(vi) hanahaki byou

686 58 23
                                    

"Kau tahu rumah sakit bilang apa tentang penyakitku?" Seteguk kuro kirishima mengaliri kerongkongan Kazuma. Ia sedang berada di sebuah izakaya bersama Aniki-nya, Nobuyuki.

Pemuda yang lebih tua itu memantik sebatang rokok kemudian menepis tangan Kazuma yang hendak meraih kotak Marlboro Gold miliknya. "Akhirnya check-up juga." Meski ditepis beberapa kali Kazuma tetap merebutnya.

"Mereka bilang paru-paruku ditumbuhi kebun bunga. Aku membuang klaim asuransiku cuma buat diagnosa tolol kayak gitu." Lintingan tembakau yang terselip di antara kedua bibirnya ia tarik menjauh, mengecap rasa manis tapi cenderung hambar dengan sensasi menusuk khas rokok putih tertinggal di tenggorokannya. "Nggak lebih baik dari yang merah."

"Kita nggak lagi ngomongin rokok, Kazuma. Lanjutkan apa kata rumah sakit," tegur Nobuyuki, ia sudah mengenal Kazuma selama 20 tahun dari 27 tahun ia hidup. Ya menjadi kakak, partner in crime, teman minum, segala-galanya bagi Kazuma.

"Maksudku, aku lebih percaya kalau mereka bilang aku kanker paru-paru stadium akhir dan bakal mati lusa daripada mereka bilang aku mengidap hana... hana—
apalah itu."

"Hanahaki."

"Nah itu, tolol sekali 'kan? Bagaimana bisa ada kebun bunga di dalam paru-paru? Siapa petani bunganya?" Kazuma tergelak sendiri. "Tunggu, kenapa wajahmu serius begitu, Aniki?"

Pemuda yang dipanggil 'Aniki' itu mencengkeram erat bahu Kazuma. "Kau masih naksir anak itu?"

"Hokuto maksudmu? Ayolah, dia sudah punya pacar," balas Kazuma. Baru kemarin ia bertemu Hokuto di kedai kopi dekat kampusnya bersama pemuda dan seekor kucing, katanya pulang dari pet shop setelah grooming peliharaan mereka itu.

"Kazuma, kalau kau nggak percaya kata dokter, kau mau percaya apa kata aniki-mu 'kan?" Nobuyuki masih dengan posisi mencengkeram bahu Kazuma.

"Kalau kau mau bilang aku mengidap Hanahaki itu, aku tetap nggak mau percaya."

Nobuyuki mengusap kasar wajahnya, memang susah sekali berbicara dengan Kazuma yang kepalanya luar biasa keras. "Bunga-bunga itu akan terus bertumbuh dan mekar lalu menyumbat sistem pernapasan, termasuk batang tenggorokan. Kalau sudah parah, kau bisa mati karena kekurangan oksigen."

Kazuma mendecak, ia memesan segelas martini cocktail. "Nggak masuk akal, tahu!"

"Bunga-bunga itu tumbuh dari cinta yang bertepuk sebelah tangan, dari kau memutuskan memilih SMA yang jauh dan merantau sendirian ke Tokyo untuk melupakan cinta pertamamu itu kau sudah mulai batuk-batuk 'kan?" Nobuyuki mengingatkan Kazuma pada masa lalunya.

"Itu juga pertama kali aku kecanduan rokok, Aniki. Kau tahu sendiri."

"Kazuma—" Ucapan Nobuyuki diinterupsi batuk-batuk hebat yang dikeluarkan Kazuma, saking mengkhawatirkannya beberapa orang menenggok dan berniat memberi pertolongan. Segumpal darah dikeluarkan Kazuma di atas sapu tangannya. Pemuda itu pamit ke toilet dengan tubuh terhuyung. "Anak itu benar-benar bikin khawatir aja."

Kazuma mencengkeram erat pinggiran wastafel, batuknya belum mau diajak berdamai. Kepalanya berputar-putar, ia yakin sebotol kuro kirishima tidak membuatnya mabuk. Napasnya mulai terasa sesak, semakin lama semakin melilit paru-parunya. Satu kali batukan keras, sebuah kelopak bunga zinnia bercampur darah kental ia keluarkan.

"Sudah lihat sendiri bunga keluar dari paru-parumu 'kan?" Pertanyaan bernada retoris dilontarkan Nobuyuki. "Biasanya bunga yang keluar itu berhubungan sama sosok cinta-bertepuk-sebelah-tanganmu. Kalau kau mengeluarkan bunga aster berarti kau menyukaiku dan aku tidak."

[com·pi·la·tion // kzhk]Where stories live. Discover now