d u a

614 103 20
                                    

✥

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Hujan masih enggan untuk beranjak. Tangisnya begitu deras merajam bumi. Kilat yang merasa terabaikan, meluapkan amarahnya pada gugusan awan kelabu menciptakan gemuruh yang teramat gaduh. Menunjukan otoritasnya pada cakrawala yang teramat acuh.

Menenangkan dirinya, Akaashi dengan implusif membawa [Name] kedalam dekapannya. Gadis itu tadi menjerit penuh kengerian saat gemuruh menyapa bersamaan dengan gelap gulita yang menyelimuti kediamannya.

Tangis [Name] pecah teramat deras. Tubuhnya bergetar hebat. Akaashi kian panik, pemuda itu tak tahu harus berbuat apa. Tangannya hanya bisa mendekap erat sang gadis. Pikirannya melalang buana tak terkendali.

"Tenanglah, [Name]. Ada aku di sini." Akaashi mengelus surai sang gadis pun menenangkan dirinya sendiri.

"A-aku, takut gelap," ucap [Name] di sela isak tangisnya.

Belum sempat mengolah informasi yang masuk. Guntur kembali berbuat gaduh bersama kilat yang membiaskan cahaya sepersekian detik.

[Name] menjerit pilu. Pikirannya merealisasikan segala benda yang tertangkap pengelihatannya menjadi hal fantasi tak menyenangkan.

"Jangan mendekat," rancau [Name]. Tubuhnya bergetar.

"Tolong, Aku ketakutan." Matanya terpejam, tangannya menutup kedua indra pendengarannya kuat-kuat.

Akaashi terpaku. Meruntuki dirinya yang lambat menyadari pun tengelam dalam pikirannya yang karut-marut.  Bodoh, seperti bukan dirimu saja.

"Tenanglah, [Name]. Kau akan baik-baik saja," ujar Akaashi. Tangannya mengusap pungung sang gadis menengkan.

Kendati situasinya semakin membuat [Name] kalut, tak seharunya ia teramat panik hingga tak bisa berpikir jernih. Mengontrol napasnya, Akaashi meraba-raba sekitar. Berdecak, pun ponselnya tak bisa ia temukan. Pemuda itu butuh cahaya.

Berusaha bangkit, [Name] justru mengencangkan dekapannya. "Jangan tinggalkan aku sendiri," mohonnya lirih.

"Aku hanya ingin mengambil lilin sebentar," tutur Akaashi berupaya melepaskan dekapannya.

[Name] menggeleng. Akaashi mengernyit. Pemuda itu tak ada niatan barang pergi meninggalkan [Name] dalam kesendirian. Ia hanya akan mengambil lilin, yang seingatnya ia letakan tak jauh dari tempat mereka berada.

"Tidak usah, aku baik-baik saja. Yang penting jangan tinggalkan aku sendiri," tuturnya penuh permohonan.

"Baiklah." Akaashi mengalah. Pemuda itu mengusap wajahnya kasar. [Name] berbohong. Dilihat dari manapun gadis itu tak baik-baik saja. Kondisinya kacau.

Berupaya menguraikan kondisinya saat ini. Akaashi melirik [Name] dalam dekapannya. Sebenarnya hal apa yang membuat [Name] begitu ketakutan. Gadis itu berkata takut gelap namun saat guntur hadir ia ikut menjerit pilu.

Di liriknya jendela, hujan mulai menipis. Guntur yang sedari bergemuruh pun meredakan amarahnya pada cakrawala. Sekiranya sebentar lagi listrik akan hidup.

Kondisi [Name] berangsur tenang, napasnya mulai teratur, tangannya tak lagi menutup kedua pendengarannya. Kendati air mata masih terus berlinang dari pelupuk matanya.

"Sudah menyala lampunya, [Name]"
Akaashi pengusap kepala [Name].

Sang gadis mengangguk, lamat-lamat mengendurkan dekapannya pada si pemuda. Akaashi merasa lega, tetapi di satu sisi pemuda itu merasa kehilangan.

"Aku haus, Akaashi," ujar sang gadis. Tangannya sibuk mengusap jejak-jejak air mata yang tersisa.

"Aku ambilkan, sebentar." Akaashi beranjak menuju dapurnya. Tak lupa menenteng baju ganti. [Name] benar-benar meninggalkan pulau besar di bajunya.

"Terimakasih." [Name] lekas meneguk segelas air yang di sodorkan Akaashi. Tengerokannya teramat kering seusai menangis.

"Apa sudah lebih baik?" Tanya Akaashi ragu-ragu.

"Ya, sedikit lebih baik."

"Maaf membuatmu repot seharian ini, Akaashi." Jemari [Name] menggenggam erat gelas. Bibirnya digigit kuat-kuat. "Kau bahkan rela tidak tidur semalam."

"Bukan masalah besar. Yang penting kau baik-baik saja."

Akaashi tak merasa di repotkan oleh kehadiran sang gadis yang sedikitnya menimbulkan kekalutan di dalam dirinya. Pemuda itu sudah terbiasa.

Kemudian, sinar mentari menelisik malu-malu dari balik jendela kamarnya. Menghangatkan suasana cangung yang tercipta di antara keduanya. Fajar menyapa di waktu yang tepat. Menjadi pembuka hari yang baru di kala badai telah berlalu.

Kemudian semuanya membaik. [Name] kembali beristirahat dengan tenang. Akaashi pun memilih menyerah pada kantuk yang menyerangnya.

Lalu keduanya melupakan eksistensi seorang pria yang semalaman suntuk mencari keberadaan sang adik yang hilang entah kemana.

OVERCOME | Akaashi KeijiWhere stories live. Discover now