BAB 11 - Kim: Rekomendasi

283 44 1
                                    

Jujur saja aku nggak berpikir banyak soal hidupku pasca suamiku meninggal, selain meratapi kepergiannya dan menerima segala hal yang dia tinggalkan sebagai hukuman untukku. Makanya setelah aku bertekad untuk bangkit dan memulai hidupku dari awal, aku merasa nggak punya petunjuk apa-apa. Bingung harus memulai dari mana. Bukankah untuk berproses itu aku membutuhkan sebuah awal untuk memulainya?

Itulah sebabnya aku kembali harus melibatkan Tissa agar aku tahu langkah seperti apa yang harus kuambil. Tissa nggak banyak menceramahiku, dia hanya bilang kalau aku harus memulainya dengan menyenangkan diri dan melakukan hal-hal yang sudah lama kuinginkan, tapi belum pernah kulakukan. Lebih spesifiknya lagi, Tissa menyarankanku agar pergi liburan selama yang aku mau, ke tempat paling bagus di belahan dunia ini dan melakukan segala hal yang kumau untuk bersenang-senang.

Liburan. Jalan-jalan. Travelling.

Tissa benar. Satu-satunya hal yang sudah lama kuinginkan tapi belum pernah kulakukan adalah travelling. Jangan tanya mengapa, sebab sudah kujelaskan sejak awal kalau aku pernah jadi wanita karir yang gila kerja.

Bagi wanita karir sepertiku, liburan menjadi sesuatu yang sangat langka. Kalau pun mendapat jatah libur aku selalu mengisinya dengan menyelesaikan pekerjaanku di rumah. Nggak pernah ada liburan akhir pekan kecuali outing kantor yang wajib kuikuti. Itupun kalau nggak ke Puncak, ya ke Bandung.

Setelah menikah pun, aku hanya pernah ke Lombok untuk bulan madu dan ke Jogja untuk seminar, di mana Agha memaksa untuk ikut aku ke sana. Katanya sekalian liburan singkat. Iya, memang singkat. Aku hanya bisa menambah ekstra satu hari setelah seminar untuk keliling Jogja bersama Agha. Setelah itu nggak pernah ada lagi hingga kepergian Agha.

Aku bukannya nggak mau pergi jalan-jalan apalagi bersama suamiku sendiri, tapi memang waktuku terbatas. Aku bekerja untuk penerbit mayor, di mana banyak sekali naskah yang harus kuseleksi dan ku-edit. Belum lagi aku juga harus memeriksa pekerjaan editor juniorku. Itu sebabnya aku lebih sering membawa pekerjaanku ke rumah dan mengerjakannya di akhir pekan sebelum deadline-ku tiba.

Lalu begitu Tissa menyarankanku untuk berlibur, aku langsung teringat pada Ran. Aku yang nggak punya referensi apapun soal liburan pasti membutuhkan bantuan dari seorang experienced traveller sepertinya. Jadi aku menghabiskan beberapa hari ini menonton vlog-vlognya yang berakhir dengan lelah dan kebingungan. Iya, lelah karena terlalu banyak video yang kutonton, dan bingung karena terlalu banyak tempat-tempat bagus yang aku suka.

Dua hari lalu aku mengirim pesan pada Ran untuk meminta rekomendasinya. Tentu saja kulakukan hal ini atas saran Tissa. Aku nggak seberani itu kalau tiba-tiba berinisiatif menghubungi Ran. Ran pasti sibuk dan kami hanya bertemu dua kali, jadi kurasa akan aneh kalau tiba-tiba aku meminta bantuannya. Tapi Tissa meyakinkanku, apalagi katanya Ran pasti nggak keberatan membantuku karena tempo hari aku juga sudah membantunya.

Dan di sini lah aku berakhir, di sebuah café di daerah Kemang yang kudapat atas rekomendasi Tissa untuk bertemu dengan Ran. Iya, memang segalanya serba saran dan rekomendasi Tissa, termasuk menerima saran Ran untuk berdiskusi langsung ini. Aku nggak tahu gimana jadinya hidupku kalau nggak ada Tissa.

"Hei, Kim, udah nunggu lama?"

Aku mendongak saat kudengar seseorang menegurku. Dia Ran, pria berambut keriting yang looking so fine dengan senyum lebarnya itu. Seketika kudengar bisik-bisik orang di sekitarku.

Astaga, aku lupa kalau Ran ini bukan orang biasa.

"Kim?"

Aku mengerjap, lalu kulihat Ran sudah duduk di hadapanku. Aku tersenyum kikuk, "Sorry. Gue baru sampe sepuluh menit, kok."

Travelove StreamingWhere stories live. Discover now