Bayu

163 10 2
                                    

Suasana Jogja masih sama seperti dulu, membuat teduh hati yang sedang kalut, menyembuhkan rindu yang tidak pernah putus dan tentu saja kenyamanan yang ditawarkan begitu menjanjikan.

Gue akhirnya kembali ke kota ini. Menunggu gadis yang sama, seperti lima tahun yang lalu. Warung Bakmi Jawa ini menjadi saksi bisu atas ribuan pertanyaan yang selalu ada di benak gue.

"Bayu."

Perhatian gue teralihkan oleh gadis manis yang duduk di depan gue saat ini. Masih sama seperti dulu, senyum manisnya nggak pernah lepas dari perhatian gue.

"Kamu apa kabar? Lama banget ya nggak ketemu."

Gue tersenyum. "Kamu sih Na, aku tunggu di Jakarta nggak pernah dateng."

"Kamu kira jarak Jogja-Jakarta cuma 2 kilo?" Wina tertawa sambil geleng-geleng kepala. "Sekarang sibuk apa?"

"Sibuk mikirin kamu."

"Aku serius tanya."

"Aku juga serius jawab." Gue tersenyum, kemudian mengacak pelan rambut Wina. Satu kebiasaan yang paling gue kangenin.

Siapa sih yang nggak gemas sama Wina? Rasanya bahkan gue pengen gigit itu pipinya yang gede, mirip bakpao yang sering gue beli tiap pagi. Padahal dulu waktu kuliah, gue kesel banget sama dia. Asli!

Setiap gue presentasi, Wina nggak pernah absen dari daftar orang-orang yang mengajukan pertanyaan ke kelompok gue. Mana susah banget pertanyaannya. Udah gitu, selalu gue yang berani jawab pertanyaan Wina. Karena lama-lama ngerasa kesel juga itu anak selalu tanya setiap kelompok gue presentasi, gue balik tanya waktu kelompok dia presentasi. Tapi bukannya seneng karena berhasil bales Wina, tuh anak malah lancar banget jawab pertanyaan gue.

"Harusnya, kamu itu ngajak aku kesini besok malam." Wina menepikan helaian rambut ke belakang telinga, sambil mengarahkan pandangannya ke ruang kosong tidak jauh dari penjual bakmi.

"Kamu lagi banyak koreksian tugas?"

"Enggak. Kalau besok minggu, kita nggak cuma makan bakmi aja disini. Tapi juga nonton live music disana."

"Sekarang ada kayak gitu juga disini?"

"Iya. Udah lama sih, makanya aku sering kesini kalau hari minggu. Jadi, selain perut kenyang tapi pikiran jadi relax dan mata jadi lebih segar."

"Segar?"

"Vokalis-nya cakep."

Gue menjitak dahi Wina dengan pelan. "Cakep menurut kamu itu standar. Aku kasih tahu definisi cakep yang sesungguhnya."

Wina menunggu jawaban. Rautnya tampak jenaka dengan senyum tersungging di wajahnya yang manis. Melihat itu, gue mengeluarkan ponsel, membuka galeri dan menunjukkan foto yang gue maksud ke Wina.

"Halah!" dia mengibaskan tangan. "Percaya diri kamu tuh tinggi banget dari dulu. Nggak pernah berubah."

Gue tertawa. Walaupun Wina sukses bikin gue kesel setiap presentasi, tapi dia juga sukses bikin hari-hari gue berwarna.

Udah bucin belom?

Udah kan?

Namanya juga sayang. Mau dibilang bucin juga, selow ae dah.

"Karin udah mau nikah, Bay."

"Karin siapa?"

"Karina." Karena gue masih aja bengong-bengong bego, Wina membuka ponselnya dan menyodorkan undangan online yang dikirim via email beberapa hari yang lalu. "Karina Prameswari. Kita pernah satu kelompok penelitian dulu."

Setelah melihat undangan, gue mengangguk paham. "Tapi aku nggak bisa dateng."

"Iya-lah. Orang akad nikah masih bulan depan. Kamu juga udah pulang."

"Tapi aku bisa kok izin nggak masuk kerja sampai bulan depan."

Wina menatap gue horror. "Kamu mau nggak digaji alias dipecat?"

Gue tertawa melihat ekspresi gadis itu yang kelewat serius sama omongan gue barusan. Wina emang gitu, itu anak walaupun pinter tapi nggak jago bercanda. Serius deh.

Detik selanjutnya, gue lihat Wina cemberut. "Kamu jangan keseringan bercanda, Bay. Hidup kalau bercanda terus, kapan seriusnya?"

"Kita boleh serius, Win. Tapi sesekali bercanda juga perlu. Semua ada porsinya masing-masing." Gue menyeruput teh manis hangat yang baru saja tersaji di meja.

"Iya deh. Aku kalah kalau debat sama kamu. Nggak pernah menang."

Seketika gue keselek. "Nggak kebalik nih?" yang ada justru gue selalu kalah debat sama Wina. Nih anak nggak mungkin lupa sama argumen yang dia perjuangin mati-matian di kelas waktu diskusi. Gue akui, waktu itu argumen dia emang logis dan realistis. Gue aja yang egois, nggak mau kalah dari Wina.

"Kalau kamu... kapan nikah Bay?"

Gue keselek lagi. Sedangkan Wina justru tampak tidak sabar menunggu jawaban gue atas pertanyaan dia barusan.

"Belum ada calon." Jawab gue apa adanya.

"Oh."

"Cuma oh?"

"Terus maunya aku jawab gimana?"

Gue menghela napas. Baru aja ketemu, nggak boleh ada berantem lagi diantara gue sama Wina.

"Bayu."

"Hm?"

"Soal pertanyaan kamu waktu kita wisuda dulu..." ucapan Wina menggantung. Gue melirik gadis itu yang terlihat gelisah saat akan menyelesaikan ucapannya.

"Nggak usah dipikirin. Untuk sekarang, kamu udah mau ketemu sama aku aja udah lebih dari cukup."

Bayu & WinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang