38 Sudikah Menjadi Kelangenan?

813 155 113
                                    

Masih 18++ ya...😬

Wijaya rupanya mengetahui ketakutan Klething Kuning. Tubuh yang menegang itu membuatnya sadar bahwa gadis ini masih lugu. Pasti masih bingung dengan percumbuan lelaki dan perempuan. Dalam hati ia berusaha bersabar. Jangan sampai gadis ini lari sebelum waktunya. “Jangan takut. Duduklah. Aku hanya ingin bercakap tanpa terganggu orang lain,” kata Wijaya. 

Benar saja, Klething Kuning tidak percaya. Gadis pendekar itu berhasil mendapatkan kekuatannya kembali. Didobraknya pintu dan segera keluar. Apa daya, Mbok Rondo Dadapan dan Sumithra telah bersiap di luar kamar.

“Cah Ayu, kenapa keluar? Kamu masih takut? Baiklah. Mari kita duduk dan bicara di ruang tengah,” ujar Mbok Rondo Dadapan dengan tersenyum ramah serta menggandeng tangan Klething Kuning.

Kata-kata lembut wanita renta itu berhasil menenangkan Klething Kuning. Diliriknya Wijaya. Pemuda itu memang tidak terlihat akan memaksa dan dengan tenang mendahului mereka duduk di balai-balai ruang tengah.

Akhirnya, Klething Kuning menurut. Gadis itu duduk bersimpuh di lantai sambil bersiaga. Ia bersyukur selalu membawa badik yang diselipkan di pinggang.

“Cah Ayu, jangan takut. Kami tidak ingin berbuat jahat padamu.” Sekali lagi, Mbok Rondo berusaha menenangkan. Matanya berkedip kepada Wijaya untuk bersabar. Akan sangat sulit bila gadis pendekar ini melawan. Toh mereka hanya perlu menunggu sampai jamu yang diberikan bereaksi maksimal.

“Nah, sekarang katakan apa keinginanmu, Cah Ayu? Apa simbokmu perlu tambahan hadiah?” tanya Mbok Rondo Dadapan.

“Ampun Mbok Rondo. Sebelum melanjutkan perkara ini, hamba ingin mengetahui kapan kiranya Mbok Rondo dan Kakang Ande Ande Lumut hendak bertemu dengan ibu hamba di Lemahireng?”

“Kakangmu tidak perlu datang ke Lemahireng, Ndhuk. Cukup dengan Simbok angkatmu saja.”

“Ampun, Mbok Rondo, hamba ….”

“Klething Kuning,” panggil Wijaya. “Kamu harus tahu, bahwa aku tidak perlu menikahi kelangenan[1].”

Klething Kuning kebingungan. “Kelangenan?”

“Iya. Kamu akan menjadi kelangenanku. Jadi tidak perlu repot-repot mengurus pernikahan yang bertele-tele itu.”

“Anakku benar sekali, Ndhuk,” imbuh Mbok Rondo. “Intinya menikah itu kan kumpul antara lelaki dan perempuan. Yang lelaki wajib melindungi dan menafkahi si perempuan, sedangkan si perempuan wajib melayani si lelaki. Bukankah begitu? Jadi sama, bukan, dengan menjadi kelangenan?”

Mata Klething Kuning melebar mendengar itu. “Jadi, hamba tidak akan dinikahi secara layak?”

Wijaya, Mbok Rondo Dadapan, dan Sumithra hanya tertawa saja. 

“Kakang Ande Ande Lumut, mohon maaf, saya tidak akan menyerahkan tubuh saya tanpa sebelumnya mengikat janji secara sah di hadapan Sang Hyang Widhi dengan upacara yang layak di pura!” kata Klething Kuning dengan tegas. Wajahnya memerah karena tegang.

Wijaya tertawa dengan nada sinis.  “Paman, Mbok Rondo, lihat! Tinggi sekali kemauan gadis dusun ini!” 

Klething Kuning menatap tak percaya pada Ande Ande Lumut. Ia sekarang merasa dipermainkan. Amarahnya terpicu tanpa ampun.

“Kakang Ande Ande Lumut! Saya tidak menyangka kamu seperti ini!” seru Klething Kuning dengan sangat kecewa. “Saya tidak mau hanya dijadikan kelangenan. Kalau menginginkan saya, Kakang harus menikahi saya!”
 
Ande Ande Lumut menatap nyalang. Baru kali ini ia dibentak oleh seorang gadis rendahan. Beraninya gadis lusuh ini menuntut dinikahi. Dia pikir siapa dirinya? Putri-putri keraton saja mengantre untuk mendapatkan cintanya. Bila bukan karena kutukan yang mengharuskannya mendapatkan perawan murni sebagai rakyat jelata, tak sudi ia merendahkan diri dan terlunta-lunta di desa serta terjebak dengan gadis dari kalangan rendahan.

PEMBURU CIUMANWhere stories live. Discover now