BAB 28

2.6K 159 18
                                    


"Dek.. bicara sayang. Bicara ke Mas ya. Jangan diam saja, Dek. Mas takut Dek!" ucap Mas Randi dengan suara bergetar, kedua tangannya memegang kedua bahuku dan matanya menatapku penuh harap.

"Dek.. Mas mohon, demi anak-anak, demi calon bayi kita. Adek jangan minta cerai dari Mas ya sayang" lanjut Mas Randi dengan suara lirih memelas.

Aku menarik nafas dalam, kemudian menghembuskannya dengan pelan. Aku pandangi televisi yang aku tidak tahu sekarang apa tayangannya. Pikiranku melayang-layang tidak jelas, tidak tentu arah.

"Mas.." ucapku singkat seraya memandangnya.

"Iya sayang. Apa sayang?" jawab Mas Randi dengan tatapan mata penuh harapan.

"Ini berarti melanggar perjanjian waktu itu." Ucapku datar saat ini mataku menatap tajam ke arah Mas Randi.

"Dek, maafin Mas. Semua gak disengaja Dek. Benar-benar gak sengaja. Mas gak menyangka Ririn bisa hamil. Mas juga gak pernah berharap Ririn hamil. Ririn benar-benar kelupaan minum pil KB" ucap Mas Randi cepat dengan penuh keyakinan.

Aku diam beberapa saat. Menata hatiku. Sebenarnya keadaan seperti ini sudah aku persiapkan dari jauh-jauh hari. Lambat laun kondisi seperti ini pasti akan terjadi. Namanya sebuah pernikahan siapa sih yang tidak ingin memiliki anak, buah hati, jantung hati. Bukankah tujuan sebuah pernikahan salah satunya yaitu mencetak generasi, penerus kedua orangtuanya, menghasilkan keturunan.

Sebenarnya aku tidak seberapa terkejut. Aku sudah mempersiapkan diri jika hal ini terjadi. Tapi aku masih harus menata hatiku agar aku tidak salah langkah.

Waktu itu aku tidak ingin Ririn memiliki anak dari Mas Randi, karena aku takut Mas Randi berkurang kasih sayangnya kepada anak-anakku. Ya, memang begitu pendek pikiranku. Pikirku itu adalah jalan supaya anak-anak tidak kekurangan kasih sayang dari ayahnya. Aku sebagai istri boleh berbagi suami, tapi kasih sayang ayah ke anak-anaku tidak ingin terbagi. Anak-anak adalah segalanya bagiku.

"Dek, Ngomong Sayang. Jangan buat Mas takut" ucap Mas Randi menyadarkanku dari lamunanku tadi.

Aku tak menjawab. Aku elus-elus perutku yang sudah mulai terasa ada gerakan-gerakan kecil dari bayiku. Ya, bayiku sudah ditiupkan ruh ke tubuhnya. Mas Randi mengambil tanganku. Di letakkannya di dadanya. Terasa degup jantung Mas Randi.

"Dek.. Mas Bingung. Kalau Adek diam saja begini" ucap Mas Randi dengan suara bergetar. Matanya tampak basah oleh air matanya sendiri.

"Bunda.. bunda.. Kakak nakalin Adek. Bunda.. Bunda.." ucap Rafael anak keduaku dari ruang tamu dengan tangisan.

"Sebentar Mas, aku ke tempat anak-anak dulu" ucapku seraya bangkit dari kursi. Mas Randi menggangguk.

Aku melerai anakku yang berebut mainan. Lucu sekali anak-anak masih polos. Selalu menggemaskan. Hiburan untukku dalam menjalani hari-hari.

Aku pangku Rafael yang masih sedikit terisak. Aku menghiburnya. Kakaknya sudah meminta maaf.

Aku merenung sembari menciumi pipi dan kening putraku.

Ah, kenapa semua terasa tidak enak. Terasa seperti berada di pinggir jurang yang dalam dan di arah daratan terdapat harimau. Ya, Maju salah, mundur juga salah.

Ah, kenapa terasa sulit sekali berada di posisi saat ini.

Ya Allah ya tuhan.. beri aku petunjukmu.

Rafael kemudian tertidur di pangkuanku. Mas Randi mengambilnya lalu menggendongnya dan menidurkan di kamar.

Aku berdiri, berjalan ke dapur. Aku lapar ingin makan. Kehamilanku saat ini selalu terasa lapar dari waktu awal kehamilan. Kata orang-orang namanya hamil ngebo.

Aku tidak urusan walau sedang banyak pikiran. Makan ya tetap makan. Demi bayiku.

Aku mengambil piring dan sendok. Kemudian menuangkan nasi dan lauk pauk.

Mas Randi menyusulku di meja makan. Mas Randi Memandangiku yang sedang makan.

"Mas gak makan?" Tanyaku menatapnya.

"Mas belum lapar Dek" jawabnya halus.

Aku makan dalam diam. Mas Randi terus menatapku. Hingga beberapa menit.

"Mas, besok ya Adek kasih jawabannya. Adek mau shalat istikharah dulu" ucapku seraya memasukkan nasi terakhir ke mulutku.

"Ya sayang. Makan yang banyak ya biar bayi kita gendut dan sehat" ucap Mas Randi yang berjalan mengambilkanku minum air putih.

Kemudian membuatkanku susu hamil, dan meletakkannya di hadapanku.

"Ini susunya ya sayang, diminum sampai habis, biar bayi kita banyak gizinya" ucapnya lagi.

Mas Randi memang selalu perhatian dan sangat menyayangiku saat sedang bersamaku.

*****

Pukul tiga pagi aku bangun untuk melaksanakan shalat tahajud, kemudian lanjut melaksanakan shalat istikharah.

Aku berdoa kepada Allah meminta petunjuk yang terbaik. Apakah keputusanku sesuai kesepakatan dulu bahwa aku akan meminta cerai atau aku tetap menjadi istri Mas Randi? Dua pilihan yang tidak bisa disepelekan.

Pukul setengah lima subuh aku membangunkan Mas Randi untuk melaksanakan shalat subuh. Aku lihat Mas Randi bangkit dan berjalan menuju kamar mandi, setelah sebelumnya mencium keningku dan mencium perutku.

Aku berjalan menuju kamar anak-anak. Aku ciumi kening dan pipi Reyhan. Kemudian lanjut Rafael. Aku pegang kening Rafael. Terasa panas sekali di telapak tanganku. Rafael demam.

Pukul enam pagi aku mengajak Mas Randi untuk segera berangkat ke rumah sakit. Reyhan aku titip ke asisten rumah tanggaku yang baru saja datang pukul enam ini. Asisten rumah tanggaku datang pukul enam dan pulang pukul dua belas siang.

Mas Randi melajukan mobil sportnya dengan kecepatan sedang. Mas Randi pakai mobil milik Ririn waktu kemarin ke rumahku.

Lima belas menit mobil melaju akhirnya sampai rumah sakit.

Sesampainya di rumah sakit. Rafael langsung di periksa di UGD.

Kata dokter, Rafael harus rawat inap, karena panasnya tinggi sekali, mencapai 40 derajat celcius. Bibirnya sampai terlihat kering.

Mas Randi mengurus semuanya, biaya dan kamar untuk rawat inap. Aku mendekap erat Rafael anakku dengan khawatir. Aku ciumi keningnya. Panas sekali hingga aku pun berkeringat. Kasihan sekali anakku.

Pukul tujuh ini seharusnya Mas Randi sudah berangkat ke rumah Ririn karena jadwal di rumahku sudah habis.

"Dek, Mas gak ke rumah Ririn ya. Mas mau nungguin Rafael di sini sampai sembuh. Mas khawatir dengan kondisi Rafael" ucap Mas Randi seraya menidurkan perlahan Rafael di ranjang rumah sakit. Kami saat ini sudah berada di kamar rawat inap.

"Iya Mas" jawabku singkat.

Aku menyetujuinya, tidak mungkin kan aku menunggui Rafael sendirian di rumah sakit dengan kondisi yang sedang hamil seperti ini. Biar Mas Randi di sini menunggui anaknya yang sedang sakit hingga sembuh. Urusan Ririn semoga dia bisa mengerti kalau Mas Randi tidak bisa ke sana.

"Nanti Mas telepon Ririn Dek, kalau Mas gak bisa kesana. Semoga Ririn bisa mengerti" ucap Mas Randi seraya duduk di sebelahku lalu merangkul bahuku.

SUAMIKU MISKIN DIREBUT PELAKOR TAJIRTempat di mana cerita hidup. Terokai sekarang