08 - jenis senjata

470 79 5
                                    

08 – Jenis Senjata part 1

Gahyeon dan Yoohyeon menyusuri jalan raya yang benar-benar berantakan dengan puing dan kendaraan yang rusak. Banyak sekali kendaraan dari berbagai jenis mobil yang berserakan di mana-mana, jalanan dipenuhi retakan dan banyak sampah berupa puing beton dan sebagainya.

Gahyeon terus mengekori Yoohyeon dari belakang sambil melompat-lompat menghindari jalan rusak yang berlubang. Ia bukannya berjalan normal seperti Yoohyeon, tapi melompat-lompat riang  sambil menyenandungkan lagu, sebuah lagu yang tampaknya adalah lagu anak-anak. Ia masih menenteng laptopnya.

Yoohyeon berhenti, alhasil Gahyeon menabrak punggungnya, Yoohyeon masih tegak berdiri, tapi Gahyeon jatuh.

“Aw ....” Ia mengelus pantatnya yang sakit karena mendarat keras. Yoohyeon memandang dingin padanya.

“Berhenti mengikutiku dan enyahlah!” Yoohyeon berkata dengan dingin, ia benar-benar mengusir Gahyeon yang terus mengekor di belakangnya. Gahyeon berdiri mengusap-usap pantatnya, sementara tatapan Yoohyeon masih dingin memandangnya.

“Kakak, jangan jahat padaku. Kita harus tetap bersama, tempat ini sangat berbahaya, apalagi suatu waktu akan muncul badai,” katanya dengan sepolos mungkin.

“Aku tak memerlukanmu,” ketus Yoohyeon secara terang-terangan.

“Itu menyakitkan, tapi aku benar-benar bisa berguna untukmu.” Gahyeon tampak mencari cara agar tetap dapat mengikuti Yoohyeon.

“Contohnya?” tanya Yoohyeon singkat dan sangat beku.

“Aku punya banyak informasi yang berguna.” Gahyeon menepuk laptopnya dengan bangga.

“Aku bisa mengaksesnya sendiri.” Yoohyeon segera merebut benda itu, benar-benar mudah sekali ia lakukan, seolah mencuri permen dari bayi.

“Ahh ….” Gahyeon benar-benar tak berdaya melakukan pembelaan diri dan mempertahankan benda itu. Yoohyeon segera membuka benda itu dan menekan keyboardnya.

“Em … sebenarnya itu hanya bisa diakses oleh jariku saja.” Yoohyeon mendelik ke arahnya. Ketika ia memberi tahu itu.

“Mungkin akan ada sengatan dan jebakan lainnya, hanya jariku saja yang bisa menggunakan itu.” Gahyeon menambahkan.

Yoohyeon tak percaya dan membuktikannya sendiri, ia menekan beberapa tombol dari keyboard, dan memang tak ada pengaruh apa-apa seolah benda itu memang rusak. Yoohyeon segera melemparkan laptop itu pada kepala Gahyeon, karena merasa dipermainkan dan melakukan hal konyol, Gahyeon memekik kesakitan ketika benda itu membentur kepalanya cukup keras.
Si pelaku hanya berbalik dan pergi begitu saja. Tanpa ada niat meminta maaf. Gahyeon menangkap laptopnya setelah benda itu membuat kepalanya pening.

“Kakak, tunggu aku!” Gahyeon segera berlari menyusul.

“Benda itu, sama padatnya dengan senjataku, bukan?” Yoohyeon mengajukan pertanyaan dengan nada yang datar. Gahyeon antusias dengan itu dan buru-buru menjawab.

“Iya, kepalaku sampai benjol, kau harus minta maaf padaku untuk itu,” akunya dengan meringis. Yoohyeon berhenti dan memandangnya dengan dingin. Merasa takut dengan tatapan itu, Gahyeon buru-buru bicara.

“Ahhh, tak apa, aku yang salah. Kakak boleh memukulku sesekali, tapi jangan keras-keras ya.” Ia segera mengoreksi. Sudah jelas seperti apa reaksi lawan bicaranya, ya Yoohyeon tak membalas, ia hanya menoleh ke arah depannya dan melanjutkan langkah.

“Benar-benar dingin.” Gahyeon berucap dalam benaknya, ia tak mau ditatap dingin lagi dengan mengutarakan semua kalimat secara langsung.

“Kakak, apa kau ingin tahu kemampuanku?” tanya Gahyeon, sekadar mencari percakapan.

“Tidak.”

“Kakak, jangan kejam, pura-pura saja penasaran, aku tak akan keberatan menjelaskan.” Ia memprotes, Yoohyeon memang benar-benar tak berperasaan.

“Tak penting dan tak ada gunanya.” Yoohyeon lagi-lagi menyahut alakadarnya.

“Itu sangat menyakitkan,” balas Gahyeon dengan sakit hati, tapi sama sekali tak ditanggapi. Apa boleh buat, ia harus berceloteh untuk mendapat tanggapan.

“Karena kau sangat penasaran dan ingin tahuーtapi kau terlalu sungkan untuk bertanya, aku akan tetap menjelaskan dengan senang hati, karena aku anak baik dan jenius.” Ia berkata dengan bangga ketika menyanjung diri sendiri.

Yoohyeon tak menanggapi, siapa yang penasaran? Bukankah sudah dikatakan jika Yoohyeon benar-benar tak penasaran dan tak ingin tahu? Betapa berlebihannya tingkat kepercayaan bocah pendek ini. Ya, dia memang pendek, dibandingkan dengan Yoohyeon, tinggi badan mereka tampak sangat signifikan memiliki perbedaan.

“Aku bisa mengakses banyak informasi, aku juga bisa melacak keberadaan segala jenis kehidupan, termasuk kendaraan dan robot, oh aku juga sangat jenius dalam membuat peledak.” Ia bicara dengan amat bangga, yang sayangnya benar-benar diabaikan oleh lawan bicaranya. Meski terus diabaikan, tampaknya dia tak keberatan dan tak pantang menyerah untuk mengajak gadis dingin yang bersamanya.

“Kakak, selain bisa menggunakan benda tajam itu, apa yang bisa kau lakukan?” tanyanya dengan penuh rasa penasaran. Ia menyetarakan langkah di samping Yoohyeon, dan lagi-lagi ia tak berjalan normal seperti biasanya, tapi dengan cara melompat-lompat kecil.

“Menutup mulutmu untuk selamanya.” Yoohyeon menjawab dengan datar dan dingin, justru nada seperti itu yang membuat kalimat itu menjadi semakin menakutkan.
Seram.

“Candaanmu benar-benar membuat aku takut.” Gahyeon tersenyum kaku dan agak menggigil juga, ia sudah melihat apa yang dapat benda tajam menakutkan itu mampu lakukan. Katana yang dimiliki oleh Yoohyeon amat menakutkan bagi Gahyeon, entah dia fobia senjata tajam atau memiliki alasan lain.

“Aahh ….” Gahyeon yang melompat-lompat pada akhirnya tersandung dan jatuh. Permukaan tak rata, banyak beton yang retak, terbelah dan juga jumlah reruntuhan dan puing yang berserakan memenuhi jalanan, menjadi alasan ia tersandung. Lagi pula kenapa dia tak berjalan seperti biasa saja, kenapa mesti melompat kecil?

Yoohyeon berhenti dan hanya memerhatikan Gahyeon yang berusaha berdiri, sama sekali tak memiliki niat untuk membantunya berdiri.

“Kau bilang dapat mengakses segala informasi, apa kau bisa melakukan pencarian biodataku dan kenapa kita bisa ada di sini?” tanyanya langsung to the point. Setelah Gahyeon berdiri, mereka lanjut berjalan pelan. Tak kapok dengan apa yang baru saja terjadi, Gahyeon lagi-lagi melompat. Seolah dia tak tahu bagaimana caranya berjalan dengan normal.

“Mengenai itu, hanya ada informasi tentang kode nama, kode, status dan tingkat ancaman, tak ada petunjuk apa-apa mengenai kenapa kita ada di sini, tapi aku sudah melakukan pemindaian dalam skala besar, aku kira kita tak sendirian. Alatku memindai tujuh kehidupan sebelum hancur total.” Ia memaparkan hal-hal yang dapat dia ketahui.

“Tak berguna.”

“Tapi aku berhasil mengetahui namamu karena itu, jadi boleh aku mengenalkan namaku?” tawarnya, lebih mengarah ke memelas dan memohon.

“Tak perlu.” Gahyeon cemberut dengan tanggapan itu.

“Oh satu lagi, salah satu alasan kita berada di sini adalah untuk berperang dan menyelesaikan semua tantangan, tentu saja termasuk bertarung satu sama lain.” Gahyeon segera membekap mulutnya sendiri, ia seolah keceplosan mengatakan kalimat yang terakhir.

Yoohyeon menghentikan langkahnya seketika, ia hendak menarik katanya, tapi Gahyeon buru-buru memegang lengannya. Ia segera memberi penjelasan sebelum badannya terpotong secara tiba-tiba dan tanpa ia sadari.

“Ahh … biarkan dulu aku selesai, jangan mengeluarkan benda menakutkan itu. Oh dan omong-omong, kau sangat lembut, meski dingin.”  Ia buru-buru menahan, seolah Gahyeon fobia pada katana. Dia juga malah mengelus-elus kulit tangan Yoohyeon dengan takjub. Yoohyeon berdecak dan menepis dua tangan mungil itu.

“Lanjutkan!” Yoohyeon memerintah.

“Kita bisa bekerja sama sebagai tim, tak harus bertarung satu sama lain. Dengan itu kita bisa saling menjaga dan meningkatkan tingkat kemungkinan kita untuk menang. Dengan kekuatanmu yang tak terkalahkan dan luar biasa, ditambah dengan kegeniusanku, kita pasti akan ….”

“Aku lebih suka bekerja sendiri, lebih baik enyahlah dan cari rekanmu.” Yoohyeon menyela dan melanjutkan langkah.

“Kakak, bagaimana kau bisa sejahat itu? Kau sudah menyelamatkanku, aku juga sudah telanjur menyukaimu.” Gahyeon lagi-lagi mengekor.

“Kau pengganggu.”

“Aku tahu kau bercanda, aku akan memaafkan setiap perkataan menyakitkanmu. Aku sangat baik, bukan?” Untuk ke sekian kalinya, ucapannya tak ditanggapi.

“Oh, aku punya satu lagi berita yang akan berguna.” Gahyeon berucap untuk menarik perhatian Yoohyeon.

“Sebaiknya katakan saja! Semakin kau berguna, semakin bertambah sedikit kesediaanku untukmu mengikutiku.” Gahyeon tersenyum dengan kalimat itu. Ia tak membuang kesempatan dan segera menjelaskan.

“Benda ini, kita bisa memakainya untuk mengganti energi yang hilang,” kata Gahyeon, ia mengeluarkan sebuah tabung kecil dengan diameter seukuran jari telunjuk dan tinggi sejengkalnya saja. Di dalam tabung transparan tersebut terdapat cairan.

Yoohyeon agak mengangkat alis, ia juga memiliki tabung berisi cairan biru itu, hanya tersisa satu. Gahyeon kemudian memberi penjelasan lebih.

“Dalam ingatanku dan data yang disimpan dalam laptop, kita dinamakan manusia, manusia memerlukan makan untuk mengisi tenaga dan melakukan metabolisme. Dengan cairan ini, kita bisa mengganti makanan.” Ia memberi penjelasan dengan gaya sok jenius. Meski tak menanggapi, Yoohyeon mendengarkan dan menyimak dengan baik.

“Masalahnya, aku hanya memiliki dua, dan sudah kugunakan satu. Banyak bergerak dan menggunakan laptop membuatku cepat lelah,” jelasnya. Hal serupa dirasakan oleh Yoohyeon, banyak menggunakan katana dan bergerak dengan kekuatannya akan membuat ia cepat lelah. Maka dari itu dia meminimalisir gerakan dan penggunaan senjata. Beberapa kali ia hendak menggunakan benda itu bukan semata dia suka melakukannya, tapi ia sengaja guna mengintimidasi Gahyeon yang tampaknya sangat enggan memandang benda tajam.

“Itu sama sepertiku saat menggunakan benda ini.” Ia bergumam pelan.

“Kakak, kau sama sekali tak tampak kelelahan, apa kau tak lelah memasang muka dan nada bicara sok dingin itu? Aku saja yang melihatnya sangat lelah.” Gahyeon geleng-geleng, perkataannya benar-benar tak disaring dan ia seolah refleks mengatakan itu.

“Kau mau mati?” tanya Yoohyeon dingin, baru saat itulah Gahyeon sadar jika ia mengatakan kalimat yang terlalu seenaknya.

“Ahh … Jangan marah, aku hanya bercanda. Kau sangat cantik dan cocok dengan karakter itu. Kau yang terbaik.” Gahyeon segera memberikan sanjungan terbaiknya. Yoohyeon sama sekali tak menanggapi dan memilih membahas topik utama.

“Dengan kata lain, selama kita di sini, kita juga memerlukan cairan itu, bahkan harus mencarinya.” Yoohyeon berkata dengan pelan, itulah kesimpulannya. Meski mereka tak banyak bergerak dan menggunakan perangkat yang mereka bawa, perlahan kebutuhan penggunaan cairan itu akan sangat kuat. Mereka mau tak mau harus membuat benda itu lagi, tentu saja jika kasusnya adalah mereka tak menemukan hal serupa di dunia ini.

“Kita?” tanya Gahyeon, Yoohyeon segera sadar ia salah bicara. Segera saja ia mengoreksi.

“Aku bisa melakukan itu sen ….”

“Aku ikut, aku ikut, jangan tersinggung, aku hanya terkejut saja kau mengatakan ‘kita’, itu berarti aku sudah diizinkan ikut bersamamu.” Gahyeon secepatnya menyela, takut-takut Yoohyeon berubah pikiran untuk membawanya. Yoohyeon tak menanggapi lagi, tapi ia mengangguk singkat.

“Yey, kita akan menghabisi semua monster dan robot sialan itu. Kakak, kau bisa mengandalkan kegeniusanku. Aku bisa menciptakan ledakan super besar.”

“Kau terlalu berisik.”
Tapi Gahyeon tak memedulikannya, ia terus saja berceloteh panjang.

“Apa yang akan terjadi jika kita berhasil menyelesaikan semua tantangan dan hanya kita saja yang tersisa?” Yoohyeon teringat dengan ucapan Gahyeon yang mengatakan jika mereka mesti bertarung satu sama lain. Yoohyeon seolah menemukan titik terang dengan hal tersebut.
Gahyeon menghentikan celotehnya dan tertegun.

“Kukira, jika harus saling bertarung satu sama lain, maka hanya akan ada satu pemenangnya.” Yoohyeon kembali memegang katana itu. Gahyeon tak sempat menahannya kali ini, benda tajam itu sudah keluar dari sarungnya, Yoohyeon mengarahkan katana pada Gahyeon.

Nightmare - Escape the ERA (DreamCatcher)Where stories live. Discover now