PROLOG-NEBULA

34 5 0
                                    


Siang dan malam kian berganti, pekerjaan tak kunjung berhenti menghantui. Aku Thomas Walin, merupakan salah seorang dokter di kota ini, aku 25 tahun, masih begitu muda, baru mulai meniti karir dikedokteran. akhir-akhir ini, banyak pasienku yang mengeluh tentang penyakit aneh, dalam keadaan sehat tiba-tiba saja dia terjangkit demam tinggi.

Penyakit ini juga menyerang daya imun tubuh, sehingga menyebabkan beberapa lansia di antaranya meninggal dunia. Karena sebagian besar dari lansia memiliki daya imun yang lebih rendah dari pada kaum muda. Aku tertarik dengan penyakit ini, aku mencoba mengajukan proposal penelitian mengenai penyakit ini. Berharap aku bisa meneliti beberapa virus, apakah ia memiliki gejala yang sama atau tidak.

Aku mempresentasikan hasil analisis data sementaraku kepada pimpinan. Melihat gejala yang terjadi, aku membuat hipotesis, yang menyatakan bahwa ada kemungkinan virus SARS atau MERS mulai kembali ke era ini.Hingga pada akhirnya proposalku diterima.

Tapi sayangnya, penelitian itu harus aku lakukan di pusat kota. Karena peralatannya lebih memadai, dan banyak dokter yang sudah berpengalaman. Aku dijadwalkan berangkat besok pagi, pada pukul 09.00 dengan pesawat Turba Air. Dan aku duduk di bangku VIP paling depan.

Pagi ini embun tak membangunkanku, karena sejak tadi malam aku mempersiapkan perlegkapan yang kubutuhkan, dan juga mental bagaimana aku akan menyesuaikan diri nanti saat tiba di perkotaan, menghadapi kultur dan suasana baru pastinya sangat berat. Aku harus cek in jam 8.30. Sementara sekarang menunjukkan pukul 08.13. Aku harus bergegas sebelum ketinggalan pesawat. Aku memanggil taksi di depanku "bandara ya mas", setelah dijawab, aku masuk dan duduk di bangku depan sebelah supir.

Dengan gesit dan sigap Pak supir membawaku sampai di bandara tepat waktu. Bahkan lebih cepat dari perkiraanku. Aku mulai cek in, mengambil Boarding Pass, menuju loby, diarahkan oleh pramugari menuju bangku VIP. Sejauh ini, semuanya terlihat baik-baik saja.

Karena aku penumpang khusus, aku dikawal pramugari cantik di bandara ini. Aku mulai menghempaskan badan di kursiku dan keberangkatan pun dimulai. Perjalananku diperkirakan akan sampai dalam waktu 2 jam ke depan, sepertinya aku bisa memanfaatkan waktu itu, untuk istirahat karena aku belum sempat tidur tadi malam.

Satu jam kurang aku tertidur. Aku mulai merasa ada yang aneh. Aku merasakan getaran lebih dari 5 menit. Biasanya turbulensi pun tidak selama ini. Aku bertanya kepada pramugari yang ada didekatku,

"Apa yang terjadi?"

"Tidak ada masalah pak, kita Cuma turbulensi saja. Jadi bapak silahkan lanjutkan istirahatnya"

Bagaimana aku bisa istirahat, sementara getaran itu sangat mengganggu tidurku. Benar saja setelah 10 menit berlalu, apa yang kucemaskan terjadi. Benturan hebat dialami pesawat, dan lampu darurat pun menyala hingga pramugari pun mulai panik. Menyuruhku untuk tetap tenang, padahal dia terlihat lebih panik. Aku hanya sendiri duduk di bangku VIP, aku tidak tahu bagaimana keadaan di bangku ekonomi belakang.

Di sini aku diberikan masker gas, pelampung, dan parasut untuk keamanan. Sesaat saja setelah aku kenakan semua itu, pintu di seberang tempat dudukku terbuka lebar. Akibat benturan kedua yang terjadi. Kursi-kursi, dan semua benda yang di dekatnya terlempar keluar, seakan disedot habis dan dicampakkan. Kurang lebih seperti mantan. Pramugari di sebelahku mulai ikut ditarik. Sepertinya ia salah golongan mantan yang akan tercampakkan. Aku tidak sempat meraih tangannya disaat-saat terakhir. Ia tersedot keluar, dan hilang dari pandanganku seketika.

Melihat kejadian tragis itu, aku memanjat dan mencoba berlindung di kabin pesawat. Tapi aku yakin itu tidak akan bertahan lama. Semua penumpang pesawat berteriak histeris di belakang. Sementara aku sudah memiliki semua pengaman di sini, jika saja aku bisa keluar dengan selamat aku pasti bisa menggunakan parasut yang kusandang.

Tapi aku tidak yakin jika harus melompat, keluar dari pintu yang terbuka lebar itu. Bisa saja aku akan melayang dan menabrak salah satu sayap pesawat. Tentunya aku tahu bagaimana akhirnya, atau tubuhku, akan hancur diporak porandakan oleh tekanan angin yang terlalu tinggi. Semua bagian pesawat dalam keadaan darurat. Sejak tadi aku mendengar sudah ada tiga ledakan, aku yakin itu di bagian belakang pesawat.

Aku mulai panik sedangkan alaram darurat terus saja berbunyi. Membuatku tambah panik. Andai saja aku selamat, aku akan mendatangi pemilik pesawat ini. Dan mengusulkan untuk mengganti nada alarm darurat ini dengan yang lain. Seperti instrumen yang bisa menenangkan pikiran, mungkin lebih baik.

Getarannya semakin kuat. Sehingga membuat langit-langit pesawat tempat kuberlindung juga ikut terbuka. Aku memegang erat ganggang pintu kabin, aku mulai ditarik keluar. Tapi tetap saja kemungkinan selamat tidak ada.

Aku mencoba merenung sejenak dan berandai, kalau saja aku bisa keluar melalui langit-langit yang terbuka ini. Aku langsung membuka parasutku, mungkin aku bisa selamat, walau kemungkinannya begitu kecil. Namun tidak ada lagi yang bisa kucoba. Bagaimana pun aku akan tetap tidak selamat kalau seperti ini.

Akhirnya aku mengambil keputusan itu, mencoba menghitung satu sampai tiga dan setelahnya melompat "Satu" Aku mengambil napas dalam-dalam, "Dua" Berharap ini bukanlah hari terakhirku, "Tig.." Aku melompat dan terpental jauh dari arah pesawat, aku tak bisa mengendalikan tubuh ini, terpental berputar, bahkan aku tidak bisa meraih ganggang perasutku.

Apakah aku akan berakhir seperti ini? Aku sudah mulai pasrah kepada takdir yang harus kuterima. Bagaimana pun tak ada yang bisa selamat dari kecelakaan seperti ini. Aku mulai pusing, seluruh badanku masih saja berputar tidak karuan. Membuat kesadaranku hilang secara perlahan. Sepertinya aku akan mati disini, aku meminta maaf, seraya berkata lirih di dalam hati, 'kepada mama dan papa yang belum sempat kubahagiakan', 'bahkan aku belum sempat mencicipi bagaimana enaknya setelah menikah', 'membesarkan putera Puteriku dengan istri yang kucintai'.

Setelah sekian lama aku tidak sadarkan diri. Perlahan kesadaranku kembali, sepertinya aku melihat nebula. Aku tidak yakin, tapi itu persis seperti nebula yang dikatakan para ilmuan. Aku setengah sadar, apa aku sedang dibawa ke langit oleh para malaikat? Sepertinya begitu aku yakin tempat ini bukan di bumi. Aku mencoba memeriksa tubuhku, dan menyadarkan diriku sendiri, dengan menampar wajahku dan mengusap aksaku. "Apa orang yang sudah mati masih bisa merasakan sakit?"

.

..

...

jangan lupa vote nya ya kaka semuanyah,

penulis amatiran.

kalo ada kritik, saran, dan masukan. Tinggalkan di kolom komentar yak.

NEBULAWhere stories live. Discover now