5th

41 8 3
                                    

"Eve! Ada telepon dari temanmu," Lixa memanggil, sambil membawa telepon genggam dan membuka pintu menggunakan kaki

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Eve! Ada telepon dari temanmu," Lixa memanggil, sambil membawa telepon genggam dan membuka pintu menggunakan kaki. Pintu itu mudah sekali dibuka, karena sudah lama longgar. Lixa, seperti biasanya, langsung saja masuk tanpa izin. Gadis itu bungkam memandang isi kamar kakaknya. Cukup berantakan, tidak seapik hari-hari sebelumnya. Sang pemuda yang dia cari juga tengah terlelap, saat-saat tugas tengah dia kerjakan.

Lixa lantas mendekati presensi kakaknya, perlahan menapaki lantai tanpa sedikitpun menyebabkan suara. Bayangan tentang pertanyaan Lumi mendadak mengapung di benak, membuka beberapa memori lama di Sprinnorth. Tetapi, Lixa bersikeras menyingkirkannya.

"Eve," dia kembali menyebut nama, membangunkan kakaknya. Ada pergerakan dari raut wajah Eve. Gadis itu lega, tetapi hanya berlangsung beberapa detik setelah dia melihat raut  menyakitkan Eve muncul, membuat sang pemuda tidak nyaman tidur.

"A-Aster ...," tatihnya lemah.

Cairan bening nan hangat mengalir di sudut mata pemuda. Jantung Lixa berdegup kencang, kala nama itu terlontar. 

Aster. Nama itu mengingatkan Lixa tentangnya, yang pura-pura hilang hanya demi mengejutkan Eve di hari ulang tahunnya. Hari itu, Eve juga membohongi Aster tentang kristal dari Kakek Greg tidak dia bawa. Batu itu sebenarnya ada di dalam tasnya. Begitu dia menemui gadis itu, portal langsung terbuka, dan memberi petaka pada Aster.

Eve tidak tahu kalau waktu sore, portal tetap bisa terbuka dengan kristal. Hanya karena jarak dia berdiri terlalu dekat dengan pohon, gadis itu terisap ke dalamnya—sesuatu yang tidak pernah Eve inginkan. Lalu, mulai saat itulah Eve bersikeras menariknya dari dimensi lain, meninggalkan kristal yang ada di tasnya.

Meski Eve berhasil menyelamatkan nyawa gadis itu, ketidakyakinannya justru menghalangi. Masih saja dia tidak mau tahu soal Aster, soal tubuhnya yang telah stabil, karena kalimat orang tua itu masih menempel di benaknya—tentang portal yang menukar pengunjungnya menjadi orang lain, dengan paras yang sama. Itu mampu dikaitkan dengan gadis itu, Aster. Yang dia selamatkan bisa saja bukan teman yang dia kenal.

Tangan Lixa mengusap ubun-ubun pemuda. Rambut abu-abu ini bukan diwarnai, tetapi bukti bahwa Eve telah melintasi dimensi tersebut dalam kurun waktu empat tahun. Wajahnya tidak menua, dia masih sebagai Eve yang Lixa maupun Aster kenali. Akan tetapi, Eve justru mengharapkan harapan buruk lain kalau perubahan ini membuat Aster tidak tahu tentang dirinya.

Eve ingin Aster hilang, sampai saat ini rasa takut dan ketidakpercayaan terus menyelimuti hatinya. Saat gadis itu menerornya dengan sambungan telepon, maupun saat dia ingin bertemu langsung dengan Eve. Kala itu terjadi, Eve tidak mau tahu dan dia berakhir mengabaikannya.

Lixa melepas napas. Hanya gerakan ini yang bisa dia lakukan demi menenteramkan perasaan Eve. Dia tidak sanggup lagi membayangkan kejadian itu lebih jauh. Tetapi, dia juga tidak mau Eve terus-terusan seperti ini.

"Aster ... kupikir kau harus menemuinya," ungkapnya menjawab telepon. Menggantikan presensi sang kakak.

PrimaveraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang