Kamu berikutnya...

7.9K 402 21
                                    

Hah! Hah! Hah! Nafas menggebu terdengar saling bersahutan. Kaia, Septa, dan Mbah Kasmirah memacu diri secepat yang kaki mereka bisa lakukan, menyusuri jalan hutan yang gelap. Suara jangkrik, serigala, dan hewan-hewan lainnya terdengar sayup karena suara nafas mereka sendiri yang terdengar begitu nyaring menelan semuanya. Sambil menarik gagang kopernya yang sudah terasa mulai longgar mau terlepas karena dipaksa ditarik dan berjalan di atas jalanan tak rata, Kaia menoleh ke belakang dan melihat keadaan. Gelap. Tapi, mereka sudah cukup jauh berlari meninggalkan desa Mbah Kasmirah itu. Kalau begini terus, mereka pasti bisa kabur tanpa tertangkap! Apalagi kalau misalkan anggota keraton itu tidak menyadari adanya jalan di belakang gudang.

Hah... Hah... "Tungguh... Hah... Hah..." Mbah Kasmirah berhenti berlari lalu terduduk menyender ke pohon. Keringat mengalir deras dari wajah keriputnya. Wanita tua yang masih berpakaian adat itu nampak bernafas terbata-bata, sangat kelelahan. "Sudah... Hah.. Hah... Mbah hanya memperlambat kalian. Kalian pergi duluan saja!" Seru Mbah Kasmirah sambil menatap Kaia yang menggelengkan kepala lalu mendatangi dirinya yang terduduk itu.
"Enggak!" Sahut Kaia yang sama-sama juga bernafas terbata-bata. "Kami enggak akan ninggalin Mbah di sini!" Kaia sebenarnya juga lelah terus berlari tanpa henti entah sudah berapa lama. Melihat Mbah Kasmirah yang sudah berumur dan mampu mengikutinya selama ini sudah sangat menakjubkan. "Kita sudah pergi cukup jauh. Kayaknya mereka juga enggak ngikutin kita. Bagaimana kalau kita istirahat sebentar?" Tanya Kaia berbalik menghadap Septa. Cowok itu juga terlihat berkeringat dengan bahu naik turun mengambil nafas.
Hah... Septa menghembuskan nafas merilekskan tubuh, melihat di jalanan hutan yang gelap di belakangnya tampak sunyi, tak ada sosok yang mengejar. "Oke, kita istirahat 5 menit." Kaia pun menganggukinya.

Bruk... Gadis itu ikutan terduduk menyender di pohon lalu menaruh kopernya di samping. Sambil beristirahat dan mengatur nafas, Kaia menunduk teringat ucapan Lulu. Sahabatnya itu malam ini genap berusia 18 tahun, dan Lulu akan bernasib sama seperti Kaia tengah malam nanti. Kaia melihat jam di Hpnya, masih ada belasan menit sebelum waktu tengah malam, dan gadis itu pun menyetel alarm tepat di waktu itu. Apa yang akan terjadi dengan Lulu? Apa dia beneran akan diambil Ratu? Apa enggak ada yang bisa kulakukan untuk menolongnya!? Kaia menggigit bibir. Dia merasa tidak nyaman dengan apa yang sedang ia lakukan saat ini. Dia merasa buruk. Memilih nyawanya sendiri dan membiarkan sahabatnya itu nanti mati pada tengah malam nanti serasa menggerogoti lehernya.

Tap... Septa datang menepuk pundak Kaia. Melihat gadis itu menunduk murung sepertinya membuat Septa tahu apa yang ada di dalam kepala Kaia saat ini, "Nyawamu adalah milikmu. Kamu tidak jahat karena memilih hidupmu sendiri. Jangan merasa buruk." Kaia menganga kaget, tidak percaya melihat Septa bisa bersikap hangat seperti ini. Pipi gadis cantik itu tersipu merah dan ia pun tersenyum lebar.
"Ehehe... Tumben." Kaia cengengesan.
"Huh? Apanya?" Septa yang tidak mengerti mengkerutkan alis. Wajah Kaia yang duduk di bawah sana tersenyum lebar merah merona. Nafas gadis itu sudah tenang dan tenaganya sedikit terisi. Srek... Kaia pun berdiri siap melanjutkan perjalanannya. Hyu... Namun tiba-tiba, leher Kaia terasa dingin dan bulu-bulu di tubuhnya merinding. Gadis itu tahu ada yang tidak beres. Sesuatu. Sesuatu sedang datang.

"A- Apa yang...." Kaia dengan gelisah melihat ke sekeliling hutan gelap tempatnya berada. Ludahnya tertelan dan hawa buruk yang membuat merinding itu makin kuat sampai pahanya gemetaran. Dedaunan hijau yang sekarang hitam tak bercahaya bergerak tertiup angin tak kasat mata yang tak terasa berhembus. Ranting-ranting pohon bergetar seperti tangan-tangan kurus berkuku tajam yang sedang bersorak menyambut sesuatu. "Huh!?" Kaia kaget melihat sebuah sosok putih tiba-tiba terbang begitu cepat di atas langit. Mendapati keadaan itu, Mbah Kasmirah juga segera berdiri menemukan kekuatannya kembali. Pohon di hutan makin ribut diukuti suara-suara jangkrik dan lolongan serigala yang makin nyaring. Hingga tiba-tiba semua menjadi hening.

Panggilan Ratu Laut SelatanWhere stories live. Discover now