25

972 161 20
                                    

Kayla

Dina, Bayu, dan Saka. Ketiga orang teman saya ini, sudah selangkah lebih maju daripada saya. Dina sudah pergi ke Yogyakarta. Bayu sudah berangkat ke Malang. Dan Saka, walau ia masih berada di satu kota yang sama dengan saya, kami pasti akan jarang bertemu. Mengingat bagaimana sibuknya mahasiswa kedokteran, dan juga hubungan kami yang sudah canggung. Saya dan Saka, tidak akan sering bertemu lagi.

Melihat mereka sudah berada di satu garis di depan saya, Kayla Gesita Andira ini tidak mau ketinggalan. Saya memutuskan untuk mengisi waktu kosong dengan mengikuti kursus memasak. Saya juga sudah mengatakan kepada Ayah dan Bunda, jika suatu hari nanti, saat saya siap, saya ingin berkuliah di Culinary Academy saja. Dan untungnya, Ayah dan Bunda menyanggupi.

Ketika Kak Kelvin berkata bahwa saya harus menjalani hidup sebagaimana yang saya mau, saya benar-benar melakukan itu. Ngomong-ngomong soal Kak Kelvin, sekarang sedang sibuk dengan proposal untuk tugas akhirnya dan jadi jarang pulang ke rumah. Ayah bahkan sudah capek menyuruhnya untuk masuk ke Sekolah Kedinasan. Walau Ayah sudah hampir menunjukkan bendera putih sebagai tanda ia menyerah, Kak Kelvin masih belum mau pulang ke rumah.

Katanya sih, sudah betah mengekos. Tidak ada yang memarahi dan tidak ada yang mengatur. Kecuali, Kak Agin.

Pagi ini, saya sedang berada di tempat kursus memasak yang saya bicarakan tadi. Saya masih berdiri tepat di depan pintu kelasnya. Saya gugup luar biasa. Saya tidak punya teman lagi di sini. Saya juga tidak tahu cara untuk mengajak orang berteman. Saya jadi khawatir, apakah saya bisa bertahan di tempat ini?

"Hei, kenapa enggak masuk?"

Saya terkesiap dan refleks membalikkan tubuh. Ternyata, salah satu chef yang akan mengajari saya. Ia tersenyum ramah dan menganggukkan kepalanya ke arah kelas, memberi tanda bahwa saya boleh masuk ke dalam. Saya mengangguk beberapa kali, membiarkan chef tersebut masuk lebih dulu. Setelah saya memantapkan hati, saya melangkahkan kaki masuk ke dalam kelas.

Saya pikir, saya akan dipandangi orang-orang saat masuk ke dalamnya. Tetapi ternyata tidak. Mereka sibuk sendiri dengan handphone masing-masing dan hanya ada beberapa yang terlihat seperti saling bertukar nama. Ternyata, tidak menyeramkan seperti yang saya pikirkan. Saya terlalu berlebihan dan terlalu sering overthinking. Saya kemudian memilih tempat di paling belakang dan atensi saya langsung melirik ke meja di sebelah saya. Seorang perempuan dengan rambut pendek di atas bahu ada di sana.

"Karena hari ini ada beberapa yang baru join, kita bakalan belajar basic dulu. Dimulai dari pengenalan alat-alat memasak ya." Saya kembali mengalihkan atensi kepada chef yang ada di depan sana. Syukurlah, chef-nya terlihat ramah. "Alat-alatnya ada di bawah, di dalam lemari. Dikeluarkan semua ya."

Saya langsung menurunkan pandangan saya ke lemari yang dimaksud. Tapi aneh, lemarinya tidak punya kenop pintu. Saya jadi bingung sendiri bagaimana membukanya. Ketika saya melihat yang lain, mereka sudah bisa membuka dengan mudah. Saya melakukan hal yang sama, mencontoh apa yang mereka lakukan. Tapi tetap saja, tidak berhasil. Astaga, hari pertama sudah menyebalkan seperti ini.

Ketika saya ingin berusaha lebih keras lagi, kakak yang ada di sebelah saya tiba-tiba datang dan menekan pelan pintu lemari, sehingga pintunya terbuka. Tanpa mengatakan apapun, kakak manis itu kembali ke tempatnya. Saya melirik nametag yang terpasang di pakaiannya, Kalana. Namanya Kalana.

-ooo-

"Terima kasih, sampai ketemu lusa ya."

Begitu kalimat penutup kelas hari ini disampaikan, mata saya langsung mengarah kepada kakak manis yang tadi menolong. Kakak itu tidak banyak bicara. Setelah membereskan mejanya, ia mengambil tas dan bergegas ke luar kelas. Melihat itu, saya jadi buru-buru meraih tas saya dan berlari mengejarnya.

Will HeWo Geschichten leben. Entdecke jetzt