02

2K 238 15
                                    

Kayla

Hidup seorang Kayla Gesita Andira itu sebenarnya biasa-biasa saja. Saya sudah kelas dua belas dan saya masih belum tahu mau melakukan apa ketika lulus sekolah nanti. Kuliah malah saya jadikan alternatif kedua. Dan mungkin karena saya anak paling kecil, saya tidak begitu dipaksa melakukan hal yang saya tidak begitu suka.

Tapi sebenarnya, apa yang saya suka? Saya masih belum tahu. Terkadang, iri. Iri melihat teman-teman lainnya bersemangat mencari tempat kuliah di dalam kota pun luar kota. Saya sendiri belum tahu mau melanjutkan kuliah di mana.

Hidup saya datar-datar saja. Sehari-hari kadang saya senang atau malah biasa saja. Saya juga bingung saya ini kenapa. Kalau kata Dina—teman sebangku sekaligus teman akrab saya, Kayla itu tidak bisa ditebak. Saya tidak tahu itu pujian atau bukan.

"Hah? Lo dikejar anjing?" Saya mengiyakan pertanyaan Dina. Padahal saya baru saja tiba di kelas dan duduk di kursi lalu meletakkan tas saya di atas meja.

"Kemarin gue dilabrak temen-temennya Nata, Din."

"HAAAH?"

Saya langsung memicingkan mata saat tahu-tahu Dina memekik. Saya sudah menduga sih, reaksi dia akan seperti itu.

"Gimana ceritanya? Lo enggak pulang bareng Bayu?" tanya Dina sambil mengecilkan volume suaranya.

"Enggak. Gue bohong ke Bayu. Gue bilang aja mau ngerjain tugas bareng lo."

"Tuh kan. Sejak kapan sih Kayla Gesita ini pinter bohong? Terus gimana? Ada Nata?"

Saya mengangguk. Teringat bagaimana sosok Natasha menolong saya kemarin. Asal kalian tahu saja, saya kemarin didorong, kepala saya ditoyor oleh teman-temannya Nata. Saya agak takut sebenarnya, tapi berpura-pura tegar saja.

"Nata nolongin, Din. Dia marahin temen-temennya."

"Lo diapain, Kay? Siapa-siapa aja? Lucia? Rachel? Gita?"

Saya mengangguk-angguk. Secara garis besar, tebakan Dina itu benar. Karena memang hanya itu-itu saja gengnya Natasha. Termasuk Nadine, yang tidak ia sebutkan.

"Cuma didorong aja sih,"

"Ih, Kayla! Kenapa lo santai banget sih?!"

"Terus gue harus gimana? Nangis-nangis? Ngadu ke Bayu? Din, apa pun yang bakalan gue lakuin sekarang, orang-orang bakalan tetep ngomong yang enggak-enggak."

"Ini tuh karena lo nolak buat deket sama Saka," ujar Dina tiba-tiba.

Saya mengernyitkan dahi. "Apa hubungannya sama Saka?"

Dina berdecak kecil. "Kay, apa kurangnya sih Saka? Dia tuh cakep, baik, enggak ada kurangnya! Kenapa enggak lo coba aja sih? At least, kalau lo punya cowok, mereka enggak bakalan ngomongin lo lagi."

Saya tidak tahu sudah berapa kali Dina membawa Saka setiap kami membicarakan Bayu ataupun Natasha. Setiap Dina membawa topik itu, tentu saja saya malas menjawabnya dan lebih memilih untuk diam. Namun, ketika pagi ini saya hendak membalas ucapannya, Pak Tejo—Guru Agama kami menyelamatkan saya dari pertanyaan Dina seputar Saka. Saya bisa merasakan Dina memandangi saya penuh harap, tapi tentunya saya hiraukan.

Saka itu memang baik. Hanya saja, dia bukan untuk saya.

-ooo-

Saat jam istirahat, saya lebih memilih untuk menghabiskan jam istirahat itu dengan tiduran di dalam kelas saja. Saya tidak bernafsu untuk melakukan apa pun termasuk makan di kantin. Saya bahkan tidak lapar. Dina saja sampai sudah capek membujuk saya. Dina kemudian menyerah dan pergi makan entah dengan siapa. Sedangkan saya, saya hanya menutupi kepala saya dengan jaket lalu memejamkan mata.

Will HeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang