MENGINJAKKAN KAKI DI LONDON

501 104 0
                                    

Aku memasukkan baju terakhir ke dalam koper. Ukuran koper ini cukup besar, namun perlengkapan yang kubawa tak banyak, karena aku memang berencana membawa sedikit barang dari Indonesia, dan membawa pulang banyak barang dari sana. London pastilah memiliki pernak-pernik yang bagus untuk dibawa pulang, baik sebagai buah tangan atau koleksi pribadi.

Besok pagi penerbangan pertamaku ke London. Jujur aku sedikit deg-degan. Ada begitu banyak perasaan yang bercampur dalam benakku. Bagaimana kondisi toko yang akan kutinggalkan selama seminggu, peach tea yang tidak bisa kunikmati selama satu minggu kedepan, janji bertemu Lyra dan Sita yang terpaksa aku batalkan minggu ini, hingga Rama yang mungkin saja bisa kutemui di sana tanpa sengaja.

Mungkin.

Aku melangkah keluar kamar menuju balkon apartemen. Ini adalah tempat favoritku setiap malam, terlebih bila tidak ada deadline kerjaan. Aku memilih lantai kamar yang cukup tinggi— lantai dua belas. Pemandangan gedung-gedung tinggi dan jalanan yang disuguhkan dari kamar ini pada malam hari membuatku betah. Apartemen tempat kak Rigel tinggal tepat di sebelah kananku. Kadang ia juga keluar dan kami mengobrol dengan birai balkon seukuran pinggang yang menjadi pembatas.

Langit malam ini tidak begitu cerah. Biasanya aku dapat melihat bintang dan bulan dengan cukup jelas, tapi sepertinya malam ini mereka sedikit malu untuk tampil dan menari di atas sana. Angin berhembus kencang, udara dingin menusuk hingga ke tulang. Sepertinya akan hujan, pikirku.

"Kenapa belum tidur? Besok berangkat pagi, kan?" sebuah suara membuyarkan lamunanku. Aku mengalihkan pandangan ke balkon di sebelah kamar. Kak Rigel meletakkan lengannya di atas birai balkon, sambil menatapku dengan senyumnya.

"Aku tidak bisa tidur, kak. Ini keberangkatan pertamaku ke sana. Dulu aku mengira menginjakkan kaki di tanah London adalah sebuah mimpi yang besar dan sulit untuk digapai. Ternyata aku mampu menggapainya," jawabku menatap pemandangan jauh di sana.

Kak Rigel tertawa kecil.

"Kau sudah menyiapkan segala perlengkapan yang dibutuhkan?" tanya kak Rigel.

"Sudah kak, aku tidak membawa banyak pakaian. Aku berencana membeli apa yang dibutuhkan disana nantinya."

"Oh, baguslah. Jangan terlalu banyak membawa barang, aku yakin kamu pasti akan membawa pulang lebih banyak barang lagi nantinya. Seperti aku dulu," nasehatnya diikuti tawaku. Kak Rigel termasuk orang yang cukup dekat denganku, selain Lyra dan Sita. Sifatnya yang ramah dan lucu, membuatku bisa berinteraksi secara nyaman dengan kak Rigel. Ia tidak menuntutku untuk meresponnya secara aktif, karena ia memang tahu aku orang yang cukup pendiam. Ia sedikit mengikatkanku pada sosok yang ramah dan juga lucu, dengan senyumnya yang lebar dan khas; Rama. Seketika senyumku pudar, menatap langit yang terlihat murung malam ini.

"Ada apa, Karina?" suara kak Rigel memecah keheningan. Sepertinya ia melihat perubahan ekspresiku. Aku menggeleng pelan, lalu mencoba tersenyum.

"Tidak, kak. Tidak apa-apa,"

"Apa kamu teringat dengan laki-laki itu lagi?" tanya laki-laki itu dengan suara yang sangat pelan. Aku bisa merasakan kehati-hatian dalam ucapannya. Kali ini aku benar-benar tersenyum. Ia tahu ceritaku tentang Rama, karena aku sudah mempercayainya untuk berbagi cerita.

"Teringat atau tidak, itu semua tetaplah kenangan, kak. Tidak ada yang salah dengan mengingat atau melupakan hal tersebut," jawabku sembari menatapnya. Ia tersenyum hangat.

"Aku yakin kau akan baik-baik saja," ucapannya benar-benar tulus, aku bisa merasakan kata-katanya menghangatkan tubuh ini.

"Terima kasih, kak. Aku mau istirahat. Selamat malam, kak Rigel," pamitku berbalik menuju pintu balkon.

"Karina," panggilan kak Rigel menghentikan langkah kakiku. Aku melihat wajahnya yang sedikit tegang.

"Besok... Mau aku antar ke bandara?" tanyanya sedikit kaku. Aku berencana untuk memesan taksi online besok subuh, namun tawarannya cukup menarik.

"Boleh, kak. Sampai jumpa besok pagi," aku tersenyum dan masuk ke dalam kamar. Wajahku sedikit memerah, kurasa.

***

"Karina, ini kopermu. Aku sudah check in online dan memilih tempat yang tepat untukmu. Nikmati perjalanannya, delapan belas jam," Kak Rigel berdiri di sampingku sambil tertawa. Ia memberikan koperku yang sedari tadi ia pegang. Aku hanya tersenyum mendengar ucapannya. Waktu boarding satu jam lagi, aku memutuskan untuk masuk lebih cepat dan menunggu di dalam, daripada terlambat.

"Aku pergi dulu ya, kak. Terima kasih sudah mau mengantarkanku, nanti kubawa pulang oleh-oleh untuk kakak."

"Kamu kembali dengan selamat juga sudah menjadi oleh-oleh untukku," ujarnya pelan. Kami berpisah tepat di depan pintu keberangkatan internasional. Aku duduk salah satu café ruang tunggu keberangkatan. Sarapan memang akan disiapkan di dalam pesawat, namun perutku terus berbunyi sedari subuh tadi. Segelas teh panas dan biskuit akan menghentikan suara yang meronta dalam perut ini, menurutku.

***

Aku melangkahkan kakiku lunglai. Perjalanan delapan belas jam akan membuat siapapun lelah dan sedikit pusing. Ah, tidak sedikit kurasa. Suhu di Indonesia jauh berbeda dengan suhu yang ada di London, terlebih lagi ini bulan Oktober yang berarti London sedang berada di musim gugur. Aku memang sudah mempersiapkan diri dengan membawa jaket yang cukup tebal, tapi aku tak menyangka cuacanya akan sedingin ini. Beruntung ini bukan bulan Desember. Aku mengecek ponselku untuk mencari tahu berapa suhu disini. Sebelas derajat celcius. Ugh, nice. Suhu pendingin di ruanganku saja tak pernah menyentuh enam belas derajat celcius.

Sebuah taksi sudah menunggu di depan pintu kedatangan. Aku masuk ke dalam taksi setelah pengemudi taksi meletakkan koperku ke bagasi di belakang. Ia masuk dan menanyakan alamat yang kutuju. Aku memberikan selembar kertas berisi alamat hotel yang kutuju. Ia mengangguk paham dan mulai menyetir. Meskipun tubuhku sedikit lelah dan mengantuk, aku masih cukup semangat untuk melihat-lihat ke jalanan.

London sangat bersih dan teratur. Walaupun jalanan luas bercabang di kiri kanan, namun aku tetap menemukan pepohonan rindang di sisi jalan. Bangunan-bangunan yang ada di sepanjang jalan ketika kami mulai memasuki wilayah perkotaan, tepatnya di daerah Chelsea, memiliki bentuk yang seragam dan sama, dengan gaya reinassance yang memberi kesan Eropa yang kental.

Perjalanan dari bandara Heathrow London menuju hotel yang sudah dipesan kak Rigel untukku menghabiskan waktu sekitar 45 menit. Taksi yang kutumpangi berhenti tepat di sebuah bangunan tinggi yang berada di pinggir jalan, tanpa pagar dan halaman. Aku turun dari taksi dan melihat tulisan besar yang ada di gedung tersebut. Ini adalah hotel yang kutuju. Supir taksi menurunkan koperku disambut oleh pelayan hotel yang berdiri di pintu masuk sedari tadi. Aku menatap sekeliling hotel. Ada sebuah taman kecil di seberang hotel ini. Tempat yang akan kutinggali selama seminggu ini dikelilingi dengan pertokoan dan café. Kurasa kak Rigel menemukan tempat yang tepat untukku.

Aku masuk dan menyerahkan selembar kertas kepada resepsionis. Ia mencatatkan kertas yang berisi pesanan milikku dan meminta seorang bellboy untuk membawakan barang sekaligus mengantarku ke kamar. Aku berterima kasih dan mengikuti bellboy tersebut menuju lift. Kami naik ke lantai empat dan berhenti tepat di depan kamar nomor 403. Setelah dibukakan pintu, bellboy tersebut menyerahkan kunci kamar dan membiarkanku masuk. Ia meninggalkanku setelah meletakkan koper di samping lemari.

Kamar ini cukup luas, terlebih untukku seorang diri. Aku terkagum dengan nuansa elegan yang menyelimuti kamar ini. Sebuah balkon dengan pintu kaca terletak tepat di samping tempat tidur, mengarah ke taman di depan hotel. Entah kak Rigel memang tahu seperti apa hotel ini, atau ia memang tahu seleraku, yang pasti aku merasa sangat berterima kasih padanya karena telah memilihkan tempat yang tepat untukku. Aku merebahkan diri di tempat tidur. Perjalanan panjang yang melelahkan ini sedikit terbayarkan dengan suasana yang sangat nyaman dengan tentram. Perlahan, aku mulai menutup mataku, melupakan semua pikiran dan lamunan yang sedari tadi memenuhi isi kepala.

Welcome to London, Karina.

***

Renjana Semesta [✔️]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang