~Cause I'm not fine at all~
Semua pasang mata membulat takjub melihat rumah bak istana di hadapan mereka. Bangunan bernuansa emas itu berdiri tegak diterpa sinar mentari siang seoalah-olah menyambut kedatangan para tamu. Nata berjalan di samping Nela, sahabatnya, sambil memijat-mijat tangan kanannya yang masih sulit digerakkan. Beruntung tangan kirinya bisa kembali normal dengan cepat, jadi kepanikannya dapat berkurang.
Situasi riuh langsung tercipta saat mereka semua menginjakkan kaki ke dalam bangunan megah itu, menuju halaman belakang tempat diadakannya party ala kadarnya. Sang pemilik rumah hanya bisa mengelus dadas melihat tingkah absurd temannya yang tak pernah berubah. Tetap rusuh, tetapi justru hal seperti ini yang mereka rindukan, bagai ditarik kembali memasuki ruang kenangan putih abu-abu. Senyum tipis terbit di wajah Nata sembari duduk di salah satu kursi besi bercat putih gading setelah tiba di tempat tujuan.
Dari tempatnya sekarang, ia dapat melihat Tirta dengan jelas sedang bercengkrama bersama teman-teman yang lain. Gadis ber-headban cokelat itu memiringkan kepala, atensinya tetap berfokus pada seorang cowok, bagai disihir ia mengembangkan senyum. Ia tidak ingin momen ini cepat berlalu agar rindunya bisa terbayar tuntas untuk pemilik hati yang tak pernah mengetahui arti sikap berbedanya selama ini.
"Kalau boleh meminta, gue pengen terus tukar kabar sama lo, Ta," ucap Nata dengan raut sendu.
Seketika pikirannya melayang pada memori beberapa saat lalu, di mana percakapan antara dirinya dan Tirta berlangsung.
"Kalau lo gak dapat tantangan berarti lo gak mau chat gue?"
"Bener."
"Gak ada salahnya jalin silaturahmi."
Nata tergelak mengingat ucapan terakhir Tirta. "Jalin perasaan sama gue juga bisa, kok, Ta," ungkapnya sambil terkikik geli. Namun, aksinya tidak berlangsung lama ketika ia mengingat sesuatu.
"Idih, gue gak mau jadi PHO. Gue baru inget kalau Tirta punya Disya." Helaan napas kecewa langsung meluncur dari bibir. Seharusnya ia tidak melupakan kenyataan pahit itu.
Ponsel di genggaman Nata bergetar menandakan pesan masuk. Gadis itu mengangkat tangan kirinya ke hadapan wajah hingga menampilkan layar ponsel yang berpendar. Netranya seketika membulat saat membaca si pengirim pesan. Ia mencari keberadaan orang itu di sekitarnya, tetapi tidak berhasil. Lagi, ponselnya bergeter dan menampilkan pesan dari pengirim yang sama.
Tirta: Balkon.
Sontak ia mendongak, detik itu juga ia melihat kehadiran Tirta seorang diri di lantai dua rumah ini. Dari atas, laki-laki itu memberi kode pada Nata untuk menghampirinya, tetapi yang dikode hanya diam mematung. Tirta mendengkus seraya mengetik pesan. Detik berikutnya ponsel Nata kembali bergetar.
Tirta: Gue pengen ngomong sama lo, tapi gak lewat chat.
Sebelum menghampiri Tirta, Nata memandang sekeliling. Teman-temannya terlihat sibuk satu sama lain. Ia membuang napas pelan, jantungnya kembali berdetak tidak karuan. Tangannya perlahan berubah suhu menjadi dingin. Kalau sudah seperti ini, tidak ada cara lain selain berubah menjadi sosok kaku dan cuek di depan cowok itu agar kegugupannya dapat tersamarkan.
Gadis berkaus cokelat dan bercelana jins seperempat itu bangkit dari tempat duduk, lantas berjalan menghampiri Tirta di balkon. Akan tetapi, langkahnya terhenti saat ingin memijakkan kaki ke anak tangga pertama. Nela menghadangnya dan menarik tangan Nata untuk bergabung bersama teman-teman yang lain.
"Tunggu, La. Gue ada urusan bentar, pengen cari jaringan di balkon, soalnya jaringan gue ilang kalau di sini." Ia merapal doa di dalam hati, berharap Nela percaya padanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jurnal Biru ✓
Teen FictionNata melempar jurnal birunya kesal. Bagaimana tidak, usahanya untuk melupakan Tirta semakin sulit ia lakukan. Semakin ia ingin menjauh maka semakin Tirta menariknya. Hingga Tuhan pun membantu Nata untuk benar-benar menjauh dari Tirta saat cowok itu...