Bad Memories | 6

73 12 3
                                    

Happy Reading ❤

***

"Akal sehat lo ke mana, sih? Lo pikir keren apa narik-narik kayak gini?" Dara menatapnya sinis, sedangkan yang ditatap malah membalasnya dengan senyuman sinis. Laki-laki ini tidak pernah berubah.

Radit semakin melajukan motornya dengan kecepatan tinggi. Dara menepuk bahu Kakak tirinya itu berkali-kali. Apakah Radit sengaja melakukan ini? Entah ke mana akal sehat dia.

"Ngapain, sih, lo?! Turunin gue di sini!" pekik Dara menahan amarahnya.

Radit tidak mengikuti apa yang Dara inginkan. Jarak rumah mereka lumayan jauh. Dara tentu saja tidak ingin kehilangan nyawanya karena amarah Radit yang tidak jelas. Tumben sekali Radit menjemputnya? Tidak, lebih tepatnya, sejak kapan Radit peduli akan kehadiran Dara di rumah? Bukankah selama ini Dara seakan tidak terlihat di sana?

Dara mengembuskan napasnya berulang kali berharap bisa bersabar dengan sikap Radit. Dalam hitungan detik, suara kilat menyambar disertai rintik hujan yang turun ke bumi membuat kondisi hati Dara semakin buruk.

"Berteduh dulu. Jangan kayak orang gila, deh. Lo ngejar apa, sih, di rumah?"

Radit menggeleng. "Buang-buang waktu. Lagian hujannya nggak deras amat. Lo lebay banget. Nggak usah manja jadi cewek."

Dara mendengkus. Menjelaskan sepanjang apa pun dengan Radit hanya akan membuang waktu berharga Dara. Perlahan, Dara menengadah menatap langit berwarna kehitaman. Dara mencoba menikmati suasana kali ini.

Biasanya Dara selalu menghabiskan waktu dengan Elang, tetapi kali ini tidak. Pikiran Dara kembali mengingat tatapan orang-orang yang dengan sengaja menonton Dara, Elang, dan Radit. Dara cemas, pasti saat ini Elang dihujani dengan ribuan pertanyaan yang seharusnya Dara ikut menjelaskan agar mereka tidak salah paham. Namun, Radit sudah membawa dirinya lebih dulu. Lagi-lagi Dara mengembuskan napas.

Dara menatap sekeliling. Tangan kanan Dara menepuk keningnya kesal. Bisa-bisanya Dara lupa sedang mengenakan baju berwarna putih yang tentu saja akan tembus pandang. Dara memandang Radit, Kakaknya tidak mengenakan jaket, lalu sekarang Dara harus berbuat apa? Membiarkan tubuhnya menjadi tontotan orang di belakang?

"Ngapain lo lihatin gue kayak gitu?" tanya Radit seraya menatap Dara melalui kaca spion motornya.

Dara memutar bola matanya malas. "Fokus sama kerjaan lo. Nggak usah banyak nanya."

***

Sesampainya di rumah, Radit menarik pergelangan tangan Dara agar cepat masuk ke rumah. Dara bingung sekaligus malu karena bajunya tembus pandang. Dara tidak ingin Radit melihat tubuh Dara saat ini, tetapi Kakaknya semakin tidak sabaran.

"Ish! Nggak usah narik-narik gue! Lo masuk aja duluan! Apaan, sih?!"

Radit menarik pergelangan tangan Dara lebih kuat. "Lo sendiri ngapain di luar sini? Tadi lo minta cepat-cepat sampai, 'kan? Atau jangan-jangan lo mau balik ke rumah cowok itu lagi? Nggak cukup apa yang udah kalian lakuin semalam? Masih kurang?"

Dara memelotot mendengar penuturan Radit. Laki-laki di hadapannya ini sudah kehilangan akal. Di pikirannya hanya ada berbagai hal kotor. Mungkin dia yang sering melakukan hal itu, makanya dia sangat paham perihal itu.

"Gue makin heran sama lo. Jangan-jangan lo yang kayak gitu, ya? Lo nggak mau kebongkar makanya nuduh-nuduh gue? Iya, 'kan?"

Radit tidak membalas ucapan Dara. Tangannya kembali menarik paksa tangan Dara untuk segera masuk ke rumah. Dara sama sekali tidak ingin berdebat panjang dengan laki-laki ini, akhirnya Dara mengikuti langkah kaki Radit sambil terus mendengkus kesal.

"Lepasin tangan gue. Udah nggak waras lo, ya? Sakit, ish!"

Radit menutup pintu rumah dengan cepat, lalu menarik Dara ke kamar. Dara menatap keadaan sekitar, tumben sekali sepi. Dara dengan cepat melepaskan tangan Radit, lalu mendorong pelan tubuh Radit agar segera keluar dari kamarnya.

"Pergi. Ngapain lo masih di sini?" tanya Dara ketus.

Radit meneliti penampilan Dara, lebih tepatnya tubuh Dara. Dalam hitungan detik, laki-laki itu tersenyum sinis. Perasaan Dara berubah menjadi tidak enak, ada rasa takut bercampur panik. Ini pertama kalinya Dara dan Radit hanya berdua di rumah karena biasanya selalu ada Mama tirinya.

"Lo ngapain lihatin gue kayak gitu?" tanya Dara seraya menaikkan tangannya ke dada guna menutup bajunya yang tembus pandang.

Radit mendekat ke arah Dara. Matanya lagi-lagi menatap Dara intens. "Setelah apa yang lo lakuin sama cowok itu, emang lo nggak mau lakuin itu sama gue juga?"

Dara mendorong keras tubuh Radit. Laki-laki itu tampaknya sudah kehilangan akal sehat. Hanya itu saja yang dia bahas, apakah tidak ada yang lain? Apa dia tidak tahu malu membahas hal itu terus-menerus?

"Lakuin apa, sih? Gue rasa lo benar-benar udah nggak waras." Dara melangkahkan kakinya lebar berharap tidak terjadi hal buruk apa pun padanya. Dara sangat takut saat ini.

Radit membalikkan badannya seraya bertepuk tangan. "Mau lari ke mana lo?" Radit menunjukkan kunci rumah seraya tersenyum licik.

"Kasihan banget, sih, hidup lo. Dari tadi lo nuduh-nuduh gue karena sebenarnya lo yang kurang asupan? Turut berduka cita untuk segala kemirisan hidup lo, ya, Kak." Setelah mengatakan kalimat itu, Dara mempercepat langkahnya menuju pintu.

Tentu saja Dara tidak peduli dengan apa yang Radit tunjukkan. Setidaknya Dara bisa berteriak untuk meminta pertolongan dari tetangganya. "Tolong! Tolong! Tolong!" teriak Dara seraya terus memukul pintu rumahnya. Teriakannya lama-lama menjadi isak tangis.

"Dar, lo tenang di sana, ya! Ada gue di sini!" balas seseorang dari luar. Suara itu memunculkan senyuman tipis di wajah Dara. Laki-laki itu datang di waktu yang tepat. Setidaknya Dara akan terbebas dari Kakaknya yang tidak mempunyai otak.

"Lang, tolongin gue! Gue nggak mau diapa-apain sama orang berengsek kayak dia!"

Elang mengetuk pintu beberapa kali untuk memastikan Dara mendengarnya. "Dar, lo tenang, ya. Gue pasti bantuin lo. Sekarang lo mundur beberapa langkah, gue mau dobrak pintunya."

Dara mundur beberapa langkah seperti yang diperintahkan Elang. "Udah, Lang!" teriak Dara.

Beberapa kali dobrakan gagal karena kekuatan Elang belum keluar sepenuhnya, hingga percobaan ketiga pintu terbuka sempurna. Dara tersenyum melihat Elang benar-benar datang untuk menyelamatkannya.

Di saat Dara ingin berlari ke pelukan Elang, tiba-tiba tangan berukuran besar menarik tubuhnya mundur beberapa langkah. Dara mengalihkan pandangannya ke belakang. Di saat wajah Dara sudah menoleh total ke belakang, Radit secepat kilat mendaratkan ciuman ke pipi Dara.

Dara segera menjauh dari Radit. Laki-laki itu tidak aman untuk Dara. "Lo benar-benar nggak tau malu, ya!"

Elang tidak tinggal diam. Ia mendekat ke arah Elang, lalu melayangkan tinjuan tepat di wajah Radit. "Jangan coba-coba ganggu Dara. Apa yang lo lakuin sama sekali nggak nunjukkin sikap seorang Kakak."

Radit tersenyum sinis. "Gue emang bukan Kakaknya. Gue nggak bakal kayak gini kalau dia nggak kegatelan gitu. Lo lihat sendiri penampilan dia."

***

To be continue ....

Bad MemoriesWhere stories live. Discover now