6

95 14 16
                                    

"Yang sebenarnya kaurasakan, bisakah kau ceritakan dengan terperinci?"

Perasaan apa, memangnya? Setiap berpura-pura menangis, Saera sengaja mengenang kembali beberapa hal sedih secara acak, tetapi bukan berarti ia benar-benar merasakan kesedihan itu. Malah kalau boleh jujur, Saera akan mengatakan dia geli pada respons panik Ryeon tempo hari. Hal ini jelas mustahil diungkapkan.

"Tuan, apa yang saya rasakan waktu itu adalah bukti betapa kekanakannya saya." Setelah sejenak menimbang, Saera menemukan cara untuk memicu rasa penasaran Ryeon. "Terlalu malu saya menceritakannya kembali."

"Berarti kau tidak akan mengatakan apa pun mengenainya padaku?"

Saera yang tak berniat untuk menjawab memilih untuk mengangguk samar. Ryeon yang melihatnya menghela napas dalam.

"Jika demikian, aku minta maaf telah melukai hatimu."

Walaupun sesudahnya, ia memaafkan Ryeon secara lisan, Saera tidak menangkap penyesalan dari kata-kata lelaki ini. Sang pedagang barangkali mengucap maaf sekadar untuk menunaikan kewajiban membina hubungan baik dengan pegawai. Bukan itu yang Saera inginkan, tetapi ia maklum; tak mungkin Ryeon bersungguh-sungguh jika Saera sendiri masih bermain rahasia.

Sutra Saera diantarkan lebih dulu kepada pemesannya. Mereka sempat ditawari jamuan—yang ditolak Ryeon agar waktu perjalanan mereka menuju desa tempat berdagang tidak semakin memuai. Namun, demi menghargai itikad baik tuan rumah, mereka menerima sedikit perbekalan yang disiapkan pelayan-pelayan si pemesan. Begitu singkat kunjungan mereka di rumah bangsawan itu sampai Saera mempertanyakan apa perlunya diikutkan rombongan kalau cuma ditugasi mengantar sutra.

"Dia mungkin hanya ingin mengajakmu bicara panjang tentang alasanmu menangis, tetapi karena kau bersikap sulit, dia gagal meneruskan perbincangan," tebak Saeshinbu.

Jangan konyol. Ryeon selalu memikirkan keuntungan. Mengajakku kemari dengan alasan tak penting begitu akan merugikannya melalui banyak cara, sanggah Saera.

"Ck, itu memang benar, tetapi apa lagi, coba? Kau buta huruf, tidak mungkin membantunya mencatat transaksi. Kau juga tidak bisa menakar harga kain. Kau tak kenal para warga di desa tujuan dan tidak jago menjalin hubungan dengan orang baru karena pemalu. Terus?"

Otaknya mungkin mulai rusak karena kebanyakan bekerja, jawab Saera cuek dan sebal. Berkuda bersama Ryeon lama-lama terasa menyesakkan akibat kebekuan di antara mereka. Ia ingin segera turun saja dan berinteraksi dengan manusia alih-alih sebuah patung batu di belakang.

Keluar dari batas pemukiman padat, rombongan Ryeon memasuki wilayah yang amat jarang penduduk. Jalur yang mereka lalui ditumbuhi pepohonan rimbun, tetapi ketika pepohonan yang mereka jumpai juga mulai berkurang, bebatuan besar menggantikannya. Perjalanan mereka beberapa kali tersendat akibat rintangan ini, juga naik turunnya jalur yang mesti mereka lewati. Ryeon dan para asisten bahkan beberapa kali menuntun kuda mereka supaya dapat melewati medan yang sulit ini; Saera tidak diizinkan membantu karena 'akan semakin menyusahkan kalau kau turun juga'.

Mengapa Ryeon rela menempuh perjalanan sulit ini demi menjajakan sekian lembar katun yang tak istimewa?

Akhirnya, perjalanan yang alot itu menemui ujung. Rombongan melintasi gerbang kayu yang sudah usang tanpa plang nama. Di belakang gerbang itu, berjejerlah sekian banyak gubuk bambu beratap rumbia. Jalanan desa tak begitu hidup, tetapi beberapa orang yang melihat Ryeon memasang raut terkejut dan masuk rumah, hanya untuk membawa beberapa orang bersama mereka kemudian.

"Tuan Heo Ryeon datang! Tuan Heo Ryeon datang! Ayo, kita berkumpul ke balai desa!"

Saera melongo heran. "Mereka semua sudah mengenal Tuan Ryeon? Selain itu, Tuan sepertinya sangat dipuja  di sini," katanya kemudian, terkagum-kagum dengan arus manusia yang disebabkan oleh ketibaan sang majikan.

The Binding Bride ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang