Panggilan Maut
"Dia mau ngapain ngehubungin elo, Bro?" Wiki melotot dramatis.
"Kalau dia nggak laporin elo ke polisi, jangan-jangan dia mau membereskan elo diam-diam, Bro?" sambung Nugie.
"Bro, mending lo menyerahkan diri ke polisi aja, deh, daripada mati di tangan cewek galak itu," kata Ramli. "Padahal udah gue jelasin situasi lo yang mengenaskan, tapi dia masih nggak berbelas kasihan sama lo, Bro. Fix, tuh cewek pasti nggak punya hati."
Awan mendesis kesal pada ketiga temannya. Sejak mereka ikut pulang ke kos Awan yang hanya berukuran 3 x 4 meter ini, mereka terus saja mondar-mandir, membuat Awan yang berbaring di tempat tidur kecilnya ini semakin pusing.
Lalu, ia mendengar suara tabrakan dan Ramli bersamaan dengan Nugie mengaduh.
"Ramli! Lo jangan ngelewatin jalur, dong! Jalur lo di kanan, gue di tengah, Wikwik di kiri. Kalau lo ngelewatin jalur, kita tabrakan!" omel Nugie.
"Ya, habis kosannya Awan sempit banget. Luasan juga kamar mandi gue," keluh Ramli.
"Mulut lo minta ditabok, Ram," desis Awan.
"Gini-gini lo bayar kos hasil utang dari gue, Bro," balas Ramli. "Tapi, kalau lo mau pinjam duit buat bayar tuntutan cewek galak itu atau bayar jaminan penjara lo, gue nggak bisa, Bro. Bisa dibunuh Babeh kalau tahu gue main-main di penjara."
"Nggak bakal gue pinjam duit lo buat begituan!" sebal Awan. "Udah lah, mending sekalian gue dipenjara. Biar nggak mikir duit kos atau duit makan."
"Omongan lo, Bro!" tegur Wiki.
Tiba-tiba, terdengar dering ponsel memenuhi ruangan itu. Mereka mengecek ponsel masing-masing satu-persatu. Lalu, Nugie mengambil ponsel di meja dan menatap Awan.
"Ini HP lo, Bro?" tanyanya.
Awan mengangguk.
"Mulut Pedas Level Seribu ini ... siapa?" tanya Nugie lagi.
Awan yang tadinya rebahan, seketika bangun. "Si Adel, tuh! Sini, sini!"
Nugie yang panik melempar ponsel Awan, tapi ponsel itu mendarat di pangkuan Awan, tepat di asetnya. Awan menyumpahi Nugie.
"Masa depan gue, Gie! Sialan lo!" maki Awan.
"Sori, Bro, panik." Nugie meringis. "Tapi, ada yang lebih penting sekarang. Lo nggak bakal sempat mikirin masa depan kalau nyawa lo diambil sama si Pencabut Nyawa itu!"
Awan menarik napas dalam, berusaha meredakan sakitnya, setidaknya menahan erangan kesakitannya, sebelum ia mengangkat panggilan itu.
"Halo?" Awan berbicara dengan nada seberwibawa mungkin.
"Keluar."
"Ha?" Awan bingung. "Keluar apa?"
"Keluar dari bangunan kumuh itu," lanjut suara ketus itu.
Bangunan kumuh? Awan menatap kamar kosnya. Oh, benar juga.
"Kamu di sini? Di kosku?" tanya Awan sembari berdiri.
"Di depan kosmu. Cepat keluar."
Lalu, sambungan telepon diputus. Awan menatap horor ketiga sahabatnya.
"Dia nyuruh gue keluar. Dia di depan katanya," beritahu Awan dengan suara tak kalah horornya.
Wiki pergi ke jendela dan mengintip. Kamar Awan memang berada di ujung depan, dekat gerbang.

YOU ARE READING
Marriage For Sale (End)
RomanceAwan Cakrawala, 26 tahun, lulusan sarjana, pengangguran, tinggal di kamar kos dan bertahan hidup dengan belas kasihan teman-teman atau wanita yang menjadi kekasihnya. Bermodal wajah tampan, Awan yang terkenal playboy mampu menaklukkan hati wanita ma...