l i m a

586 87 45
                                    

✥

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

[Name] pikir jalan-jalan bersama Akaashi menjadi metode yang menyenangkan untuk mengatasi phobianya. Tapi kenyataannya tidak sama sekali.

Akaashi diam-diam ternyata senang menyiksa dirinya. Tidak secara langsung, namun secara perlahan. Terlebih ekspresinya yang selalu konstan membuatnya semakin terlihat menyebalkan.

Tujuan Akaashi mungkin hanya mengajaknya makan di luar saat mentari tengelam. Hanya saja pemilihan rute yang pemuda itu suguhkan tak pernah tanggung-tanggung pun sangat bervariasi. Seperti perumahan sepi penduduk, gang sempit dan gelap, pemakaman dengan segala hal-hal mistisnya, dan masih banyak tempat mengerikan lainnya.

Sederhana namun terasa begitu efektif dan kreatif. [Name] bersyukur Akaashi serius membantunya untuk sembuh. Dan lagi hari-hari yang mereka lalui jauh dari kata membosankan. Ada siksaan berarti juga ada sebuah kejutan.

Seperti saat ini, [Name] berdecak kagum. Netranya menjelajahi kota Tokyo dari sudut pandang yang berbeda.

"Pemandangan di sini sangat menakjubkan. Tapi ...." [Name] memberi jeda pada semilir angin yang menerpa tubuhnya dengan manis.

"Apa harus tempatnya di puncak gendung seperti ini?" Tanyanya sedikit jengkel mengingat perjuangannya sampai di sini bukanlah hal yang mudah.

[Name] mengarahkan senternya ke segala arah dengan gerakan secepat kilat. Menunjukan kegugupan yang perlahan menjalar. Belum lagi Sebelah tangannya mencengkram lengan Akaashi kuat-kuat.

Akaashi meringis.

"[Name], tenang," ujarnya sedikit jengkel.

Pasalnya, tadi sewaktu mereka masih berada di depan gedung [Name] sangat percaya diri dapat menyelesaikan test terakhir dengan baik. Gadis itu bahkan sesekali berjalan mendahuluinya. Hingga [Name] terjatuh, kakinya tak sengaja tersandung sebuah balok kayu. Kemudian, Gadis itu jadi paranoid sendiri.

[Name] kembali teringat histori menyakitkannya di rumah hantu. Di mana saat itu kakinya tak sengaja di cengkram makhluk buruk rupa dengan tangan berlumuran darah. Karena pengalaman itu pula [Name] semakin paranoid saat gelap dan berakhir mengidap nyctophobia.

"A-aku teringat kejadian itu lagi, Akaashi," suara [Name] sedikit bergetar.

Langkah Akaashi terhenti.

"Aku percaya kau bisa melewati ini, [Name]." Akaashi memegang kedua bahu [Name] meyakinkan sang gadis yang mulai goyah.

"Ini yang terakhir, jangan sampai kau kalah oleh rasa takutmu. Setelah semua hal yang kau lewati dengan susah payah, apa kau ingin kembali ke titik awal?"

[Name] menggeleng. Ia tak ingin kembali tengelam dalam rasa takutnya. Akaashi benar, ia sudah berjalan sejauh ini tak semestinya ia kembali ke titik awal.

[Name] memejamkan matanya. Pemikirannya ia pusatkan pada hal-hal menyenangkan. Imaji liarnya akan kalah oleh hal logis, begitu yang Akaashi katakan padanya.

Mengatur napasnya, [Name] berdamai dengan gelap.

"Ayo kita lanjutkan, aku sudah baik-baik-baik saja."

Akaashi merasa sedikit lega. [Name] berhasil menekan ketakutannya dengan sendiri kendati gadis itu hampir tengelam dalam kemelut ketakutannya.

"Sudah kubilang ini test terakhirmu. Situasi di sini sangat pas untuk menghadapi ketakutanmu secara nyata."

Akaashi sudah memikirkannya matang-matang. Dipilihnya tempat ini bukan semata-mata karena memiliki rooftop yang indah, namun juga memiliki tingkat kemiripan hampir sama dengan penyebab trauma sang gadis.

Keberhasilan [Name] dalam menghadapi ketakutan dengan segala pemikiran logisnya tak cukup barang menyembuhkan luka yang hadir dalam memorinya. Maka dari itu Akaashi membuat [Name] terjebak dalam situasi sulit, memaksa sang gadis untuk berdamai dengan masa lalunya. Menerima segala ketakutan yang ada dengan hati terbuka.

"Tadi itu hampir saja, tahu. Rasanya aku seperti ingin menyerah saja ketika kenangan masa lalu itu kembali muncul." [Name] mendengkus kesal mengingat betapa payahnya dirinya.

"Nyatanya kau berhasil, [Name]. Selamat." Akaashi mengulurkan tangannya pada sang gadis.

"Yeah, arigatou, senpai," ujar [Name] bergurau.

"Oh iya, Akaashi. Apa kau tidak penasaran mengapa aku datang ke rumahmu hari itu?"

"Penasaran, memangnya ada apa?"

"Orang tuaku bertengkar hebat. Mereka akan bercerai. Aku sangat syok. Jadi, tanpa berpikir panjang aku pergi dari rumah."

[Name] sedikit terkekeh mengingat kesalah pahaman yang terjadi hari itu. Menimbulkan kernyitan heran dari si pemuda yang tak tahu-menahu.

"Kau tau apa yang aku dapat setelah aku kembali ke rumah?" Tanya [Name] benaknya memutar kembali peristiwa di hari itu.

"Surat percerain kedua orang tuamu?"

"Tidak, mereka hanya latihan drama untuk pentas teater persembahan reuni sekolah."

Keduanya tebahak, menertawai kekonyolan [Name]. Siapa sangka kalau itu hanya sebuah latihan drama.

Lantas setelah segala hal yang mereka lalui. Keduanya memilih menghabiskan waktu yang tersisa dengan bebagi kisah hal-hal yang menyenangkan seraya menikmati indahnya kota Tokyo di malam hari.

- T A M A T -

A/N: Terimakasih sudah sampai sejauh ini. Silakan buang yang negatif dan ambil yang positifnya.

Aku harap buku ini tidak seburuk yang aku pikirkan, kendati banyak sekali kekurangan dalam penulisan maupun jalan ceritanya.

Sekali lagi terimakasih banyak untuk kalian semua yang sudah mau menyisihkan waktu membaca buku ini.

Sampai jumpa di next karyaku yang lain.

Jangan lupa bahagia, mina-san.

OVERCOME | Akaashi KeijiWhere stories live. Discover now