Dengan Seno

62 7 0
                                    

"Di, makasih yah udah mau menemani aku sampai selesai diskusi dengan teman-teman sekelompokku," kataku sambil menyeimbangkan langkah kakiku dengan Dian yang tampak dengan girang memegang tanganku membimbingku ikut menapaki jalanan kampus.

"Hari ini aku seharian menemanimu," katanya singkat.

Bagaimana bisa seharian, sebentar lagi saja kami akan berpisah, gumamku.

"Aku ikut yah ke kostmu. Tapi temani aku dulu ke kostku siap-siap," ajaknya yang kuiyakan. Seolah memberi jawaban tentang apa yang baru saja kupertanyakan.

Jalanan yang panjang itu terasa lebih singkat kalau ada Dian. Aku senang melihatnya senyum, sudah kubilang kemarin. Senyumnya tampak tulus, tak menyembunyikan apapun. Aku bisa dengan leganya bercerita apapun tanpa takut yang kuceritakan hati ini jadi rahasia umum suatu saat.

"Kamu tiduran aja di kasur, aku siap-siap sebentar ya," katanya sambil mengambil handuk yang dia gantungkan di balik pintu kamarnya.

Kamar kostku tak lagi sepi nanti. Biasanya kost itu akan terasa sepi meski sudah kupasang musik kesukaanku pakai speaker bluetooth miniku yang lucu itu.

***

Aku tak tahu kenapa. Kalau ada teman, rasanya niatku untuk keluar dari kamar kost barang sebentar saja sangat sulit kulakukan. Ingin sekali rasanya kugunakan waktu yang akan terasa singkat itu untuk menemaninya bercerita banyak hal, tentang hobinya yang suka nonton dan menyaksikan dia berteriak sesekali kalau-kalau ada artis idolanya dengan tampilan yang memukau di matanya. Ingin sekali kukatakan padanya tentang pria kesukaannya yang tak pernah menarik di mataku, "Aku tak suka dia". Tapi terserahlah. Aku malah merasa lebih baik menjadi dia yang tak akan pernah disakiti idolanya. Mereka tak pernah bertemu. Tapi lewat layar ponselnya dia bisa saja mengatakan apapun yang dia mau meski idolanya tak akan mendengarnya. Tak seperti aku yang bisa bertemu hampir setiap hari tapi tak bisa berkata apa-apa. Dengan Seno.

"Yos, kami tahu, dia pasti tahu apa yang kami teriakkan, Yos"

"Seperti Tuhan saja dia, Di"

"Bukan. Tapi kalau hatinya terasa dekat, telepatinya terjaga loh"

Sontak jantungku terasa berhenti berdetak sebentar. Aku seharusnya mengerti, bersama Seno dan menghabiskan hari tua bersamanya hanyalah mimpi. Aku seharusnya menyadari ini lebih cepat. Agar aku lebih cepat paham, dengan Seno hanyalah rumus matematika yang tak punya penyelesaian.

Sebelum PagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang