Bad Memories | 1

253 16 4
                                    

"ELANG! DARA!" Suara teriakan nyaring terdengar dari sebuah dapur yang nahasnya sudah dipenuhi oleh beberapa adonan makanan yang tercecer di mana-mana.

Wanita itu berkacak pinggang, menatap ke arah kasir yang dipenuhi oleh pelanggan, tapi tak ada satu pun yang berjaga di sana.

"Mana Elang dan Dara?" tanya wanita itu pada Rina—satu-satunya koki yang ada di kafe tersebut.

Rina mengedikkan bahu malas. "Mereka pergi setelah bermain salju pakai tepung, Bu."

"Anak-anak kurang ajar itu." Berti menggeram marah. Kemudian melangkah menuju kasir dan mengambil alih pekerjaan yang seharusnya tengah dilakukan oleh Elang untuk melayani pembeli yang terus berdatangan.

Laris? Jauh dari itu. Rata-rata mereka yang mengantre ingin memprotes karena ada kesalahan dalam makanan mereka. Seperti kecoa mainan yang berenang-renang bersama para daging di dalam sup, atau—entah dapat dari mana—wasabi yang tercampur di balik nasi goreng. Dan itu semua adalah ulah Elang dan Dara.

"Ada rambut palsu di nasi saya."

"Ada lidah di dalam sup buah saya."

"Baik, kami buatkan kembali pesanannya," ucap Berti mencoba ramah. Namun dalam batinnya sudah ada 1001 sumpah untuk Elang maupun Dara.

Sementara itu, dalang di balik kekacauan yang terjadi diam-diam menguping di bawah meja. Mereka terkikik tanpa suara, sebelum akhirnya saling pandang seolah merencanakan sesuatu.

Tiba-tiba saja meja yang menyembunyikan tubuh mereka terjatuh karena Elang berdiri dari posisi jongkoknya. Selain benturan meja yang mengenai lantai, piring-piring kotor yang kebetulan belum sempat Dara bersihkan pun ikut pecah berhamburan.

Menyadari atensi pengunjung yang terarah pada Elang, cowok berteriak, "SELAMAT MENIKMATI MAKANAN KALIAN!"

"ELANG!!! SINI KAMU!"

Belum sempat Berti mengejarnya, Elang sudah lebih dulu menarik tangan Dara dan segera melarikan diri dari sana. Keluar dari sebuah kafe di pinggir kota, bahkan tanpa melihat jalan, mereka sudah masuk ke area gang-gang sempit yang jarak di lewati banyak orang.

Hari mulai sore, langit sudah hampir menggelap dengan awan mendung yang menandakan sebentar lagi hari akan hujan. Elang menghentikan langkahnya yang otomatis pula menghentikan langkah Dara. Ia melihat cewek itu tergelak, sontak desir hangat itu lagi-lagi datang di rongga dadanya. Sebuah getaran aneh yang selalu muncul dalam pertemanannya bersama Dara, tapi tak bisa Elang mengerti.

"Gila, kalau si tompel mecat kita, gimana?" tanya Dara di sela-sela tawanya.

Omong-omong soal tompel, Berti punya satu tailalat besar di pipinya. Tapi karena wanita tua itu tidak suka disebut tompel, Berti beralasan kalau tailalat di pipinya adalah tato yang sengaja ia pasang biar kelihatan jelek, padahal aslinya muka Berti itu cantik cuma mau merendah saja. Namun jelas Elang tak akan memercayainya. Dara yang punya tailalat kecil di dekat bibir saja tetap tampak manis, mau dia punya tailalat sebesar apapun, mukanya tidak mungkin berubah menjadi medusa kayak Berti.

"Percaya sama gue, dia nggak bakal mecat kita setelah kafe itu udah terkenal buruk." Elang mengajak Dara agar duduk di bawah pohon besar tepi jalan. "Logikanya, nggak akan ada yang mau ngelamar kerja di tempat buruk, apalagi gajinya cuma bisa buat beli tusuk gigi."

Dara terkekeh menyetujui. "Gue ngebayangin bu Berti sekarang lagi sibuk ngelayanin protesan. Terus telinga dia udah merah kebakar."

Selain tompel, Berti memiliki satu ciri khas yang menurut Elang aneh. Ketika Berti kelelahan atau marah, telinga wanita itu langsung memerah, sedangkan wajahnya tetap seputih mayat. Freak, sih. Tapi kalau atasan mereka bukan Berti, siapa coba yang masih bisa sabar menghadapi tingkah Elang di sana?

"Mereka bakal protes lagi karena tadi, gue nggak sengaja numpahin garem ke dalam jus."

"Itu bukan sengaja namanya!" Dara malah ikut protes.

Terus tiba-tiba, tak ada angin tak ada hujan, ada yang teriak ke arah mereka dengan genit. "IH, GILINGAN! LEKONG TAMPAN ITU CUCOK BINGBING KALAU AKIKA CUMI."

Elang melotot tajam, ditambah ketika ia hendak lari dari sana, cewek jadi-jadian itu sudah duluan nemplok di dadanya. Kemudian ada dua orang bencong yang ikut menyusul duduk di tiap sisi Elang, malah sampai menyingkirkan Dara dari sampingnya.

"He-eh. Endang diajak jali-jali belenjong, deh," ucap si bencong berambut kuning yang ada di sebelah kanannya.

"Mandole bareng juga, kecup-kecup pertiwi manja."

Di sisi kiri, bencong yang teteknya besar sebelah itu memonyongkan bibir ke arah pipi Elang. Cuma Elang bingung, gimana caranya dia kabur sementara Dara malah asik menonton Elang sambil buat insta story dengan ponselnya.

Lalu tatapan Elang tak sengaja jatuh ke arah lelaki tampan—walau Elang jauh lebih tampan—yang tengah melangkah di ujung jalan dan AirPods tersumpal di telinganya. Seakan ada lampu menyala dalam kepala Elang, cowok itu langsung menyelamatkan diri dengan menunjuk cowok di ujung sana.

"Permisi, mba-mba yang cantik. Maaf banget, nih, tapi gue nggak suka cewek. Nah, cowok itu-tuh, yang di sana, lebih ganteng dari gue. Kalian cari mangsa lain, ya?" pinta Elang terpaksa menganggap mereka cewek. Karena katanya, bencong itu tak suka kalau mereka dipanggil mas apalagi om-om, jadi Elang mau cari aman saja.

Beruntung mereka langsung menjauh karena ilfeel mengetahui Elang gay, bahkan bencong yang teteknya besar sebelah pun sampai membenarkan dadanya dengan wajah angkuh. Kayaknya, sih, kaus kaki atau entah apa yang ada di balik sana itu nyaris jatuh.

"Piur, cyin," ajak bencong yang tadi nemplok di dadanya.

Elang menghembuskan napas lega, sekarang cowok tak bersalah itu sedang dikeroyok oleh para bencong yang mukanya mirip medusa, sebelas dua belas sama Berti.

Tapi tak sampai di situ, Elang melihat ada bekas kecupan bibir dengan lipstick merah menyala di kaus bagian dadanya. Sekaligus Dara yang malah menatap prihatin ke arah cowok yang lagi dikeroyok cewek jadi-jadian, sedangkan ketika dia dikeroyok bahkan hampir diperkosa tadi, Dara justru bikin insta story.

"Lang, bantuin cowok itu! Kasian!" Eh, sekarang Dara malah minta bantuan ke Elang. "Cowok itu terlalu ganteng kalau dikeroyok bencong."

"Berarti gue kurang ganteng, dong?" tanya Elang tak terima.

Kampretnya, Dara cuma melirik sedikit ke arah Elang tanpa peduli. "Nggak, kok."

Cowok itu langsung menyengir lebar, tapi kalimat Dara selanjutnya bikin Elang pengin teriak sambil lari-lari pakai bikini.

"Lo nggak kurang, nggak lebih, nggak ganteng juga." Dara dengan santai bilang begitu. "Soalnya lo jelek, Long."

Elang menggerutu. Kemudian dia melihat cowok jelek—ia tarik kata-kata tampan tadi—yang berhasil bebas dari para bencong tanpa ada sedikit pun noda seperti bekas lipstick atau bedak yang bisa dibuat mendoan. Bencong itu malah pergi dengan genit dan melambaikan tangan ke arah cowok jelek tersebut.

"Hei, kamu baik-baik aja?"

For God's sake, Dara kenapa berubah jadi manis gini ke cowok jelek sialan itu?

***

Author's note:

"IH, GILINGAN! LEKONG ITU CUCOK BINGBING KALAU AKIKA CUMI." (IH, GILA! LAKI TAMPAN ITU COCOK BANGET KALAU AKU CIUM)

"He-eh. Endang diajak jali-jali belenjong, deh," (He-eh. Enak diajak jalan-jalan belanja, deh)

"Mandole bareng juga, kecup-kecup pertiwi manja." (Mandi bareng juga, kecup-kecup perut manja)

"Pyiur, cyin." (Pergi, guys)

Jangan lupa klik ⭐️ untuk memberi dukungan pada kami!

Bad MemoriesWhere stories live. Discover now