Part 3

3 0 0
                                    

Sebuah tamparan keras mendarat di pipiku. Tubuhku sedikit terhuyung ke belakang. Untung saja aku sigap mengatur keseimbangan. Jika tidak, pasti sudah tersungkur di lantai.

"Kamu keterlaluan, bikin ayah malu, Elang!" hardik ayah. Matanya membelalak, seolah ingin menelanku bulat-bulat. Mukanya memerah. Tangannya gemetar.

Aku diam seribu bahasa melihat ayah muntab. Setelah mengatur napas ia kembali berkata, "ngapain kamu nongkrong sama anak-anak kampung itu sambil nyimeng? Untung kalian tidak dilaporkan ke polisi!"

Aku menunduk. Akhirnya ayah tahu juga perbuatanku bersama gengku, The Lost Souls. Pasti ada yang melaporkan kelakuan kami semalam saat di rumah kosong itu.

Sejujurnya aku terkejut mengetahui kedatangan ayah malam ini. Biasanya ia datang ke sini hanya sebulan sekali. Menengok rumah ini dan ingin mengetahui kondisiku. Baru seminggu lalu, ayah ke sini

Namun, malam ini berbeda. Beberapa menit lalu, ia sudah berdiri di depan kamar, menuntut penjelasan dariku. Sesuatu yang tidak aku suka, diinterogasi. Karenanya, aku tidak akan berucap apapun. Bagiku sosok ayah sudah mati.

Sejak Ayah menikah lagi, aku tidak hidup bersamanya. Ia lebih memilih wanita yang berusia lebih muda dari Ibu, untuk menggantikan posisi Ibu sebagai nyonya di rumah ini.

Aku bersumpah tidak akan memanggilnya Ibu. Dialah penyebab Ibu pergi dari sisiku selamanya. Ibu memergoki Ayah berduaan dengan wanita jahat itu di hotel. Saat itu aku masih kecil.

Andai itu terjadi saat ini, aku akan rela bertarung raga, demi membela wanita yang aku cintai. Sayangnya semua tidak mungkinlah terjadi. Ibu kini sudah berkalang tanah. Tidak akan ada lagi yang menyakitinya.

"Mulai besok, kamu gak boleh gaul lagi dengan anak-anak kampung itu!" ucapannya adalah ultimatum perang untukku. Aku tidak bisa menuruti keinginannya.

"Tapi Ayah, mereka semua teman baikku." jawabku sambil memegang pipi kiriku yang terasa berdenyut keras akibat tamparannya.

"Elang. Dengar Ayah," sorot matanya semakin nanar menatapku. Terlihat jelas olehku, ia tampak kesulitan mengatur napasnya yang turun naik.

"Jika mereka adalah kawan baikmu, mereka akan mengajakmu pada kebaikan. Bukan malah melakukan hal konyol yang berakibat buruk pada tubuhmu!"

"Sejak kapan Ayah peduli padaku? Ayah hanya memikirkan wanita yang kini menjadi istrimu! Apa Ayah memikirkan perasaanku, perasaan Ibu saat itu?"

Entah dari mana datangnya kekuatan untuk melepaskan kata itu. Cukup sudah, delapan tahun aku menahan luka. Rasa pedih ini seperti bom waktu yang dapat meledak sewaktu-waktu. Masa itu akhirnya tiba. Saat ini.

"DIAM!" Mulut Ayah terbuka lebar. Urat lehernya menegang. Suaranya menggelegar. Tangannya mengepal kuat-kuat. Wajah lelaki berusia 45 tahun itu memerah.

"Dengar Elang. Berani kamu keluar rumah menemui mereka lagi, pergi dari rumah ini!" Telunjuk kanannya menuding tepat di wajahku. Tak lama ia pergi dari hadapanku dengan membanting pintu.

Aku terduduk lemas di ranjang. Sakit pipi ini tidak sebanding dengan sakit hati yang kurasakan. Perkataan Ayah tadi tidak bisa kuanggap main-main. Jika ia mau, saat ini pun aku sudah bisa menjadi gelandangan di jalan.

Tamat sudah bahagiaku. Tidak akan ada lagi gelak tawa di antara kami, The Lost Souls. Akan sirna kebersamaan yang terjalin dan kekonyolan yang kami lakukan. Hilangnya waktu saling curhat, membeli lem Aibon bersama, lalu menghirupnya. Atau saat patungan membeli cimeng lalu ramai-ramai mengisapnya.

Aku haus kebersamaan dan perhatian. Sesuatu yang tidak aku dapat di rumah ini. Sosok Ibu yang hilang, berganti pelakor berdarah dingin. Sosok ayah yang telah mati. Hanya karena malu nama baiknya tercoreng, ia malam ini terpaksa ia memperhatikanku.

Aku yang terlahir sebagai anak tunggal, rindu kehangatan keluarga. Rindu gelak tawa. Butuh cinta yang kini kosong dari jiwaku.

Lamat-lamat aku mendengar suara wanita mengaji. Suaranya begitu lembut an mendayu-dayu. Mendengarnya seakan menyejukkan jiwaku yang gersang.

Kedamaian itu tidak berlangsung lama, mendadak badanku gemetar. Keringat dingin keluar, ususku seperti dipelintir.

Aku baru ingat ucapan Bimo. "Lang, kalo lu berenti nyimeng sehari aja, lu bakal sakau. Soalnya lu nyimeng udah beberapa bulan. Lu udah ketergantungan!"

Apakah ini yang dinamakan sakau? Entahlah, yang jelas pandangan semakin lama semakin mengabur.

***Bersambung***

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 18, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Elang Parah SayapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang