BAB 13: Tobat

189 26 2
                                    

Sejauh ini, menurut kalian Clara dan Fano itu bagaimana?

Happy reading💗💗💗

=======================================

Mungkin yang bisa Clara katakan teman lama itu adalah Bu Reya, yang bisa mengerti perasaannya, yang bisa memahami emosinya bahkan mereka mempunyai banyak kesamaan. Clara menyukainya. Jadi tak ada salahnya, kan, bertemu dengan teman lama?

Namun yang didapatinya siang ini bukanlah Bu Reya. Fano membawanya pergi, atas permintaan mamanya. Ini bukan orang lama yang biasa ia temui. Entah sudah berapa kali ia melakukan konseling, dengan orang baru. Tapi tak satupun yang berhasil mempengaruhi pikirannya. Mungkin ia hanya bisa tenang sesaat. Karena ia tak konsisten. 

Clara menghela nafas. Tampaknya ia lelah sekali seperti ini. Dipikirannya adalah, Mama tak pernah menganggapnya normal. 

Bu Reya selalu memakluminya. “Nggak pa-pa, Clara. Manusia tempatnya salah. Semua orang itu berproses tapi nggak ada yang bisa pahami kamu sebaik Ibu. Jadi, kamu nggak pa-pa kalo mau marah, sayang. Marah itu wajar aja, toh semua orang itu pernah salah.”

Bu Reya satu-satunya yang tak pernah menyalahkannya. 

“Halo, saya Gestara.” Lelaki berkemeja formal itu memperkenalkan diri. Tapi Clara tak berminat untuk membalas untuk ikut memperkenalkan diri. Datanya sudah ada, kan?

“Tadi ke sini sendiri? Atau–”

“Mas saya udah sering kayak gini. Bisa cepet enggak?” Clara bertanya malas. Mungkin harapannya adalah lelaki ini tersinggung. Tapi yang ia lihat hanya senyuman ramah di wajah. 

“Sayangnya kamu masih punya 50 menit bersama saya, Clara.” 

Clara menghela nafas panjang. 

“Ya udah. Saya cerita. Saya disuruh ke sini karena semalam saya ngamuk-ngamuk kayak orang kesurupan. Ya walaupun saya nggak tau rasanya kesurupan gimana tapi Abang bilangnya gitu. Mungkin bagusnya saya diam kayak patung aja, ya. Marah enggak boleh, ngomong dikit jadi salah.”

“Kamu merasa ada yang salah sama omongan kamu?”

Clara yang tadi berujar panjang lebar dengan cepat langsung tak bisa menjawab dengan cepat. Ia berpikir sejenak. 

“Enggak. Itu kata Abang.”

Dan ia tahu pasti lelaki itu mendapati sesuatu tentangnya. 

“Mas beneran masih lama?” tanya Clara dengan nada jengah. Bahkan lelaki itu tak banyak bicara sejak tadi, hanya dirinyalah yang terus berbicara seolah lelah menghadapinya. “Ya udah. Nggak bisa saya langsung dikasih tau sakitnya apa?”

“Saya masih belum paham dari cerita kamu tadi. Dan saya tidak–”

“Mas tau, kan, kenapa saya di sini,” ucapnya ketus. “Saya orangnya kasar. Sebelum ngamuk-ngamuk kayak orang kesurupan, terakhir saja ngelempar kursi ke kepala orang. Sebelumnya saya ngelempar pot. Mungkin saya harusnya ke rsj bukan ke psikolog, ya, Mas.”

“Kenapa harus ke RSJ?”

“Ya menurut Mas aja. Emangnya saya normal?”

We (didn't) grow up TogetherWhere stories live. Discover now