- 8 -

50 49 9
                                    

"Jadi cewek yang meninggal kemarin adalah satu diantara anak IPA yang pernah ngejahilin lo?" Tanya Marvel saat aku selesai menceritakan tentang sella. Kemarin aku sempat lupa dan merasa tidak perlu di bahas juga.

"Ya nggak di jahilin juga, enak aja dia mau macem-macem." Gertakku tak terima. Dalam ucapannya, Marvel tampak meragukanku.

"Yayaya lo kan diem-diem bar bar juga." Mulutnya bisa nggak tuh di saring. Aku masih menggerutu tiap omong kosongnya itu menyinggungku.

Walau, itu kenyataan sih.

"Gue rasa sella di bunuh ada hubungannya sama lo. Pembunuhnya ngancem lo dengan ini. Btw, takut hehe." Payah. Ku kira dia itu pemberani. Nyatanya selain mudah lelah saat berlari, dia juga mudah lelah saat berjuang.

"Jadi?" Aku mengangkat sebelah alisku. Menantangnya barang kali dia ingin beradu mulut. Tenang, urusan debat Maya juaranya!

"Gue kabur ah, takut di bunuh." katanya memasang wajah melas yang tak mempan bagiku.

"Oh gitu? yaudah pergi sana. " Aku menunjukkannya jalan keluar dari pojok baca yang kami tempati saat ini. Kami bisik-bisik kok jadi gak seberapa berisik.

"Yah di usir?" Nada retorisnya membuatku kesal lagi. Apaan sih, kenapa disini aku yang jadi terlihat seperti pihak paling jahatnya?

Dia diam saja saat aku juga malas membalasnya. Ku pikir, mungkin dia sedang merencanakan untuk pergi dari sini. Tapi untuk sekarang, setidaknya suasana tak seriuh saat Marvel banyak bicara.

"Ye, gue becanda kali." Dia menepuk tangannya di depan wajahku. Aku yang semula menatapnya datar kini menyorotnya garang.

Bisa-bisanya dia memperhatikan persoalan hidup dan ketakutanku. Aku tak sereceh itu untuk menganggap hal ini lelucon.

Dasar cowok!

"Yaudah deh gue minta maaf. lo boleh minta apa aja deh sama gue." Tawarnya padaku. Aku berfikir sejenak mengingat hal yang seharusnya aku minta dari Marvel.

"Gue cuman minta lo setia jadi pawang gue. Bantu gue ngungkap masalah ini, sebagai bodyguard gue, oke?" Tanyaku tersenyum tapi wajah datar lebih mendominasi. Jadi tidak mungkin bisa hilang begitu saja. Setidaknya tadi sudah berusaha.

"Yaelah, lo ngajak temenan aja nyela gue dulu. Mana di jadiin pawang lagi, parah lo." Marvel mencebikkan mulut, seolah akan terlihat imut. Padahal, aku melihatnya saja mual.

"Nggak usah sok imut. Nggak cocok juga." Menyela ucapannya Marvel menyenangkan juga. Jadi, sepertinya aku akan menjadikan hal satu ini sebagai hobi.

"Untung cantik ya." Gumamnya.

"Jadi gimana, lo sanggup?" Tanyaku padanya yang sudah selesai dengan gumaman yang masih dapat ku dengar.

"Ya ya ya, untuk menepati janji itu, gue mau lo jadi temen gue. so, will you my best friend?" Aku mendongak melihat ke arah mata Marvel. Disana terlihat ketulusan.

Aku masih ragu. Semua orang juga tahu sejak sekolah dasar, aku selalu sendirian dan tak memiliki teman. Sekarang, dia mengajakku berteman? Walau baru mengenal 2 hari yang lalu?

"Gue ragu." Gumamku dan ternyata masih terdengar juga di telinga Marvel. Bagus, sepertinya ini karma setelah aku menertawakan gumaman Marvel yang terdengar juga.

Apa yang kamu tanam itu yang kamu tuai kan? Kali ini aku percaya bahwa pepatah itu ada benarnya.

"Kenapa? lo nggak akan maju kalo stuck sama masa lalu. Inget, hidup itu maju May, bukan mundur." Dia menepuk bahuku dan berjalan setelah itu. Aku mendengar derap langkahnya walau saat ini menunduk.

Marvel in gameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang