9. Halu

124 8 1
                                    

Malam ini Morgan dan Zidan sedang berada di area balap. Atau yang banyak orang sebut sirkuit. Mata Zidan dan Morgan menyipit ketika melihat Maxe sedang tersenyum kearah Joy. Sahabatnya yang katanya sedang berkeliling dunia untuk mencicipi kuliner itu berada disini.

"Yang duduk di atas motor Ninja merah itu Maxe kan?" Tanya Zidan, memastikan. Dia tidak mungkin salah orang. Mereka sudah bersahabat sangat lama, tidak mungkin jika tidak bisa mengenali ciri-ciri tubuh sahabat mereka satu sama lain.

"Menurut gue, itu memang Maxe." Morgan menatap laki-laki yang mirip sekali dengan Maxe lekat-lekat. Lelaki itu memakai Helmnya dan langsung menancap gas motornya dengan kecepatan tinggi. Balapan dimulai, Maxe dan Zidan duduk di atas motor mereka masing-masing.

"Tuh anak kata Bu Anjar pindah ikut bokepnya ke Jerman. Kok tiba-tiba ada disini? Kemarin terakhir gue lihat postingan dia di Instagram, dia berada di New York. Lima hari kemudian beralih ke Swiss, lalu entahlah. Kok sekarang bisa ada disini?" Morgan benar-benar bingung dengan keberadaan Maxe.

"Oke, pemenang kita malam ini adalah Maxe!" Suara lantang milik laki-laki menggema di area sirkuit. Maxe melepas helmnya. Joy datang menghampiri sahabatnya itu sambil Bertos ria.

"Selamat, Bro!" Joy tersenyum lebar, sehingga memperlihatkan kedua lesung pipinya.

"Yoi!" Maxe menyisir rambutnya kebelakang dengan gaya sombongnya.

"Cabut!" Zidan menepuk pundak Morgan. Kedua orang itu menancap gas motornya menembus ramainya jalan ibu kota metropolitan.

Zidan dan Morgan berhenti di pinggir jalan. Mereka berdua bersandar disamping motor mereka.

"Maxe udah datang, Lo harus gerak cepat. Maxe bisa aja bela Joy, karena Lo lihat tadikan? Maxe terlihat akrab dengan Joy. Dia memang tidak berpihak sama Lo atau Joy, tapi..."

"Gue paham! Gue cabut dulu." Zidan mengangguk, dia membiarkan Morgan pergi begitu saja.

"Beruntung Lo Bon, semua cowok yang ngejar Lo adalah sahabat gue. Mereka sama-sama baik." Monolog Zidan, sembari tersenyum tipis.

***

"Kenapa nilai kamu semi budaya jelek banget sih, Bon?" Bu Rafika terlihat sangat marah. Bona tidak bisa berkutik. Bukan, bukan dia yang tidak bisa bernyanyi, tapi Zola yang terlalu cepat dalam bermain gitar.

"Satu kelas yang Remidi itu hanya kamu!" Tegas Bu Rafika. Dia benar-benar kecewa dengan Bona.

"Banyak guru-guru disini yang mengeluhkan sikap kamu. Kata mereka, kamu itu sering tidak tuntas ketika mengerjakan ulangan." Telinga Bona terngiang dengan ucapan Bu Rafika. Dia menunduk dalam, dia mengakui kalau dirinya salah.

Bu Rafika menghela nafas panjang. Dia tidak habis fikir dengan muridnya itu. Kenapa setiap di kasih ulangan selalu mengecewakan? Apa sebenarnya masalah muridnya itu?

Tok...tok..

Suara pintu yang di ketuk sedikit keras, mengalihkan tatapan tajam Bu Rafika pada Bona.

"Masuk!" Seru Bu Rafika.

Morgan membawa tumpukan kertas HVS yang sudah tercoret tinta. Dia meletakkan semua kertas HVS yang dia pegang di atas meja.

"Ini hasil ulangannya, Bu. Saya permisi." Baru saja Morgan hendak pergi, tiba-tiba Bu Rafika memanggilnya.

"Morgan, bisa kamu bantu Bona untuk menyelesaikan ulangannya? Tidak perlu mendapatkan nilai A, B saja sudah cukup." Pinta Bu Rafika dengan nada pasrah. Bona hanya diam dengan kepala menunduk. Dalam hati dia terus merapalkan doa agar Morgan menolak permintaan Bu Rafika.

Bona tidak munafik, dia masih menyimpan perasaan kepada mantan kekasihnya itu. Namun mau bagaimana lagi, semua itu sudah masa lalu.

"Baik, Bu." Jawab Morgan, sambil menganggukkan kepalanya.

"Oke, Bona, kamu setiap pulang sekolah harus latihan nyanyi bersama Morgan. Kamu yang nyanyi, Morgan yang main musiknya. Dan ingat, dalam satu Minggu kamu harus bisa menyanyi dengan bagus." Ucap Bu Rafika tegas.

"Tapi, Bu..."

"Atau kamu tidak naik kelas!" Potong Bu Rafika.

Bona menghela nafas kasar, dia menganggukkan kepalanya dengan pasrah.

"Baiklah, kalau begitu saya permisi." Bona keluar dari kelasnya dengan wajah di tekuk.

***

Di dalam kelas X IPA Bagas dan Nata sedang membicarakan tentang murid pindahan yang akan datang besok.

"Jantan atau betina?" Tanya Nata kepada Bagas dengan antuasias. Duo rusuh itu sedang duduk di lantai sambil nge-gibah.

"Loh kira ayam, Nat. Pakai nanya jantan atau betina segala." Dengus Bagas, seraya menoyor kepala Nata.

"Yaelah, gue cuma nanya doang kalik. Gimana?" Nata benar-benar tidak sabar menunggu jawaban yang akan keluar dari bibir Bagas.

"Cowok." Jawab Bagas santai.

"What cowok? Bentar-bentar, Zola...." Teriak Nata heboh. Zola yang sedang mengobrol bersama teman-temannya yang lain tentang Bias indola mereka jadi terganggu.

"Toa Mekah, ngapain sih Lo teriak-teriak segala?! Kalau gendang telinga gue pecah Lo mau tanggung jawab?" Zola menghampiri Nata yang sedang berdiri heboh di belakang kelas.

"Pokoknya besok Bona duduk disebelah Lo. Bangku sebelah gue udah ada yang mau nempatin." Nata menyibakkan rambutnya kebelakang dengan senyum merekah.

"Eh biji ketumbar, emang siapa sih yang akan duduk disamping Lo?" Zola menatap Nata dengan kesal.

"Eh Bagas, siapa nama cowok yang mau pindah kesini besok? Siapa?" Bagas mengerutkan keningnya bingung.

"Pindah kesini? Ke kelas kita?" Tanya Bagas memastikan.

"Ya, iyalah bego. Masa di kelas sebelah gue sampai ngosongin bangku buat tuh cowok." Jawab nata kesal.

"Pindah kesini, maksut gue tuh cowok pindah ke sekolah sini. Bukan pindah ke kelas sini. Dia calon pindahan kelas XI kalik." Melihat ekspresi terkejut Nata, sontak Bagas dan Zola langsung tertawa keras.

"Dasar pantat panci, kalau cari informasi yang benar dong. Yang akurat gitu, baru laporan ke gue. Kirain pindah kesini, tahu-tahunya pindah kesana. Dedekkan jadi patah hati gara-gara berharap tinggi bisa duduk berdua dengan dia." Nata menatap kesal Bagas yang terus tertawa bersama Zola.

"Terserah Lo deh, Nat. Gue mau lanjut ngegosip dulu. Siapa tahu gitu besok Lee Minho datang ke Indonesia, terus dia mampir ke rumah gue." Zola menggigit ujung kukunya dengan ekspresi menggelikan.

"Ngapain mampir ke rumah Lo? Minta sumbangan?" Sinis Nata.

"Bloon banget Lo. Ya biasalah, ngelamar cewek cakep kayak gue. Gak mungkin dia minta sumbangan, dia itu kaya raya. 7 turunan hartanya gak akan habis." Zola memukul pundak Nata, kesal.

"Ngehalu Mulu Lo. Kalaupun hartanya tidak akan habis 7 turunan, kalau dia keturunan ke 8 Lo bisa apa?" Ledek Nata sambil tersenyum lebar.

"Bisa minta foto sama tanda tangan dia lah. Gak perlu kaya, yang penting bersama." Zola loncat-loncat tidak jelas di belakang kelas.

"Eh bibir licin kayak ikan lele. Kalau ngomong yang benar. Gaya Lo gak perlu kaya yang penting bersama. Lo fikir skincare yang Lo pakai itu beli pakai daun?" Sontak ucapan keras Bagas membuat seisi kelas tertawa keras.

Dear Mantan (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang