Episode 27

3.9K 482 18
                                    

Ben mengendarai mobilnya dengan santai menuju rumah sakit. Pagi ini dia sudah bisa menebak apa yang terjadi. Jelas, Renata pasti terkejut mendengar berita kecelakaan pesawat yang ditumpangi Romeo. Butuh waktu untuk mempersiapkan semuanya, Ben harus mengerahkan seluruh anak buahnya agar rencananya menyingkirkan Romeo bisa berjalan dengan baik. Terbukti, laporan dari anak buahnya menyebutkan kecelakaan pesawat karena kelalaian dari pilot dan tenaga teknisi yang bertugas hari itu.

Mobilnya berbelok memasuki area parkir rumah sakit, Ben dengan cepat keluar dari mobil dan menuju ruang rawat Renata. Dia harus ada di sisi wanita itu apapun yang terjadi. Ben harus bisa mengubah pandangan Renata padanya, wanita itu tidak harus menikah dengan Ayah bayinya, Ben juga mau menerimanya, iya, kalau bayi itu bisa lahir.

"Bagaimana kondisinya?" Ben bergerak mendekati Rissa yang duduk di kursi tunggu di depan ruang rawat Renata.

"Barusan Mbak Renata histeris, jadi dokter memberi obat penenang."

Ben diam sesaat. "Aku ingin menemuinya, bisa kan?"

Rissa mengangguk. Gadis itu terlihat lelah, Ben tahu bagaimana menderitanya Rissa dan Rara saat Renata memilih kabur dari akad nikah, kedua gadis itu malu dan Ben juga merasakannya itu tapi, kini dia akan memastikan Renata benar – benar menjadi miliknya.

Ben melangkah perlahan mendekati ranjang Renata, duduk pelan di sisi ranjang, tangannya terulur menyentuh punggung tangan Renata, mengusapnya lembut.

"Kau tidak perlu cemas, Ren. Aku di sini untukmu."

[]

Di sisi lain, di saat Renata terbaring lemah di rumah sakit dan Ben merasakan kebahagiaan karena rencananya menyingkirkan Romeo berhasil. Romeo malah duduk lemas di sofa ruang keluarga rumah Lalitha.

"Anak buahku bilang masalah teknis dan pilot." Ridwan berkata sambil duduk, meletakkan cangkir di depan Romeo. "Kau harus menghubungi Renata. Dia pasti syok..."

"Ya...." lirih Romeo, matanya masih lekat menatap layar televisi yang menyiarkan berita kecelakaan pesawat itu, "Astaga!" erang Romeo mengusap wajahnya frustrasi.

Ridwan menikmati teh paginya, menghirup wangi teh sebelum meminumnya kemudian menatap Romeo. "Kau beruntung sekali, Rome. Kalau semalam kau pergi, kau pasti ada di daftar nama orang – orang yang meninggal itu."

"Ya." Romeo menghela napas, menoleh melihat Ridwan. "Hanya kebetulan atau takdir aku masih hidup sekarang? Dan kecelakaan itu..." Romeo menunjuk layar televisi. "Itu juga takdir atau kebetulan saja."

"Itu pasti di sengaja." Ridwan menjawab dengan yakin, dia meletakkan cangkirnya dan menatap Romeo. "Uang bisa melakukan apapun, Rome. Begitu pula dendam dan keirian."

Kening Romeo berkerut tidak mengerti ucapan Ridwan. "Maksud Mas, apa?"

"Kamu ini benar – benar polos sekali..." Ridwan menggeleng frustrasi. "Apa akhir – akhir ini hubunganmu dengan seseorang memburuk?"

Romeo diam, dia membasahi bibirnya dan menyuruh otaknya bekerja keras mencerna pertanyaan sepupu iparnya itu.

Ridwan mendesah keras membuat Romeo menatap iparnya dengan tatapan ngeri, kemudian Ridwan menepuk bahunya keras, mencengkeramnya sampai membuat Romeo meringis sakit. "Tidak adakah yang kau pikirkan?" Romeo menggeleng polos. "Bagaimana hubunganmu dengan Renata?"

"Baik. Kenapa? Tolong, mas.. jangan membuatku pusing."

"Kau tidak curiga pada sahabatmu itu?"

"Siapa?"

"Ben. Siapa lagi? Pria dengan kedudukan tinggi sepertinya pasti memiliki banyak koneksi untuk melakukan semua ini."

"Jangan bercanda, Mas." Elak Romeo, dia tidak memikirkan kemungkinan itu, karena jelas, itu bukan sifat Ben. Ben, sahabatnya adalah orang baik. Tidak pernah memiliki pemikiran jahat, bahkan sampai merencanakan hal semacam ini, menyebabkan banyak orang tewas.

Wajah Ridwan berubah. "Kita lihat saja. Aku akan terus menyelidiki ini..." Ridwan memotong ucapannya, dia mengatupkan bibir rapat, menilai perubahan mimik Romeo. "Bagaimana kalau kita main drama beberapa episode?" tawar Ridwan, kernyitan di dahi Romeo semakin dalam kemudian meledaklah tawa Ridwan. Bagaimana iparnya ini sangat bodoh.

"Jangan begitu, Mas. Romeo benar – benar kesusahan. Dia itu hidupnya jujur gak kayak kamu yang sukanya main begituan." Lalitha muncul dari arah dapur sambil membawa cemilan, meletakkannya di meja kemudian duduk di sisi Romeo. "Kamu ikut saja rencana Masmu ini. Setelah ini Mbak akan ke rumah sakit."

"Ke rumah sakit?"

Lalitha mengangguk, wajahnya sendu. "Pagi tadi Rissa menemukan Renata pingsan di ruang tengah."

Mata Romeo membelalak kecemasan langsung menghinggapinya. "Aku juga harus pergi."

Tangan Ridwan mencengkeram bahunya lagi, membuat Romeo menoleh pada iparnya itu. "Ikut rencanaku. Sementara biarlah semua orang tahu kamu naik pesawat itu. Kita lihat apa yang akan terjadi."

"Tapi—Renata..."

"Mbak akan stay di samping Renata, memberimu kabar tentangnya. Jangan cemas. Jika memang ini ulah Ben, dia pasti menginginkan Renata."

Romeo mengusap wajahnya frustrasi. "Kenapa Mbak Lalitha juga berpikir begitu? Ben—"

"Sudah..." gertak Ridwan. "Mas harap kamu mau ikuti rencana Mas, Rome. Ini demi kebaikan kamu."

Romeo terdiam kemudian menghela napas. Apa yang sedang dia hadapi sekarang? Romeo hanya ingin dia bahagia dengan Renata itu saja, tapi kenapa semua jadi seperti ini? dan, Ben? Jelas sahabatnya sudah memberi mereka restu, apa benar, Ben bisa setega itu mencoba membunuhnya demi mendapatkan Renata?

[]

Setelah percakapannya dengan Romeo dan suaminya, Lalitha bergegas menuju rumah sakit, di depan ruang rawat Renata ada Rissa dan juga Ben sedang saling berbicara. Lalitha diam di tempatnya dan berpikir, awalnya dia enggan memikirkan kemungkinan Ben ingin mencelakai Romeo, jelas mereka bersahabat baik tapi, ucapan suaminya membuat Lalitha harus berpikir ulang terlebih dulu dia dan Ridwan juga mengalami hal seperti ini.

Batas cinta dan obsesi sangat tipis, sama halnya batas cinta dan benci.

Keduanya sama – sama reaksi ilmiah dari rasa cinta.

Cinta itu buta. Jelas, itulah yang kini dihadapi Ben.

Dia tega menghilangkan nyawa orang – orang tidak bersalah demi melancarkan rencananya membunuh Romeo, beruntung hari itu Romeo bertemu dengan seorang pria, memberikan tiketnya pada pria itu, namun naas, ternyata nyawa pria itu sebagai ganti nyawa Romeo.

Lalitha tidak mau mempercayai hal itu sekarang fokusnya adalah Renata. Dia harus memberitahukan semuanya. Lalitha kembali melangkah, dia menyapa keduanya.

"Kau di sini, Ben?"

"Ya. Aku harus kembali ke kantor, menyelesaikan urusan sebentar. Mau menjenguk Rena?"

"Ya."

Ben mengernyit, Lalitha melihat itu. Ada semacam kekagetan di sana lalu Lalitha menoleh menatap Rissa. "Aku akan menemuinya."

"Tolong jangan ungkit masalah Mas Romeo. Mbak Rena masih belum bisa menerimanya."

"Kau tidak perlu khawatir, Rissa. Suamiku pergi untuk memastikan sendiri itu jenazah adik iparnya atau bukan." Setelah mengatakan itu, Lalitha langsung masuk dan tidak lama kemudian Rissa ikut masuk. Tepat sebelum pintu tertutup, Lalitha melihat dari sudut matanya ekspresi Ben yang membelalak.

Kalau memang benar kau pelakunya, Ben. Aku tidak akan membiarkanmu lolos.

[]

Sweet Dessert [TAMAT]Where stories live. Discover now