2
                                    

Ketika Fanny membuka lagi matanya, cahaya putih matahari menyambutnya. Hal pertama yang dia sadari adalah dia sedang berada di kamar David.

Kamar David masih berantakan. Buku-buku masih berserakan di lantai, begitu juga furnitur keci seperti kotak lilin dan kotak post it, tabung tempat penyimpan alat-alat tulis, sisir, cologne, pomade, beberapa foto polaroid dirinya dan David. Melihat itu semua tiba-tiba Fanny merasa konyol. Apa yang sudah aku lakukan di kamar ini?

Dengan pipi yang memerah, Fanny memberanikan diri untuk menoleh ke samping tempat tidur hanya untuk menemukan bahwa David sudah tidak ada di sana.

Fanny kemudian langsung mengarahkan pandangannya ke sofa kecil di depan tv. Rasanya seperti dèjà vu melihat David di sofa itu, bermain pubg di ponselnya. Tiba-tiba Fanny dicubit rasa bersalah. Pasti David semalam tidak tidur karena semalam Fanny bertingkah seperti anak kecil yang tidak bisa membedakan mana mimpi buruk dan mana yang nyata.

Ketika mata mereka bertemu, secepat kilat David melemparkan ponselnya di sofa, dan berlutut dengan anggun di hadapan Fanny. "Apa kamu merasa lebih baik sekarang?" tanyanya.

Fanny tercengang. "Gimana bisa kamu lakuin itu?"

"Lakuin apa?" Dahi David bekerut sekarang.

"Bergerak secepat itu!" Suara Fanny melengking seperti anak kecil yang menuntut penjelasan.

"Aku gak secepat itu." Tiba-tiba wajah David seperti halaman buku yang tidak bisa dibaca. Tapi setidaknya dia mengulurkan tangannya untuk menggeggam tangan Fanny.

"Kamu tahu, semalam aku sepeti lihat nerakaku sendiri." Kerapuhan dalam suara David membuat Fanny takut. Tangan gadis itu gemetar saat menyentuh dada David tepat di tempat jantungnya berdetak.

"Tapi kamu gak ninggalin aku," kata Fanny dengan lirih. "David, aku tahu gak adil buat kamu kalau kamu juga harus direcoki dengan mimpi-mimpi burukku, tapi kamu ada di sana, kamu gak ninggalin aku sendirian semalam. Aku gak bisa mnta lebih dari itu ke ka—" Kata-kata Fanny terhenti begitu saja ketika matanya menangkap satu sosok berdiri di pintu kamar yang terbuka. David merasakannya juga. Dia langsung menegakkan badannya.

Noah Albert tampaknya tidak terkejut sama sekali menemukan Fanny di kamar anaknya. Tentu saja seorang Noah Albert akan selalu tahu siapa saja yang kemuar-masuk di istananya meskipun David nyaris tidak berbicara dengannya untuk sekedar meminta izin membawa teman-temannya ke sini.

Noah nyaris saja sempurna memerankan sosok ayah yang tidak pedulian jika saja cakarnya tidak mencengkram David sekeras itu. Tidak peduli sekeras apapun David menolak, Noah tetap akan terus berusaha menjadikan anaknya itu boneka yang dia perlukan untuk dia tarik benangnya. Atau lebih tepatnya, robot yang dia perlukan supaya perusahaannya tetap bergerak.

"Fanny." Sapanya datar. Fanny bergeming, sementara David mendesis.

"Apa yang kamu mau?" suara David dingin dan mengancam, tapi Fanny menggeleng padanya seolah dia meminta David untuk membiarkan ayahnya bicara. Fanny tahu jika seorang Noah Albert tidak akan berbicara kepada siapapun kecuali dia merasa perlu.

"Saya dengar ayahmu sudah kembali ke kota ini. Dia ternyata pria yang baik. Saya sudah berbicara dengannya semalam." Fanny mencoba membaca wajah Noah, mencari tanda-tanda apakah dia berbohong apa tidak. Tapi gadis itu tidak menemukan apapun.

"Sejak kapan kamu dengan Handoko jadi sahabat?" suara David penuh dengan rasa jijik. Fanny masih bergeming dan masih berusaha untuk membaca Noah. Memang ada kemungkinan jika Handoko dan Noah saling mengenal. Handoko adalah seorang kriminal yang selicin belut, sementara Noah adalah seorang bajingan kaya yang licik. Lalu apa? Ke mana semua ini mengarah?

Fanny terus mentap Noah tapi tak kunjung menemukan apapun di wajah itu. Jelas Noah punya terlalu banyak trik untuk dimainkan. David sendiri tidak mengatakan apapun lagi. Itu bahkan tidak penting. Bagaimanapun juga, Noah pasti akan mengatakan apa yang dia mau.

"Perusahaan saya akan mengadakan event tahunan, dan saya selalu meminta David untuk datang, tapi dia lebih mementingkan egonya daripada perusahaan yang akan dia pimpin nantinya. Saya berharap kamu bisa datang Fanny, karena kemanapun kamu pergi, David pasti akan mengikutimu."

Itu dia. Keinginannya. Titahnya. Semuanya diucapkan dengan begitu sederhana dan kaku. Tidak ada kata-kata pemanis apalagi senyuman.

"Aku—" Fanny berusaha mencari kata-kata yang tepat seperti orang bodoh.

"Bagus. Bersiaplah. Acaranya besok malam." Noah langsung memotong, seolah apa yang akan diucapkan Fanny itu tidak penting. Dia lalu pergi dari kamar David begitu saja.

Fanny menatap David, tapi pemuda itu langsung menggeleng. "Enggak, kita gak akan pergi, Fanny."

"Ya, kita harus pergi. Dia kenal dengan ayahku! Sekarang aku gak heran kenapa polisi belum juga nyeret ayahku ke penjara. Mereka berdua mungkin sudah merencanakan sesuatu!" Fanny mengguncang bahu David.

"Itu sebabnya kita gak pergi!" David berteriak.

"Salah! Itu sebabnya kita harus pergi supaya kita tahu apa yang mereka rencanakan!"

TAK LAGI SAMAWhere stories live. Discover now