enam

485 62 1
                                    

Sudah tiga hari bersama tim aku berkutat memperbaiki master plan Galerry Indiraharja. Seperti dugaanku, tak mudah memang. Seorang yang sudah mengeluarkan dana banyak pun berencana membuat sesuatu yang membutuhkan dana tak sedikit pasti akan sangat hati-hati. Galeri ini akn menjadi galeri besar yang akan memamerkan koleksi hasil karya seniman nusantara khususnya berbahan kayu. Pak Indira bercerita nantinya di galeri tersebut akan membuka stan khusus untuk pameran orang-orang daerah yang ingin produknya go nasional. Khusus perajin yang tengah merintis. Biaya sewa tempat dapat dibayarkan sukarela alias tidak dipungut biaya tertentu. Benar-benar patut dijadikan panutan.

Bagi tim, pekerjaan ini cukup menguras energi. Indiraharja bisnisnya di mana-mana, mulai dari hotel yang tersebar di beberapa kota besar, resort di bebepa pulau, restoran dan butik elite yang menjual wastra nusantara. Selain pengusaha jiwa sosialnya sungguh besar. Tak heran jika kekayaannya menggunung. Asetnya di mana-mana bukan lagi rahasia. Bukankah ketika kita memberikan sebagian harta untuk sedekah, maka Tuhan akan mengembalikannya berlipat lebih banyak. Indiraharja juga penggerak ekonomi yang tangguh. Dari butik miliknya semua barang berasal dari pengerajin khas di daerah setempat.

Intinya seorang pengusaha yang tidak kaya sendiri, tapi menghidupkan pengusaha kecil rumahan. Salut sama pemikiran pengusaha seperti ini.

Beberapa permintaan perubahan dokumen memang sedikit membuat pusing tim, tapi perusahaan kami memang dibayar untuk itu. Indiraharja salah satu klien yang selalu mempercayakan pekerjaan kepada kami. Klien istimewa.

"Mbak Aline..." Riska, sekretaris Pak Arman tiba-tiba muncul.di kubikelku. Kulepaa headset di telingaku.

"Ya, kenapa, Ris."
"Dipanggil Bapak." Sembari menunjukkan arah ruangan Pak Boss.
"Oke bentar ya."
"Nanti langsung masuk aja ya Mbak, saya mau ambil berkas di tempat Pak Bram dulu. Permisi dulu ya, Mbak." Aku mengangguk.

Pak Arman memanggilku? Pasti ada urusan penting, atau ada pekerjaan yang kurang sempurna? Apakah aku membuat kesalahan? Nggak biasanya Pak Arman memanggilku ke ruagannya.

Kuketuk dau pintu berwarna coklat, terdengar suara dari dalam mempersilakan masuk.

Kudorong pintu pelan, menyembulkan tubuhku.
"Lin, bisa bicara sebentar. Silakan duduk," titahnya.

"Ya, Pak. Ada yang bisa saya bantu?"
"Emm, gini. Saya ada undangan gala dinner." Disodorkannya sebuah kertas peral bersampul plastik di hadapanku.

Aku menarik benda tersebut untuk lebih jelas membacanya. Di ujung sampul tercetak simbol perusahaan plus nama lengkapnya, PT Citra Jaya Mandiri. Oh, Tuhan apalagi ini..
Aku melirik sekilas Pak Arman, lalu pura-pura menekuri kembali undangan. Menunggu penjelasannya sebelum menolak akan lebih sopan.

"Nanti kamu hadir sama saya." Jreng! Undangan sekelaa direktur, lalu Pak Arman mengajakku? Bukankah ini terdengar aneh? Ke mana istrinya atau paling tidak Mbak Mira lah. Masak Aku? Aku orang teknis nggak perlu menghadiri acara-acara sekelas bos besar begini. Buang-buang waktu. Terlebih undangan ini berasal dari Bisma Sambara. Entahlah aku mulai berfikiran parno, kalau beberapa orang di sekelilingku tengah turut dalam mempermainkan nasibku. Mulai Raras, Mbak Mira, Pak Johan, kini Pak Arman. Mungkin aku terlalu berlebihan. Namun ini sungguh memuakkan. Aku nggak akan terjebak dalam skenario yang aku tak ingin bermain di dalamnya.

"Lin? Saya harap kamu bisa ya, ini masih dua minggu lagi ko."

"Nanti Pak Kadir akan jemput kamu ke rumah,"ujarnya tenang. Pak Kadir sopir pribadi. Repot amat, rumah kami kan jauh, mending aku berangkat sendiri dari rumah. Eh, tunggu, jadi aku berencana hadir? Itu opsi kalau memang aku tak punya alasan mengelak. Lagi pula, masih tiga hari ke depan.

"Tapi ... ini acara bos-bos besar ya Pak." Aku mencoba mengingatkan posisiku. Semoga pak Arman memahaminya.

"Kamu tuh arsitek handal. Pekerja profesional. Sekali-kali ke luar dari kebiasaan bergelut sama kertas dan mainan layar pintar itu nggak masalah, Lin. Lagi pula ini kan klien besar kita. Mungkin nanti akan ada informasi atau pembahasan lanjut terkait proyek itu. Jadi saya butuh kamu," terangnya panjang. Semakin tak masuk akal. Mana mungkin di tempat perayaan seperti itu akan membahas urusan teknis lapangan. Di sana hanya akan ada lobi-lobi proyek besar. Ramah tamah dengan sesama pengusaha untuk memperlebar sayap. Membawa marketing atau sekretaris cantik yang akan gemulai mencatat dan mengingatkan jadwal bos lebih dibutuhkan dari pada seorang Aline. Tapi membantah pun tak guna. Aku memilij diam saja.
"Mm, baik pak, saya usahakan."
"Jangan diusahakan, harus karena ini bagian dari perintah kerja. Oke. Sementara itu, Lin silakam kembali ke ruangan." Lihat! Titahnya tak terbantahkan. Seorang bos memang seperti itu. Bos selalu benar.

Terjebak MantanOù les histoires vivent. Découvrez maintenant