(x) airplane

668 55 15
                                    

Lagi-lagi Kazuma dipaksa menunggu tiga jam karena cuaca buruk yang menyebabkan penerbangannya pulang kembali ke Jepang ditunda. Kantuk dan suntuk menjadi satu. Ia pribadi tidak benci maupun suka dengan tempat ini. Menurutnya, ada banyak rasa yang tertinggal di bandara; ucapan selamat tinggal dan selamat datang. Ada yang dipertemukan, ada juga yang ditinggalkan. Saat-saat pertama bertemu atau saat-saat terakhir melihat wajah orang-orang yang disayang. Ada janji yang bisa ditepati jika waktu mengizinkan, ada juga yang terpaksa harus teringkari.

Kazuma mengedarkan pandangannya ke seluruh area ruang tunggu untuk mengusir jenuh yang menggunung. Ada seorang pemuda dengan pirang ditutupi topi ala-ala newsboy, mulutnya penuh croissant sedangkan ia sibuk mengetik di laptopnya. Kazuma memicingkan mata—memastikan apakah sosok itu sama dengan siapa yang ada di benaknya.

Tiga jam berlalu sangat lambat. Penerbangannya sudah bisa dilakukan. Langkah gontai Kazuma yang amat kentara menarik perhatian pemuda di belakangnya. Sama seperti Kazuma, ia juga merasa tidak asing dengan sosok berambut gelap di hadapannya.

16A adalah kursi yang didapatkan Kazuma. Pesan secara acak, lebih tepatnya. Ia menghela napas saat menyandarkan punggungnya di kursi empuk pesawat, ia tidak sabar buru-buru tidur setelah pesawat lepas landas.

"Ternyata betulan kau."

Kazuma mendongak untuk melihat siapa yang bercakap. Kemudian ia tersenyum kecil seraya membantu Hokuto menaikkan barangnya ke atas loker kabin. "Ternyata betulan kau," balasnya.

"Terima kasih." Hokuto menempati kursi 16B yang berada di sisi jendela. "Modelling?"

Kazuma mengangguk. "Pemotretan lebih tepatnya."

"Oh, brand apa?" tanya Hokuto sambil melepas topi ala newsboy-nya memamerkan pirangnya.

"Dior." Kazuma terperangah dengan gaya rambut Hokuto yang baru ia lihat. "Kau sendiri? Liputan apa?"

"Acara Louis Vuitton, sekalian bertemu Takanori-san." Percakapan seputar pekerjaan masing-masing diinterupsi pengumuman keberangkatan pesawat. "Kabarmu?"

"Baik," jawab Kazuma lantas tersenyum lagi. "Kau juga baik?" Ia berbalas tanya. Hokuto mengangguk dua kali sebagai jawaban pasti. "Kelihatan kok."

"Begitu?"

"Pipimu semakin berisi." Kazuma setengah bercanda setengah serius.

Hokuto terkekeh mendengar penuturan Kazuma. "Tapi kau tetap saja," cakapnya. Diberi tatapan bingung oleh Kazuma, Hokuto melanjutkan, "Masih suka bikin sebal."

Mereka banyak bertukar cerita selama enam tahun belakangan. Cerita tentang karir modelling Kazuma yang semakin hari semakin menanjak atau Hokuto yang baru saja berpindah ke redaksi majalah fashion. Beberapanya diselipkan cerita lama penuh tawa semasa SMA dan cerita penuh masalah ketika mereka berdua menitih karir masing-masing di agensi yang sama. Kazuma sebagai model dengan Hokuto fotografernya.

Setelah 45 menit mengudara, seorang pramugari menghampiri mereka. "Selamat siang, apa Anda ingin memesan sesuatu?" Buku menu diberikan dengan sopan.

"Jus tomat," jawab Kazuma mantap.

"Whiskey Jack Daniels." Hokuto tanpa ragu menjawabnya.

Sesaat setelah pramugari itu berlalu, Kazuma membuka topik obrolan baru. "Kenapa kau pesankan aku alkohol siang-siang?"

"Waktu kita terbang ke Fukuoka kau bilang Jack Daniels enak, sekarang masih minum 'kan? Kalau tidak aku salah pesan dong." Hokuto memiringkan tubuhnya sehingga bisa menghadap Kazuma dengan lebih leluasa.

"Apa enaknya jus tomat?"

Hokuto meregangkan tubuhnya sambil menguap. "Yah, sebenarnya 'kan tidak ada makanan atau minuman yang enak di pesawat."

[com·pi·la·tion // kzhk]Where stories live. Discover now