Chapter 8

21.8K 1.7K 36
                                    

"Hebat, dari mana kamu? Aku cari-cari dari tadi tapi kamu nggak ada! Chat juga nggak ada balasan! Aku hampir gila kalau kamu benar-benar nggak ada, Mora!" Agaam kesetanan dengan uratnya yang timbul di area leher.

Emosinya saat ini telah memuncak. Agaam mencekal pergelangan tangan Mora dengan kuat. Menatap tajam Mora, rahangnya mengetat. Mora hanya bisa meringis sakit karena perbuatan Agaam.

Dia ingin berteriak keras menunjukkan betapa tersiksanya dia. Mora masih di rundung perasaan bingung dengan kedatangan Agaam yang tiba-tiba. Di tambah kemarahan pria itu semakin membuat kepalanya pusing.

"Aku tanya sekali lagi. Kamu kemana tadi? JAWAB AKU, MORA! PUNYA MULUT, KAN?!"

Isak tangis Mora pada akhirnya meluruh. Pipinya telah banjir air mata. Dia tidak tahu harus mengatakan apa. Lidahnya kelu untuk sekadar menjawab, dalam sekali tarikan Agaam merapatkan badan Mora padanya.

"Jawab, Mora. Atau kamu akan terima akibatnya." Intonasi Agaam berubah rendah. Tatapannya tersirat mengancam. Sesaat ringisan Mora terdengar.

Mora berusaha berucap meski dengan sesenggukan. "A-aku tadi habis o-olahraga. Aku nggak ada buat apa-apa. Tadi a-aku lupa ba-bawa hp."

Wajah Agaam mendekati telinga Mora. "Kamu pikir aku percaya? Kamu mulai berani membangkang, Sayang. Dan aku nggak suka itu."

Seringaian laki-laki itu muncul. Bulu kuduk Mora meremang. Jemarinya meremas pundak Agaam kuat. Tanpa sempat bisa melawan, Agaam membawanya naik ke lantai atas menuju kamar Mora.

"Agaam! Lepas! Kamu mau apa?! Aku mohon, lepasin!" racau Mora. Agaam seolah menulikan rungunya.

Setelah memasuki kamar, Agaam menutup pintu dengan ujung kakinya. Mendorong badan Mora di atas ranjang. Selepas itu pria itu mengambil kunci pintu kamar dan menguncinya. Dia berjalan merapat pada Mora. Dengan penuh rasa takut gadis itu beringsut mundur.

Di tariknya betis Mora, lantas menjatuhkan diri tepat di atas badan gadis itu. Lengan satunya meremas rahang Mora agar sepenuhnya tatapan gadis itu terkunci dengannya.

Mora memandang takut wajah Agaam yang tanpa ekspresi. Selama dua menit Mora terus melepaskan cekalan Agaam. Bukannya terlepas, justru Agaam malah mengencangkan remasannya.

"Jangan bergerak, Sayang. Kamu mau dapat yang lebih parah dari ini?"

Agaam melepas dasi yang melilit di lehernya. Mengikat kedua tangan Mora dengan benda panjang itu. Jeritan Mora pecah mengisi setiap sudut ruangan. "LEPASIN AKU, AGAAM! KENAPA KAMU JADI GINI?! Aku nggak ada buat salah apa-apa!"

"Diam. Aku nggak ada minta kamu bicara."

"Kamu nggak tahu salah kamu, Mora? Hm?"

Tangan Agaam terulur masuk ke dalam saku jasnya. Mengambil sesuatu lalu menunjukkannya pada Mora.

Deg.

Mata Mora membelalak. Agaam menyeringai melihatnya.

Pisau lipat.

Dia tidak salah lihat, itu benar-benar sebuah pisau. Ujungnya yang runcing, bisa menembus apa saja dengan hanya menekannya.

"Gambar apa yang harus aku buat di tubuh kamu ini? Ada ide?" tanya Agaam bermain-main. Air mata Mora tak berhenti mengalir.

Dalam sekejap Agaam menyingkap kaus polos yang di kenakan Mora. Memperlihatkan perut ratanya. "Ini, ini punya aku. Semuanya punya aku, nggak ada satupun yang boleh melihat milik aku." Jari-jari Agaam menyusuri perut Mora dengan gerakan lembut.

Pisau yang masih di genggamannya, perlahan mulai menggores kulit perut gadis itu. Kontan Mora menjerit kesakitan, ujung bibirnya mengeluarkan ringisan keras. Batas geraknya tertahan dengan Agaam. Dia tidak bisa meronta.

Agaam menyeringai. Terlihat raut wajahnya menikmati aksinya. Pisau itu sedikit demi sedikit menggores kulit Mora cukup dalam. Bergerak sesuai yang di inginkannya menjadi sebuah kata. Lengkap dengan darah yang bercucur.

Mora tidak sanggup melawan. Sekedar bersuara saja nyalinya menciut. Pilihan terbaik adalah diam sebelum perbuatan
Agaam semakin menjadi-jadi.

"Finish. See, its's beautiful, right?" Agaam melempar pisaunya di atas nakas. Senyumnya sedikitpun tidak memudar memandang sebuah kata bertuliskan 'mine' di sana.

Kemudian, tatapannya beralih pada Mora yang lemas. Di bukanya ikatan yang membelit tangannya, lalu memberi kecupan di kening.

"I told you, i hate being denied. Kamu buat aku marah, aku jamin kamu akan dapat yang lebih dari ini kalau berani berbohong lagi," bisiknya.

Mora tetap menangis. Ringisan kesakitannya masih terdengar. Sekali lihat, luka yang ditoreh oleh Agaam jelas meninggalkan rasa perih yang menyiksa.

"S-sakit," rintih Mora.

Agaam mengelus pipi Mora. Sebelum turun dari ranjang dan keluar kamar. Setelah masuk kembali, Agaam datang dengan satu tangan membawa sebuah kotak P3K. Perasaan menyesal perlahan hadir di benaknya begitu melihat darah di tubuh gadisnya. Walaupun dia tidak menampik bahwa ini termasuk cara agar bisa memberi peringatan pada Mora.

Usai mengobati, Agaam memeluk Mora tanpa menyentuh lukanya yang belum mengering. "Tidur. Aku tahu kamu lelah."

Tangisan Mora dengan perlahan mereda. Dia memejamkan kedua matanya menuruti kata Agaam. Di dalam hatinya, Mora skeptis dengan apa yang di lakukan Agaam.

⚜️⚜️⚜️
TBC.
next enggak nih? ayoo dikomenn 👐🏼

𝐀𝐆𝐀𝐀𝐌𝐎𝐑𝐀Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang