🍀Murid baru

172 52 3
                                    

Disinilah aku berada, disebuah gedung yang terkenal sangat elit. Aku tidak tau bagaimana karakter siswa-siswinya, namun satu hal yang aku dengar dari Ayah, guru-guru disini sangatlah ramah dan baik hati. Tak pernah memandang kasta siapapun, bagi mereka semua itu sama, rata tak ada yang tinggi ataupun rendah. Jika ada, kekayaan itu hanyalah berasal dari orang tua mereka.

Aku menghela napasku pelan, menyiapkan diri sebelum mulai melangkahkan kakiku ke dalam gerbang sekolah itu. Tadi sebelum sampai, Ayah sudah menawarkan dirinya untuk mengantarkanku hingga diriku memasuki kelas baru. Namun, aku menolak. Aku hanya tak mau merepotkannya, biarlah Ayah ke kantor saja. Lagipula, buat apa harus diantarkan jika aku masih bisa melakukannya sendiri?

"Permisi, pak?" Sapaku ramah, saat sudah berada di depan pintu ruang kepala sekolah. Aku mengetahui ruangan tersebut dari ketua osis yang tak sengaja bertemu di koridor tadi.

Pak Rayhan, kepala sekolah di SMA Nusa Cendekia kini menatapku dengan senyum yang tak kalah ramah.

"Masuklah, Clau," ucap beliau. Aku mengangguk lalu mulai melangkah masuk kemudian duduk di kursi depan meja Pak Rayhan.

"Claudia bukan?" Aku tersenyum tipis menganggukkan kembali kepalaku.

"Kamu dapat kelas XI IPS 2." Pak Rayhan memberitahukan kelasku aku hanya mengangguk.

"Mau saya antarkan?" Tanya beliau.

Aku menggeleng, "tidak usah pak, saya bisa sendiri. Bapak tinggal sebutkan dimana letak kelas XI IPS 2-nya saja."

Cukup berani untuk seorang murid baru memasuki kelas tanpa adanya guru di samping bukan?

Pak Rayhan hanya tersenyum, "ruang kelasmu berada di paling ujung lantai 3 gedung ini. Setelah keluar dari ruangan saya, kamu belok kiri, lurus saja disana ada tangga. Kamu naiklah ke lantai 3." Pak Rayhan menjelaskannya dengan sangat jelas.

"Baik, terima kasih pak," ucapku. Kemudian beranjak dari dudukku yang diikuti oleh Pak Rayhan.

Aku mulai mengikuti jalan yang telah ditunjukkan oleh Pak Rayhan, kupikir sangat sulit untuk menemukan ruang kelas tersebut, ternyata cukup mudah bagiku.

***

Tok...tok...tok....

"Permisi, bu, saya dari murid pindahan," kataku di depan pintu.

Guru yang sedang mengajar disana tersenyum dan beranjak bangun, mendekatiku. Kemudian, memintaku untuk memasuki kelas. Aku mengekor di belakang punggung guru itu sembari menunduk.

"Kenalkan, saya Bu Tika, guru sosiologi di sekolah ini. Silahkan perkenalkan dirimu sayang," suruh bu Tika padaku.

Aku mengangguk kemudian mulai menatap siswa-siswi yang berada di kelas tersebut. Semua pasang mata telah fokus ke depan, memperhatikanku yang sangat asing bagi mereka.

"Perkenalkan, saya Claudia Ristha Atmajaya, panggil saja Claudia. Saya pindahan dari Bandung. Terima kasih." Mungkin terbilang sangat singkat, tapi aku tidak peduli. Toh orang butuh nama yang harus diketahui bukan yang lain.

"Hai Clau, aduh manisnya dirimu," ucap salah seorang cowok yang duduk di bangku palong belakang itu. Semua siswa menyorakinya, aku hanya tersenyum tipis mendengarnya.

Bu Tika hanya menggelengkan kepalanya melihat tingkah salah satu muridnya.

"Iya sudah, Claudia, kamu duduk di sebelah Andin, ya?" ucap Bu Tika, aku mengangguk membalasnya.

"Andin? Angkat tanganmu." Andin mengangkat tangannya setelah Bu Tika selesai berucap.

Aku mulai berjalan mendekat ke arahnya dan kemudian duduk di sebelahnya seperti yang diperintahkan Bu Tika tadi.

Aku tersenyum, Andin membalas senyumku lalu mengulurkan tangan kanannya.

"Kenalin, gue Andin Sabrina Lorensha," ucapnya memperkenalkan diri. Aku mengangguk lalu membalas uluran tangannya.

"Gue Anindita Isabella. Lo bisa panggil gue Dita," sambung Dita dari belakang. Aku menatap ke arah Dita kemudian tersenyum.

"Gue Lolita Andeya," sambung Lita dari sebelah.

"Ohiya, ngomong-ngomong kenapa bisa pindah?" tanya Andin padaku, aku kembali menatapnya.

"Ayahku pindah tugas, maka dari itu aku pindah." Bagi Claudia pertanyaan itu sangatlah sensitif untukku. Namun, bagaimanapun aku tau pertanyaan itu akan ada. Aku terpaksa berbohong, tak ingin memberitahukan yang sebenarnya.

Andin mengangguk mengerti, sementara teman di belakangnya hanya ber'oh ria.

Andin menggeser sedikit buku sosiologi miliknya, membaginya padaku yang belum mendapatkan satupun buku.

"Terima kasih," ucapku tersenyum yang dibalas anggukan kepala Andin.

***

3 jam telah berlalu, kini diriku telah berada di kantin sekolah baruku. Tentu bersama dengan ketiga teman baruku yang tadi mengajakku. Awalnya aku menolak, karena aku sendiri ingin menyelesaikan bacaan novelku namun mereka memaksa dengan terpaksa aku mengiyakan.

"Mau pesen apa Clau?" tanya Lolita padaku, aku hanya menggelengkan kepala. Tak ada selera untuk memakan makanan yang ada disana. Lolita ditemani Andin pergi untuk memesan makanan.

Aku memangku kedua tanganku didagu sebagai penopang kepalaku. Aku memilih diam walau ada Dita bersamaku.

Dita yang sibuk memainkan ponselnya kini beralih menatapku dan memasukkan ponselnya ke dalam saku seragamnya.

"Clau," panggilnya, aku berdeham seraya menatapnya.

"Lo kenapa bisa akrab sama kak Davin tadi?" Lanjutnya bertanya. Jadi ternyata Dita sempat melihatku berbincang dengan kak Davin tadi toh.

Aku bisa melihat ada kilatan cemburu di dalam mata Dita. Senyumku terbit, pikiranku menebak bahwa Dita menyukai kakak sepupunya, Davin. Ya, Davin Satya Atmajaya. Ia adalah kakak sepupuku, anak dari kakak Ayahku.

Tak banyak yang mengetahui kecuali teman dekat Davin, karena Davin sendiri selalu menyingkat nama keluarga mereka.

Atmajaya, hanya disingkat menjadi huruf A. Bukan apa-apa, hanya saja itu sudah menjadi kebiasaannya menyembunyikan fakta bahwa ia adalah anak dari keluarga Atmajaya.

Davin sendiri mempunyai kisah yang mungkin terbilang sangat menyakitkan. Saat ia kecil, ia hidup di panti asuhan. Setelah 15 tahun lamanya, ia baru ditemukan oleh paman Gavin.

"Iya, tadi aku tidak sengaja menabraknya," alibiku. Untungnya Dita percaya pada alibiku.

Aku bisa saja menjawabnya jujur, akan tetapi aku memikirkan perasaan Davin. Biarkan saja ia yang berbicara hubungannya denganku.

"Apa kamu menyukainya?" tanyaku pada dita yang mendapat balasan gelengan kepala secepat kilat. Aku hanya mengangguk, berpura-pura untuk percaya. Lagipula aku terbilang baru di dalan pertemanan mereka.

"Ini buat lo Clau. Makanlah." Andin menyodorkan sepiring siomay padaku. Aku mengernyitkan dahi, bukankah aku tadi sudah bilang tidak memesan, lalu mengapa malah mereka membelinya untukku?

"Tidak baik loh nolak makanan," ucap Lolita yang melihat kebingunganku. Mau tidak mau aku akhirnya menerimanya siomay yang telah dipesankan Lolita dan Andin.

Andin dan Lolita kemudian duduk dan mulai memakan makanananya begitupun denganku dan Dita.

ClaudiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang