Lusa → 28

69.5K 4.1K 250
                                    

Drian berjalan tertatih-tatih ke kamarnya, dengan hati-hati ia merebahkan tubuh di atas tempat tidur. Melepas segala atribut sekolah yang ia pakai kecuali t-shirt putih polos yang melekat di badannya dan celana abu-abu khas anak SMA.

Kejadian siang tadi di jalan raya ketika cowok itu menjadi korban tabrak lari yang untungnya tak berakibat fatal padanya-hanya sekedar keserempet-yang meskipun begitu tetap bukan hal baik karena beberapa bagian tubuhnya penuh luka juga lebam akibat dari motornya yang memepet mobil. Tak lepas dari tangan dan kaki adalah bagiannya yang lumayan parah. Drian harus menahan perih jika berjalan, terutama ketika cowok itu tertatih-tatih ke rumah sakit dan menaiki tangga sampai ia berada di atas ranjangnya kini.

Drian bersyukur karena dirinya masih sehat sampai detik ini.

Besyukur nyatanya helm yang ia gunakan melindungi wajahnya.

Setidaknya dirinya tak harus menjalani rawat inap untuk berada di rumah sakit.

Setidaknya rasa sakitnya kali ini tak lebih sakit dibanding orang-orang yang telah mengalami kecelakaan hebat.

Dan, mungkin rasa sakitnya kini mewakili rasa sakit di hatinya.

Drian mendesah pelan menatap langit-langit kamarnya. Cowok itu mendecak kala merasa bahwa hari ini adalah hari tersialnya, segala sesuatu aktivitas yang ia lakukan dari pagi hingga detik ini merupakan hal sial. Yang membawa bencana untuk dirinya. Bencana ke hati dan sampai pada fisiknya hingga saat ini.

"AW!" Drian mengerang kesakitan merasa bagian kakinya yang terluka ditepuk.

"Ganti baju dulu baru tiduran!" perintah Mama.

"Gimana mau ganti baju, badan sakit semua gini," Keluh Drian, tak beranjak sedikitpun dari posisinya.

Mama mendecak, "Makanya kalo nggak mau badan sakit-sakit gitu jangan ngebut-ngebut kalo bawa motor. Baru ketahuan kan, gimana rasanya."

Wanita itu keluar dari kamar Drian, berniat membawa minuman sekaligus obat dari Dokter yang sudah dibelinya ketika di rumah sakit tadi. Papa Drian masuk ke dalam kamar anaknya bersamaan ketika Mama keluar dari sana.

Ia tersenyum kecil melihat anaknya malas-malasan di atas kasur empuk itu. "Mama kamu tuh khawatir," ujarnya, tak menampik dirinya yang juga khawatir sampai-sampai pulang lebih cepat dari kantor hanya untuk melihat kondisi anaknya ini.

"Ya abis gimana, mobilnya ngebut," elak Drian yang tak menyebutkan alasan lainnya.

Papa duduk di sisi ranjang Drian. "Kamunya juga ngebut?" tebaknya, sementara Drian diam saja. "Jawab! Bener kan?" tanyanya lagi, tangannya memukul pelan kaki Drian yang tadi sempat dipukul Mama.

Drian mengaduh kesakitan untuk kedua kalinya-kecuali bagian dimana dirinya selalu meringis dalam hati tentang betapa sakitnya habis diserempet mobil. Cowok itu menggeser tubuh sedikit menjauh Papa, mengantisipasi serangan kedua dari papanya itu. "Sakit tau ah, orang sakit malah dipukul-pukulin gitu."

"Dasar anak manja! Sakit begini aja nggak bisa ditahan, gimana sakit di hati?"

Drian terdiam. Menatap papanya sebentar lalu mengalihkan pandangan. Cowok itu merasa tertohok atas kalimat yang baru dilontarkan papanya.

Papa mengerutkan dahinya. "Kok diem? Kamu beneran lagi patah hati?"

"Sok tau," elak Drian. "Pa, motornya bawa ke bengkel ya nanti?"

"Kok Papa? Ya itu urusan kamu lah. Yang bikin motor kamu kayak gitu siapa? Kamu kan? Ya urusin aja sendiri," jawab Papa. "Besok kamu mau masuk nggak?"

"Tau ah," kesal Drian.

Papa terkekeh pelan melihat Drian yang ngambek. Pria itu merenggangkan ikatan dasi pada lehernya sambil berjalan keluar kamar Drian.

LusaWhere stories live. Discover now