1.

6.6K 290 9
                                    

Kafe sore ini lumayan ramai, banyak orang yang datang untuk memesan kopi atau hanya memesan air putih dan lebih memanfaatkan akses internet gratis yang lumayan cepat. Dua alasan itu sudah cukup untuk dapat masuk ke dalam kafe ini. Tapi berbeda dengan dua manusia berjenis kelamin sama, namun latar belakang dan profesi yang berbeda.

Aiko meletakkan cangkir kopi kembali ke atas meja, ia menatap temannya yang sedari tadi meletakkan kepala di atas meja. “Kalo cuma mau tiduran mending balik ke apart sana.”

Vivi mendengus sebal, ia menegakkan tubuhnya, operasi selama 7 jam hari ini benar-benar menguras tenaganya. “Brisik.” Ketusnya.

“Aturan kalo lo capek, harusnya lo gak ngajak gue keluar.”

“Suntuk di apart sendirian.”

“Makanya cari pacar, kelamaan jomblo sih.”

“Lu bacot bener, ya.”

Aiko tertawa kecil, mengejek temannya adalah sebuah hiburan bagi dirinya sendiri. Vivi mengambil ponselnya saat mendengar dering ponsel yang lumayan keras. Vivi mendengus sebal, ia mengarahkan ponselnya ke wajah Aiko.

“Baru aja istirahat, udah dapet tugas negara aja.” Ucap Vivi

Aiko terkekeh, ia menepuk pundak Vivi beberapa kali, “Emang udah kewajiban lo, kan, buat nolongin orang.”

Vivi mengerucutkan bibirnya, ia menggeser tombol hijau lalu mendekatkan ponsel ke telinganya. “Iya.”

Maaf mengganggu waktu istirahat anda, ada korban kecelakaan lagi.” 

Vivi menganggukkan kepalanya, “Saya segera ke sana.” Ucapnya kemudian memutuskan sambungan telpon.

“Selamat mengemban tugas, dokter.”

Vivi terkekeh, ia mengenakan jaket coklat miliknya, meraih kunci motor yang diatas meja kemudian berlalu sambil mengatakan, “Tolong bayarin, ya.”

“Bener-bener lu,” gumam Aiko.

Vivi memacu motor beat hitam miliknya, sesekali ia menguap karena rasa kantuk yang terus saja menyerangnya. Seharusnya tadi ia memesan kopi hitam tanpa gula bukannya malah memesan coklat panas. Tapi ia sendiri juga tidak tau kalau setelah ini ada pasien yang harus ia operasi lagi.

Vivi berlari masuk ke dalam rumah sakit dan langsung disambut beberapa perawat, ia memberikan jaket dan helmnya untuk disimpan oleh perawat itu. Sementara ia mengganti pakaiannya dengan pakaian khusus bedah.

“Maaf mengganggu anda kembali, dok.” Ucap salah satu perawat. Vivi menganggukkan kepalanya. “Bacakan kondisinya.”

Perawat itu mengangguk dan mulai membacakan identitas pasien yang akan dioperasi, Vivi mendengarkan sambil ia mengganti bajunya. Setelah itu ia meminta agar pasien itu dimasukkan ke dalam ruang operasi. Pasien kali ini seorang perempuan berusia 64 tahun menjadi korban kecelakaan mobil, dengan pendarahan di dada pasien.

3 jam berlalu, namun operasi belum selesai, Vivi meminta agar perawat mengelap keringat yang keluar di wajahnya. Sarung tangannya sudah berlumuran darah, ia terus berusaha semaksimal mungkin, karena ia adalah seorang dokter bedah.

"Dok, kondisi pasien semakin menurun." Ucap seorang perawat yang sedari dari memantau lewat monitor.

Vivi berdecak kesal, disaat seperti ini ia tidak boleh panik, ia harus tetap tenang. Ia menghela satu napas panjang kemudian kembali melanjutkan pekerjaannya.

"Dok, kondisi pasien sangat parah."

Vivi mendongakkan kepalanya, ia melihat layar monitor. "Bu, berjuanglah. Bertahan sedikit lagi." Teriak Vivi kepada pasien yang  ia operasi.

KidneyМесто, где живут истории. Откройте их для себя