Part 1

7 2 0
                                    

"Lang, masih mau nambah cimengnya? Ada satu lagi, nih," ucap Aldi. Ia menyodorkan sebatang ganja atau cimeng yang dikemas dalam paper rokok. Aku mengangguk.

Kuambil batangan cimeng terakhir itu. Lalu menyalakannya. Mengisap dalam-dalam. Tubuh terasa terbang. Aku merasa bahagia. Bisa pergi dari semua masalah.

Di rumah kosong ini, kami berkumpul. Barisan remaja yang hilang kasih sayang. Kami tak tahu apakah ketika terlahir ke dunia, kehadiran kami dikehendaki orang tua atau tidak. Kami hanya tahu rasa kesepian. Tanpa perhatian dari sepasang manusia yang kami panggil ayah dan ibu.

Di sinilah kami berada. Di salah satu sisi gelap dunia. Gelap yang sama seperti malam ini. Pekat tanpa cahaya.

Tidak terasa, cimeng yang aku bakar, sudah habis. Namun, aku masih ingin. Kepulan asap yang diembuskan teman-teman berkumpul di udara. Sebagian terhidu olehku. Kepala ini terasa berputar seperti bianglala yang menggapai angkasa, lalu terjun menyentuh bumi.

Asap itu seakan membentuk siluet seseorang yang sangat kucintai. Otakku seakan merekam semua peristiwa kelam, rekonstruksi kejadian saat itu. Detik-detik mengenaskan ketika ia memilih mengakhiri hidupnya dengan racun tikus dan pembersih lantai, tampak nyata di pelupuk netraku.

Ya, Ibu menghabisi nyawanya di hadapanku, anak berusia sepuluh tahun. Saat itu aku tak mengerti apa yang terjadi. Aku lihat Ibu meminum sesuatu. Tidak lama, ia menggelepar. Aku panik dan berlari keluar rumah meminta tolong pada siapa pun.

Mengingat peristiwa itu, kalbuku teriris. Ayah pergi entahlah ke mana. Malam itu begitu mencekam. Trauma akan kehilangan Ibu menyusup dalam relung hatiku. Teriakan histerisku saat tubuh Ibu ditutupi kain selendang batik memecah kesunyian malam.

Sejak Ibu pergi, Ayah menikah lagi. Duniaku sepi. Semua tawa bahagia sirna. Satu hal yang kusesali. Mengapa Ibu tidak menyisakan sedikit cairan pembunuh itu. Agar bisa aku menyesapnya lalu pergi bersamanya.

Siluet Ibu itu hilang perlahan, berganti sosok Bimo, satu-satunya anggota geng kami yang bertubuh gempal. Kudengar suaranya lamat-lamat, saat tubuh ini melayang di antara langit dan bumi.

"Elang, Aldi, Satrio, Jay, cepat semua kabur! Ada warga mau mengepung tempat ini," ucap Bimo panik.

Kami berhamburan ke luar. Aku pun sama paniknya dengan mereka. Secepatnya kutinggalkan tempat itu. Tanpa peduli sneaker terbaruku tertinggal di sana.

Untungnya rumah kosong itu tidak terlalu jauh dari rumahku. Berada di pinggir jalan luar kompleks. Pandangan yang mengabur akibat isapan cimeng membuatku tertatih. Rasanya aku tak menginjak bumi, melayang di udara.

Jejeran rumah-rumah mewah yang kulewati seakan membesarkan dan mengecil. Jalan raya ini ibarat liukan aliran sungai. Berkelok-kelok dan berbatu. Hampir saja badanku ambruk mencium aspal jika tidak segera menyeimbangkan badan.

Aku terus berlari, berusaha menuju rumahku. Seorang bidadari berhijab ada di depanku.

Bidadari? Tak mungkin. Surga terlalu suci untukku. Setelah melihatnya, duniaku menggelap.

***Bersambung***

Elang Parah SayapWhere stories live. Discover now