Part 2

4 2 0
                                    

Sensasi dingin menyentuh kulit. Apakah aku ada di surga? Karena  jika panas, itu di neraka. Perlahan aku membuka mata. Hei, bidadari berhijab cantik itu masih ada di sini!

"Bangun pemalas!" rutuknya keras sambil melotot. Tangan kanannya memegang gayung biru.

Aku mengedipkan mata. Secepat kilat loncat dari ranjang, menghindari air di bajuku akan membasahi kasur. Setelah melihat badanku basah semua. 

Syukurlah, aku masih di dunia. Tepatnya di kamar kesayangan dengan makhluk cantik nan menyebalkan!

"Siapa lu?" Aku balik memelototi remaja putri ini. Ia sudah sangat keterlaluan!

"Aku, Kirana." Gadis itu membalas pertanyaanku dengan santai. Ia balas menatapku. Pandangan kami beradu. 

Aku melihatnya lebih jelas. Kulit kuning langsatnya terlihat begitu menawan. Ditambah hidung mancung, bibir merekah dan mata bulat memesona. Sungguh ciptaan Tuhan yang indah.

Setelah tertegun menatapnya, aku ingat kembali pada perbuatan menyebalkannya. "Ki-Kirana? Ngapain lu ada di sini? Liat, baju gue basah gara-gara lu!"

"Aku anak Bi Ijah. Maaf." Akhirnya terucap juga kata maaf dari mulutnya setelah ia menyiramku.

"Oh, anak Bi Ijah." Anak ini sepertinya harus dididik agar tahu bagaimana memperlakukan anak majikan ibunya.

"Kirana … apa yang kamu lakukan? Badan Den Elang basah semua!" teriak Bi Ijah dari ujung pintu kamar. Ia bergegas menghampiri kami.

"Maaf, Bu. Saya kesal lihat anak malas ini. Susah bangun sejak tadi. Tadi malam pingsan depan rumah pula." Bi Ijah mendelik ke arah Kirana yang berdiri di sebelah kanannya.

"Maaf, Den. Anak saya Kirana suka iseng. Dari kemarin siang dia di sini bantuin Bibi. Jauh-jauh datang dari kampung setelah tahu Bibi sakit."

"Iya, enggak apa-apa, Bi. Bibi teruskan kembali pekerjaannya saja. Biar saya urus masalah ini dengan Kirana." Aku melirik Kirana. Dia melihatku sebentar lalu membuang muka. Sok jual mahal.

"Baik, Den. Sekali lagi, saya mohon maaf saya sebesar-besarnya atas kesalahan anak saya, Kirana."

"Iya, enggak apa-apa, Bi." Aku berusaha tetap sabar dan tenang. Padahal amarah bergemuruh di dadaku. Bi Ijah akhirnya pergi meninggalkanku dan Kirana.

Jam dinding menunjukkan pukul 05.30. Sepagi ini, cewek nyebelin ini sudah membangunkanku?

"Solat Subuh dulu, Den," ucap Kirana setelah kami lama terdiam. Dia sekarang berkata lebih sopan. Mungkin karena ia sudah menyadari posisiku di rumah ini. Baguslah kalau nyadar diri.

Solat? Bagiku sia-sia melakukan ibadah. Semuanya tidak akan mengembalikan Ibu ke dunia ini. Ayah saja tidak pernah menyuruhku untuk solat. Yang penting aku berbuat baik, berprestasi di sekolah, dan menuruti semua keinginannya. 

"Siapa elu nyuruh-nyuruh gue? Biasanya juga gue bangun jam tujuh. Sampe siram baju gue lagi." 

Lagi-lagi aku melotot ke arahnya. Seumur hidup, hanya dia yang berani berlaku kasar padaku, Elang Perdana. Anak pertama bos industri kepala sawit, Bachtiar Adiwijaya.

"Maaf, Den." Kali ini ia menundukkan kepala. Tidak tega juga sih sebenernya melihat dia seperti itu.

"Jangan panggil gue Den. Lu masih kecil. Panggil gue Elang."

"Panggil Mas aja, ya. Biar sopan." Perlahan ia mengangkat kepalanya. Dengan malu-malu, ia menatapku.

"Oke. Mas Elang. Awas panggil gue Den lagi."

"Iya, Mas. Itu baju gantinya perlu saya siapkan?" Kirana mendekati lemari pakaianku.

"Gak usah, gue cari sendiri. Lu keluar aja sana. Gue mau sekalian mandi. Apa lu mau mandiin gue?" candaku dengan memasang wajah serius.

Kirana langsung pergi keluar kamar dengan muka memerah. Tunggu saja pembalasanku nanti!

***Bersambung***

Elang Parah SayapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang