31. Naima Rosdiana

1.1K 123 2
                                    

⁠۝ ͒ ⁠⁠۝  ⁠⁠۝ ͒

Hal pertama yang bisaku tangkap untuk saat ini adalah senyum manis yang dihadiahkan Ezard setiap pagi. Disaat aku belum sepenuhnya terjaga, lelaki itu malah menyatukan hidungnya dengan hidungku. Lalu mengacak rambutku yang mungkin benar-benar berantakan saat ini.

"Sekarang kau persis seperti kerbau." Laki-laki itu mengejek. "Tidur dimana saja, bahkan kau juga tidur di toko bunga yang pintunya tidak dikunci."

Aku hanya diam. Masih dengan tubuh yang rasanya remuk, hancur berantakan; seperti ditimpa beban berat.

"Ayo pulang. Kasur kita lebih empuk dari kursi kayu ini."

Waktu terus berjalan. Semakin lama aku semakin menyadari bahwa ia adalah satu-satunya orang yang tidak ingin kubiarkan hilang dari hidupku. Aku mencintainya sejauh ini, terus berlari ke arahnya dengan langkah yakin.

Aku tidak aku pernah sudi kehilangannya dengan alasan apapun. Tapi sampai detik ini pun, di detik dimana ia menatapku dengan senyuman paling hangat sekalipun, aku masih tidak bisa membayangkan bagaimana akhir dari ceritaku dan ia.

Satu hal yang kuketahui secara pasti; bahwa aku mencintainya dengan segenap jiwa dan ragaku.

Dan masalahnya; aku tidak tahu apakah Ezard mencintaiku atau tidak.

"Apa kau baik-baik saja?"

Aku masih diam. Membiarkan ia bicara dengan angin malam. Sementara mataku tak berhenti menatap matanya yang berkilau. Ia selalu kelihatan tampan walau dengan rambut berantakan sekalipun; khas orang pulang kerja.

Kelihatannya, ia belum sempat berganti pakaian. Mungkin saat sampai di rumah dan tidak mendapatiku disana ia langsung  memutar mobilnya dan menyusulku ke toko.

"Sayang." Ia memulai lagi. Sedang aku masih tetap diam. "Kau sakit?"

Aku tidak pernah tahu, apakah kehangatan ini akan berlangsung seumur hidup atau hanya beberapa bulan ke depan. Tetapi jika boleh meminta, aku ingin momen ini menjadi milikku dan Ezard selamanya.

Aku ingin dia terus disampingku. Menanyakan hari-hariku. Menceritakan tentang perkembangan bisnisnya sekalipun aku tidak paham. Demi Tuhan aku siap mengorbankan segala yang kupunya agar tetap menjadi yang paling ia butuhkan dan ia ingat.

"Nai. Apa yang kau pikirkan?"

Lelaki itu kemudian mengusap lenganku dengan halus. Tangannya yang hangat mampu mengusir dingin di sekitar sana. Lalu, ia membuka jasnya dan menyelimuti punggungku.

Tiba-tiba hatiku terasa begitu sakit dan dilanda rindu berat. Aku juga dengan bodohnya menjatuhkan air mataku, tanpa ekspresi apapun. Aku tidak tahu jika air mata ini adalah paling tepat untuk menumpahkan segala sesak di dalam dadaku. Tetapi untuk saat ini, aku benar-benar tidak bisa menahannya.

Ini lebih baik dari mencaci Ezard dan membabi buta padanya. Ia pasti lelah, tidak ingin berdebat. Begitu pun dengan aku, aku benci setiap kali bertengkar dengannya dan meributkan hal-hal yang tidak seharusnya kami ributkan.

Sesaat setelahnya, Ezard merengkuh tubuhku dengan lembut. Membawaku ke pelukannya yang hangat. Pelukan yang selalu kurindukan dimanapun aku berada. 

Aku yakin ia bisa merasakan getaran di tubuhku saat aku memutuskan untuk menangis tanpa suara. Rasanya takut, dan ketakutan itu menjelma menjadi air mata.

Aku tahu bahwa pertengkaranku dengan Ezard beberapa menit yang lalu hanya mimpi, tetapi rasanya seperti nyata sehingga sakitnya masih membekas sampai detik ini.

Meski elusan tangan Ezard yang hangat di punggungku cukup menenangkan, tetapi segala kemungkinan buruk tidak bisa kutepiskan dari pikiranku ini.

"Aku tidak ingin bercerai." Aku tersedu-sedu saat mengatakannya.

Season With You || Lee Jeno [✓]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora