🌠 5

1.4K 209 109
                                    

Apa?! Kamu yakin baru saja menanyakan itu? Kamu tahu itu cuma film yang diangkat dari sebuah novel fiksi 'kan? Hinata, apa yang kamu pikirkan?

Jawab saja pertanyaanku, Gabby. Sejujurnya aku sempat mengira demikian. Yah, kita semua tahu tak jarang sebuah film maupun novel dibuat berdasarkan kisah nyata.

Tapi, tidak untuk kisah Alice. Kita berdua tahu bahwa itu hanya fiksi bergenre fantasi. Kita menontonnya karena kamu sangat menyukai tema sejenis. Aku sungguh tidak punya alasan dalam memikirkan pertimbanganmu. Biasanya kita juga bisa melihat keterangannya apakah cerita tersebut berdasarkan fakta atau murni imajinasi si pengarang, dengan kata lain adalah fiksi.

Perdebatan kecil tadi pagi masih terus berputar di benak dia. Hinata kini tengah duduk sendirian di ruang kerjanya, berbekal kilas balik percakapan dia bersama Gabriella. Kisah Alice di dalam film 'Don't Ever Leave' sepenuhnya sudah memengaruhi pikirannya hingga dia tiada pernah cukup untuk menelaah kebenaran/kepastian narasi yang sejatinya hanyalah berasal dari tulisan seorang pengarang.

Hinata merasa jika kehidupan Alice di dalam cerita begitu mirip dengan kenyataan dia alami. Tanpa disengaja alam bawah sadarnya menyetujui serta menginginkan alur serupa dapat terjadi padanya, agar dia mampu membenahi adegan-adegan yang dia anggap sebagai sebentuk kegagalan. Betapa serius wanita ini mempertimbangkan kemungkinan kosong sekian, bahkan tak menyadari perguliran waktu meninggalkan dia selama dua jam. Beruntung di antara kinerja dunia khayalnya, sedikit pengunjung datang sekadar meminjam buku atau duduk mampir demi menikmati suasana tenang di saat membaca membaca.

Sejurus kemudian Hinata beranjak, mengabaikan beberapa lipatan detik bergumul dengan nalarnya. Dia terjebak terlalu jauh pada dunia Alice, hingga memimpikan segala yang menurut dia merupakan keberuntungan si tokoh utama di dalam film/novel. Meski lambat, kedua tungkainya diayun menuju koridor di tengah-tengah barisan rak tinggi nan padat oleh sekumpulan buku dengan penyesuaian tema tertentu. Dia berlanjut melangkah ke belakang ke bagian terujung deretan rak seakan akalnya baru saja meyakinkan sepenggal ingatan yang pada sekon berikutnya menjelma bak solusi brilian.

"Aku harus mengambil buku kosong itu sebelum orang lain menemukannya lebih dulu." Mendadak Hinata sangat bersemangat, mengembangkan sudut-sudut bibirnya tatkala pandang menemukan sebuah rak tua berisi buku-buku usang pula. Dia yakin pernah melihat sebuah buku unik peninggalan penulis tersohor pada abad ke 19. Geraknya kian tergesa ketika sepasang tangannya tampak gemetar melirik satu-persatu bagian depan buku seraya tetap merapikan susunannya. "Isi rak ini selalu sama sejak bertahun-tahun. Buku itu pasti masih di sini." Saking terburu-buru dia, banyak buku lawas berjatuhan, mengakibatkan sekitarnya berdebu dan Hinata refleks terbatuk-batuk. Bertepatan dia sedang mengatasi reaksi tenggorokannya yang sensitif terhadap kehadiran partikel halus semacam, tatapan Hinata tertuju pada salah satu buku di permukaan lantai. Buku itu berada di tumpukan teratas, terbuka menampilkan halaman kosong ganda. "Akhirnya aku bisa melakukan sesuatu dengan buku ini," katanya sambil memungut buku kosong dengan senyum semringah.

Sejemang berselang Hinata dikejutkan dering ponselnya yang entah kenapa tiba-tiba menimbulkan bunyi cukup mencekam. Sampai-sampai dia mempercepat pijakan kaki untuk bisa segera kembali ke tempat semula, tak lupa genggamannya mencengkam erat buku kuno ke dadanya.

"Halo, Hun--maaf karena terlambat menjawab teleponmu. Ada sedikit pekerjaan di rak belakang."

"It's okay, sayang. Aku hanya ingin memberitahu sesuatu, aku baru saja mendapatkan klien. Ada meeting ringan serta perkenalan di jam tiga nanti. Setengah jam lagi dari sekarang. Jadi, aku terpaksa menitipkan Sunny kepada Nyonya Samantha. Aku sangat ingin menunggumu hingga pulang. Tapi, hal itu akan berdampak pada etos kerjaku dan kepercayaan klien juga otomatis berkurang. I'm really really--"

"Tidak, Hun. Tindakanmu sudah benar. Kita sering menitipkan Himawari pada Nyonya Samantha. Dia menyukai Himawari. Aku pikir ini bukanlah perkara yang patut dipermasalahkan. Aku ikut senang untuk projek barumu, semoga berhasil."

"Terima kasih. Kamu selalu mendukungku. Tolong ingatkan aku supaya mengambil tiket liburan panjang untuk kita bertiga setelah projek ini selesai. Bye, sayang."

"Be careful on the road dan kamu juga jangan mengebut." Hinata tertawa kecil begitu menerima ungkapan cinta dari seberang sana.

Tak pelak sejenak dia hanyut oleh euforia yang diciptakan suaminya, memandang penuh makna ke layar ponsel. Sekali tarikan napasnya lumayan panjang mengudara, melepaskan seluruh keraguan. Berujung dia kukuh hendak mencoba peruntungan layaknya Alice. Dia enggan siapa pun apa saja mengusik keharmonisan pernikahannya, termasuk kehadiran Roseanna yang sekilat langsung menyebar teror terhadap kepercayaan diri dia. Namun, Hinata melupakan satu ihwal penting di mana Alice melewati serangkaian ritual untuk memuluskan rencana dalam mengubah setiap adegan yang dia kehendaki di selingkaran kehidupannya.

-----

Di lokasi berbeda, Naero terperangah dini dia tiba di salah satu resto cepat saji yang belum lama cukup terkenal di kalangan para pekerja dan tenaga ahli. Banyak di antara beragam profesi menjadikan tempat ini sebagai sarana pertemuan semi resmi. "Rose, kamu?!"

"Hai, kamu datang tepat waktu. Silakan duduk, Naero." Dengan kerutan tajam di dahinya, pria ini menghampiri.

"Kenapa kamu yang di sini?"

"Tenanglah, mungkin kamu sedang mencari bosku. Dia pria yang tadi berbicara denganmu di telepon. Dia ada urusan di toilet." Mau tak mau, di dalam kebingungan Naero memutuskan untuk menerima ajakan Roseanna. Dia memilih duduk di hadapan mantan kekasihnya itu.

"Kamu bekerja pada Mr. Smith?"

"Uhm, yah. Haruskah kamu kaget seperti itu?!" Roseanna meluapkan responsnya mengenai gelagat canggung yang diperlihatkan Naero. "Aku tidak menyimpan maksud tersembunyi, walau kamu secara sepihak membatalkan pertemuan kita. Apa yang bisa aku perbuat jika kamu memang ingin menolaknya?!" Seringai muncul di wajah cantik Roseanna, kontras dengan sorot kekecewaan di sepasang beningnya manik hazel.

"Aku harap kamu mau mengerti keputusanku. Barangkali kamu atau aku menganggap mudah sepenggal harapan pribadi. Sayangnya, sulit sekali menerapkan opini ini padaku yang tidak lagi hidup sendiri--Rose, aku memiliki keluarga. Dan mereka prioritasku, aku tidak bisa bersikap seenaknya." Pernyataan Naero disambut erangan halus dari pernapasan Roseanna. Wanita itu enggan mengalihkan perhatiannya, betah beradu tatap dengan pria yang dahulu merajut kasih asmara bersama dia.

"Sungguh sesukar itu, Naero? Kamu tidak memberiku kesempatan walau hanya untuk berbicara. Sekalipun aku bilang aku akan menikah dan butuh seseorang berpengalaman serta bersedia berbagi padaku. Kukira hubungan kita tak sebatas mantan kekasih. Kita pernah dekat dalam ikatan persahabatan, apakah menurutmu wajar bila semuanya berakhir dalam artian betul-betul usai? Segitu burukkah berteman denganku?!"

"Roseanna--" Naero mengerang kasar, menundukkan sekejap kepalanya dan berkata, "Tolong pisahkan urusan pribadi dan pekerjaan. Kita sudah sangat dewasa untuk dapat profesional. Berapa lama aku perlu menunggu bos ..."

"Selamat sore, Mr. Naero." Selanjutnya, Naero berikut Roseanna pun serentak menengok ke sosok pria berpenampilan formal ini.

"Mr. Smith?!" Dan Naero tentu berhasil menebaknya dengan sangat gampang. Pria itu mengangguk.

Continue...

Banyak kesibukan belakangan hari dan book ini yang pertama kali aku pegang untuk update.
Semoga kalian selalu sehat dan bahagia. ;))

Remake It to Me (FREE)Where stories live. Discover now