Setelah Kepergianmu, Dek (Army)

2.2K 407 141
                                    

It was very painful remembering how her departure had left us and the whole family so devastated.

Waktu kami kecil, gue dan Koko sering memanjat pohon mangga di taman komplek. Alka suka ikut-ikutan, tapi kami selalu melarangnya agar ia tidak terjatuh. 

"Kalau jatuh nanti kita yang diomelin Bunda! Sana main boneka aja sana!" Teriak gue yang sudah duduk di salah satu dahan pohon. 

"Alka tunggu di bawah aja. Nanti Koko yang ambil mangganya buat Alka," sambung Koko yang dengan lincah memanjat pohon lalu duduk di dekat gue. 

"Aku juga mau ikut kayak Koko sama Kak Ami!" Kekeuh si bocil alias bocah kecil berambut panjang itu. 

Gue dan Koko menghela napas pasrah. Kakinya yang masih imut mendaki batang pohon mangga pelan-pelan. Dan... brukk! Dia jatuh terjengkang. 

"Alka!" Gue dan Koko melompat dari atas bersamaan. Sejak kelas 1 SD, gue dan Koko memang dilatih untuk mengikuti serangkaian olahraga fisik, sehingga tubuh kami lentur. Yah, tentu saja Alka tidak ikut latihan berat macam itu. 

Alka menangis. Sikutnya terbentur tanah, tergores bebatuan kecil. Pada akhirnya, kami pulang. Koko menggendong Alka, gue mengoceh sepanjang jalan karena kesal dengar dia menangis terus. 

"Udah, deh. Cengeng banget gitu doang nangis. Mentang-mentang anak bungsu. Manja!" tukas gue. 

"Cup cup cup. Udahan dong nangisnya," kata Koko lebih halus. Di antara gue dan Koko, jelas Koko yang lebih memperlakukan Alka bak putri raja.

Kalau kami bertiga lomba lari, Alka pasti yang paling belakang. Kalau gue dan Koko main play station, Alka cuma jadi penonton. Kalau gue dan Koko berantem, Alka pasti jadi penengah. 

Alka itu yang paling cengeng di antara kami. Fisiknya lemah. Dia nggak bisa berlari sekencang kedua kakaknya. Dia takut bola, makanya dia terbawah di pelajaran olahraga. Dia sering demam. 

Meskipun begitu, kayaknya dia yang paling dewasa di antara kami. Dia yang paling bisa menetralkan suasana kalau gue dan Koko tengah berseteru. Dia yang paling sering membantu Bunda di dapur atau pekerjaan rumah lainnya. Karena sifatnya yang berbeda, dialah yang paling lembut hatinya. 

 Sejujurnya, terkadang gue iri sama Alka. Mungkin karena dia bungsu, jadi sesekali gue merasa... Bunda terlalu menyayangi Alka. Iya, sih, Alka yang paling sering membantu Bunda. Sementara gue bisanya cuma ngerepotin atau bikin Bunda naik darah. 

Gue orang yang nggak terlalu peduli sama hal kayak gitu. But, sometimes... I feel like... yang ada di pikiran Bunda cuma Alka. Alka. Alka. 

"Army? Mana Alka? Kenapa nggak sama kamu?" 

"Army! Kenapa Alka bisa keserempet motor? Kamu jagain dia, kan?"

"Army, kamu itu anak sulung. Kewajiban kamu melindungi Alka." 

"Pokoknya, kalau Alka sampai kepeleset lagi, Bunda bakar play station kamu!" 

"Kamu mau ke mana? Jagain Alka. Jangan main terus."

"Jangan berisik, Army. Alka lagi istirahat." 

Alka lagi. 

Alka terus.

Gue sayang banget sama Alka. Tapi menyadari Bunda selalu menanyakan Alka tanpa menanyakan gue juga rasanya... nggak enak. 

Berhubung gue nggak terlalu ambil pusing masalah itu, ya udah... perasaan 'iri' gue terlupakan begitu saja. Seiring kami sama-sama dewasa. Sama-sama bisa memilih pola pikir mana yang harus kami gunakan. Gue menganggap perkataan Bunda sebagai pembentuk sikap gue sebagai kakak, sehingga gue lebih bertanggung jawab atas adik gue, Alka. Koko nggak termasuk, ya. Dia bisa jaga diri sendiri. Nggak perlu gue lindungi.

ALKA (dan 10 Permohonan)Where stories live. Discover now