♪ ♬ 13 ♬ ♪

4.4K 440 64
                                    

Masih dengan nyawanya yang hilang entah kemana, Alfi hanya bengong menyeruput minuman milkshake stroberinya. Alfi harao minumannya ini bisa mengembalikan moodnya, atau malah nyawanya. Tapi sayang seribu sayang, kenyataan tentang Evan yang sedang menerima telepon dari orang bernama ‘Andre’ itu buat nyawa Alfi enggan kembali. Berakhir, Alfi hanya bengong, menyeruput minumannya dari sedotan, menunggu makan siangnya datang.

Evan sendiri baru mematikan teleponnya, ia kembali melenggang ke mejanya. Terik matahari di luar masih sangat semangat, berlama-lama di luar bisa diyakini akan langsung kena kanker kulit. Terik matahari di siang hari memang tidak ada bagus-bagusnya, ditambah dengan polusi kendaraan. Tidak sehat.

Dilihatnya Alfi hanya bengong, memandang kosong ke arah ruang tempat mereka makan siang hari ini. Senyum Evan mengembang tipis, lalu menggeleng. Ia menarik kursi dan lekas duduk. Ia sendiri sudah lapar sbensrnya, tapi makanannya belum juga datang.

“Motogawa-san bilang, minggu depan mungkin Pak Ridwan udah bisa ikut meeting lagi. Katanya keluarganya di Jepang ada yang sakit, jadi dia harus balik kesana.”

“Hmm.”

“Saya rasa tadi itu bukan teguran buruk, lagi pula mereka bisa ngerti kenapa kamu mendadak kikuk begitu.”

“Hmm.”

“Toh akhirnya kamu bisa juga ngejelasin ke mereka.”

Alfi melirik, seperti terasadar dari lamunan, ia lekas melepas sedotan yang ia gigit-gigit, lalu melengos, “Minggu depang Mas Eldy aja lah kalo yang dateng kayak tadi. Aku harus ngomong apa lagi? Yang ada, bukannya aku sibuk ngejain projek game ini, aku malah sibuk belajar bahasa Inggris, atau malah bahasa Jepang sekalian.”

“Ya bagus kan?”

“Ya iya! Tapi aku udah ketuaan. Gak bisa semuanya langsung ngeresep di otak aku yang super mini ini.”

Evan terkekeh,

“Pak Evan jangan ketawa! Aku kayak tadi karena Pak Evan juga gak bantu aku.”

Tapi ya kekehan Evan harus terhenti karena Alfi sudah lebih dulu menyela protes dengan kekehan Evan. “Bukan gak mau bantu.” Katanya pelan, seraya mengaduk es kopinya, “Saya yakin kamu bisa, kamu cuma gugup, makanya jadi kayak gitu.”

“Ya tau aku gugup, bantuin kek! Ini malah diem, ngobrol sama Si Jepang. Aku kan di studio juga cuma animator, Pak Evan yang harusnya ngehandle meeting, aku yang bantu, kenapa ini jadi kebalik?”

“Hmm.” Evan mengangguk. “Terus?”

“Bukan terus!” dan Alfi malah makin sewot. Rasanya sudah tidak peduli kalau suaranya terdengar meja sebelah. “Bos bilang, mereka suka meetingnya kalo sama aku karena aku pinter ngomong, Mas Eldy sama yang lainnya juga ngomong gitu. Tapi kalo kayak tadi, apa gak bikin kecewa? Malah malu-maluin studio. Ya aku tau, Pak Evan juga gak tau kalo Pak Ridwan gak jadi dateng dan nih orang Jepang malah kumpul. Tapi ya.. seenggaknya bantu aku dikit, aku gagap ngomong ini-itu, aku loading dulu itu si Motogawa ngomong apaan. Aku ngomong di depan mereka kan gak cuma ngomong untuk aku aja kayak lagi sidang skripsi, tapi kan aku juga bawa nama studio. Gimana kalo mereka gak ngerti? Gimana kalo mereka kecewa sama hasilnya? Studio juga yang gimana-gimana.”

“Ya buktinya mereka gak kecewa, mereka masih bilang hasil kerja kalian bagus dan gak ada masalah sama meetingnya.”

“Mereka ngomong begitu karena ada Pak Evan. Coba kalo cuma aku?”

“Ya ngomongnya masih sama. Mau ada saya atau nggak, mereka tetep ngomong kayak gitu.”

Alfi melengos lagi, menarik minumannya dan diseruput kuat-kuat. Sejenak ia sadar Evan pasti tidak akan pernah kalah atau mengalah. Lalu ia juga sadar, kalau ia sudah merahi atasannya sendiri. Sebenarnya Alfi agak bingung ia benar-benar kecewa karena meeting tadi atau ia emosi karena cemburu dengan telepon utnuk Evan, makanya ia lampiaskan dengan mengatakan soal meeting.

Our Secret Way (BL 18+) [COMPLETE]Where stories live. Discover now