6. Emosi

211 29 18
                                    

"Apa kau bilang?!!"

"Kau gila!!"

"Kau tidak memikirkan ucapanmu itu?!!"

Soonyoung menutup telinganya rapat-rapat. Bukannya sakit, tapi hanya terkejut karena sahabatnya bisa semarah ini dengannya. Walau memang Soonyoung sudah sering dimarahi. Tapi tetap kali ini Jihoon terlihat sangat murka dengannya. Omelannya sama sekali tidak mau berhenti. Sekarang saja wajahnya sudah merah.

"Kenapa kau melihatku begitu?! Harusnya kau merenungnya ucapanku. Bukannya justru bengong melihatku." Jihoon melanjutkan omelannya. Orang yang sudah seperti adiknya ini jika marah memang sangat seram. Soonyoung hanya bisa bungkam menahan tawa yang sebenarnya sudah ingin keluar sejak tadi.

Bagi Soonyoung, omelan Jihoon sama sekali tidak menyeramkan. Lebih tepatnya sudah tidak lagi menyeramkan. Karena dia sudah sering dimarahi pria ini, jadi bisa dikatakan Soonyoung kebal dengan segala amukannya. Soonyoung justru sudah menyiapkan sebuah godaan.

"Kau dengar tidak apa yang ku katakan!?" Jihoon mendudukan dirinya di kursi kebesarannya. Kursi komputernya. Kursi yang tidak akan dia tinggalkan jika hanya di rumah. Itu artinya Jihoon sudah mulai tenang.

"Dengar kok." Soonyoung memberikan cengirannya. Berharap Jihoon mau sedikit saja mengendurkan mata menyeramkannya itu. Tapi sayangnya itu tidak berhasil. Tentu saja, Jihoon tidak mungkin luluh. Sesama pria luluh dengan senyuman pria lain, itu kan jadi menyeramkan.

"Kau lagi PMS ya? Marah-marah terus. Santai dulu. Kan belum ku jelaskan secara lengkap." kata Soonyoung.

Jihoon menghela nafasnya berusaha mengembalikan kesabarannya. "Apa?"

"Kau lucu saat marah-marah begini." Jihoon melemparkan bantalnya ke arah Soonyoung. Diikuti dengan beberapa pulpen hingga ponselnya sendiri.

Tangan Soonyoung sigap menangkap ponsel Jihoon. Jantungnya seketika berdetak cepat dari Jihoon melemparnya sampai dia berhasil menyentuh ponsel pria itu. Bahkan debaran ini kalah kencang daripada saat dia mendekati seorang wanita. "Aku tau kau kaya, tapi jangan sampai melempar ponselmu sendiri. Nanti kalau rusak, kau menyalahkanku juga."

"Biarin. Biar sekalian kau gantikan dengan tipe terbaru." Balas Jihoon. Amarahnya sudah terbalaskan karena berhasil membuat Soonyoung terkejut. Melihat wajah shock-nya itu memang yang terbaik untuk Jihoon. "Cepat ceritakan lebih jelasnya! Kalau tidak jelas, aku akan mengusirmu." Perintah Jihoon.

"Ne..!" Soonyoung melemparkan kembali ponsel tersebut kepada pemiliknya. Berbeda dengannya, Jihoon lebih siap dan sigap menangkap ponselnya sendiri. Wajahnya datar dan tetap diam selama sahabatnya itu tiduran dikasur miliknya. Memang ini sudah jadi rumah kedua Soonyoung.

"Seperti yang tadi ku bilang, aku mengizinkan gadis bernama Hana itu untuk menganggapku kekasihnya." Soonyoung melihat sesaat ke arah tangan Jihoon. Tangan pria itu terkepal lagi. Masih marah rupanya. "Karena saat itu dia terlihat aneh. Mungkin dia sudah mulai kedinginan dan berhalusinasi, sampai semalam itu dia mengatakan yang tidak jelas. Dia bilang menyukaiku dan sering membayangkan kalau mau menjadi kekasihku. Kau tau bukan, aku tidak akan tega pada wanita jika sudah berhalusinasi seperti itu."

"Tapi aku juga tau, jika kau tidak akan mengatakan hal seperti itu tanpa pikir panjang. Apalagi soal perasaan wanita. Walau kau bodoh, tapi kau tidak mungkin bertindak sebodoh itu dengan mengizinkan seorang wanita menganggapmu kekasihnya." Kata Jihoon. Setengah fakta, setengah sindiran dan sepenuhnya emosi. Untunglah Soonyoung lagi-lagi terbiasa dengan sindiran ini.

Soonyoung mendudukan dirinya kembali di atas tempat tidur. "Ya tentu saja aku mengatakan itu karena Hana tidak sadarkan diri dan sedang butuh bantuanku. Dia juga pasti tidak sadar dengan kata-kataku."

I Choose You [COMPLETED]Where stories live. Discover now