Secret 17 - Who Would Have Thought

2K 152 9
                                    

"Warteg Mulya apa makan di resto padang depan kampus?" tanya Jeno pada keenam temannya yang lain. "Gue jujur lebih prefer ke resto padang soalnya pengin makanin rendang sama daun singkong rebusnya itu lho, gais. What do you think?"

Renjun yang tengah memasukkan binder ke ranselnya mendesah lesu. "Gue mager banget ngeluarin motor terus ke depan cuman buat makan siang. Yang deket-deket aja kenapa, No?" Sekedar informasi mata kuliah Pak Johnny baru saja selesai, sekitar beberapa menit lalu. Banyak anak kelas sama kayak mereka ngediskusi, jika sekarang mau makan apa dan dimana, sama teman-teman terdekat—geng mereka.

Keempat kating yang selama mata kuliah duduk di depan mereka sudah siap pergi dengan ransel disampirkan dibahu mereka masing-masing. "Bro, besok-besok gue sama anak-anak duduknya di sini lagi, ya. Hampura pisan tolong bookingin."

*(Hampura pisan : Tolong banget)

Permintaan Lucas disambut gerak hormat dari Nana. "Iya gampil, kang. Gue sama yang lain kalau kelas memang selalu duduknya di belakang sih. Mager, males, sama nggak mau jadi pusat perhatian atau jadi tumbal dosen kalau ada apa-apa."

*(gampil : gampang)

Aheng menjentikkan jarinya. "Nah, bener. Cowok mah pasti disuruh ini dan itu. Infokus nggak nyala, pasti dosen nunjuk anak cowok paling depan suruh betulin kenapa nggak bisa nyala. Padahal mah kan, kita anak Psikologi bukan mekanik."

"Kayak gue, anjir," nimbrung Mark sambil tertawa. "Pas jaman masih awal-awal kuliah duduknya di depan disuruh ambil modul ketinggalan, inilah, itulah."

"Untungnya, lo bertemen sama kita-kita, yang suka duduk di belakang," ujar Dejun baru sekarang ikut nimbrung di obrolan. "Jadi babu dosen lo lama-lama kalau gak kenal sama kita-kita. Gue bilang juga ikut aja sama kita biar gak disuruh terus."

Renjun berdecak mendengar perkataan kakak tingkatnya itu. "Kalau kalian-kalian sama kita, kalian bakalan tau kalau di sini, gue doang yang selalu ditumbalin. Ditumbalin nanya ke dosen, masuk ruang dosen duluan, nyontek tugas, laporan..."

"Sing ikhlas atuh, Jun." Kata Yangyang, seraya menyenggol bahunya. "Gue cuman mau bilang, itu risiko lo sih, salah sendiri jadi anak terpinter di angkatan."

*(sing : yang)

Mark ikut setuju dengan apa kata Yangyang. "Yoi, bro. Seriusan gue begitu juga." Lagi, Mark kembali tertawa. Untung aja orang ini pintar, kalau tidak, selesai.

Mark berdeham karena sudah kebayakan tertawa sendiri. "Waktu itu aja pas nilai PIO keluar di portal seangkatan pada nanya tuh nilai gue berapa mengingat di semester empat gue sekelas sama mereka bertiga juga kan, sama Bu Jisa." Reynand Mark menggeleng mengingat keadaannya kala itu. "Gue dapet C, padahal gue sama sekali gak pernah ngaret, tugas kekumpul terus, kuis juga nggak jelek-jelek amat."

"Pada gempar, gais," sahut Lucas. "Tapi pas diriungin di grup angkatan, gak ada kaprodinya, ternyata emang si Bu Jisa ngasih C sama nilai E doang, kejam."

"Banget, kang," ucap Jeno seraya mangut-mangut. "Untung sama Pak John. Gue kira Bu Jisa nggak akan sesadis itu. Nasib temen seperantauan gue, si Eric bisa-bisa jadi ancaman, anjir. Itu anak PIO-nya dipegang sama Bu Jisa. Udah, kelaaarr."

Sekedar informasi sebelum mengenal Menteng, Jeno berteman juga dengan Eric, mereka anak Psikologi yang sama-sama merantau dari Makasar. Tapi bedanya kalau Jeno ngekos di kosan punyanya Juragan Soman, Eric milih nyantren aja, gitu katanya waktu Jeno tanya. Eric memang anak baik-baik, alim belum tau hal gelap.

"Kasih tau aja ke temen lo, Jen. Siap-siap ngulang atau minimal kayak Mark sama Dejun yang cuman ngulang tapi tetep aja, deng," ujar Aheng dramatis. Aheng melihat anak-anak Menteng. "Yaudah dah, kalau gitu kita cabut dulu mau makan."

How to Keep This Secret? [KDY-END]Where stories live. Discover now