~Kepada ilusi, 'trima kasih atas perihnya pengharapan~
Nata mendecap. "Lepasin tangan lo," suruh Nata.
"Gak! Sebelum lo mau jadi pacar gue." Arsyad memandang Nata penuh harap. Menjelang dua tahun mengenal Nata dan selama itu pula ia mendamba pada gadis itu. Entah sebanyak apa lagi ungkapan perasaan yang Nata butuhkan untuk membuktikan ketulusannya.
"Sor--"
"Sori, gue gak bisa," putus Arsyad. Ia lalu tertawa hambar sembari mengalihkan tatapannya pada Nata.
"Lo pengen bilang itu, kan?" Arsyad tidak tahu harus bertindak seperti apa lagi untuk meluluhkan hati Nata. Gadis itu selalu menolaknya di saat banyak hati yang berharap pada Arsyad.
Tarikan napas lelah meluncur dari bibir cowok berumur dua puluh tahun itu. Ia berusaha meredam inginnya agar tidak merusak pertemanannya dengan Nata. Akan lebih menyakitkan jika gadis di sebelahnya ini tak menganggapnya sebagai teman.
"Lo harusnya suka sama orang yang benar-benar suka sama lo, Sat," komentar Nata. Sejujurnya ia sedikit tertampar dengan perkataannya sendiri. Hal yang sama juga menerpa dirinya. Ia mencintai seseorang yang jelas-jelas sudah bersama orang lain.
"Nasehat lo, kok, cocok banget buat lo, Nat?" Itu bukan suara Arsyad. Dua manusia berbeda jenis kelamin itu sontak menoleh ke belakang, melihat ke arah sumber suara.
Sepersekian detik, Nata melayangkan umpatan dalam hati. Ingin sekali rasanya Nata menjambak rambut panjang Ivy yang tergerai indah. Bukan hal baik jika Arsyad mengetahui bahwa ia juga berada di posisi yang sama dengan cowok itu. Mungkin Arsyad akan semakin berjuang untuk menggenggamnya dan Nata tidak menginginkan hal itu, atau dirinyalah yang terlalu percaya diri.
Nata hanya ingin terbebas dari bayang-bayang Tirta yang membelenggunya selama hampir lima tahun. Anehnya, semakin ia mencoba untuk menjauh, Tirta pasti akan kembali. Seperti sekarang, ia harus membantu cowok itu untuk memata-matai Disya.
Tolol memang, tetapi ia tidak bisa menolak. Permintaan hati dan tindakannya tak pernah sejalan jika berhadapan dengan Tirta. Maka dari itu ,ia tidak ingin Arsyad semakin terluka karena dirinya.
"Maksudnya apa, Vy?" tanya Arsyad penasaran. Nata menatap Ivy dengan tatapan tajam, berusaha mengancam sahabatnya.
"Gue pengen ngumpulin tugas temen-temen, nih. Jadi ketua tingkat, kok, kayak kutu loncat. Kemana-mana mulu. Lo pikir kampus ini luasnya kayak lapangan bola?" omel Ivy sembari menyerahkan setumpuk makalah pada sang ketua tingkat.
"Gue pamit, mau masuk kelas," potong Nata dan langsung berlalu dari sana untuk menghindari rasa ingin tahu Arsyad. Dalam hati, Ia berharap agar Ivy tidak mengatakan sesuatu yang bisa membongkar rahasianya. Sahabatnya itu terkadang tidak menggunakan rem saat berbicara, selalu membuatnya ketar ketir.
***
Tirta: Lo masih di kampus?
Tirta langsung membalas pesan Nata setelah keluar dari ruang kuliah. Matanya melirik jam di ujung layar ponselnya. Pukul 16.30. Tirta kembali mengetik pesan untuk Nata karena gadis itu hanya membacanya.
Tirta: Gue ke kampus lo sekarang.
Setelah memastikan Nata membacanya, ia langsung berderap cepat ke area parkiran dan melajukan motornya dengan kecepatan sedang. Selama di perjalanan, pesan dari Disya selalu membayangi pikirannya. Katanya, ia tidak sedang bersama siapa-siapa. Namun, pada kenyataannya Nata mengirimkan pesan berbeda dari pernyataan Disya.
Sementara di lain tempat, Nata menangis sesegukan di rooftop gedung kuliahnya. Beruntung, kampus sudah semakin sepi saat ia kembali ke sini dalam keadaan kacau. Ia butuh ketenangan untuk meredam kesedihan di hatinya.
Nata bahkan tidak peduli dengan pesan masuk dari Tirta. Ia tidak berminat bertemu siapapun sekarang. Hembusan angin menerpa wajahnya yang dibanjiri air mata. Kejadian saat di toserba kembali berseliweran di otaknya.
Bentakan sang ayah kepada ibunya langsung menyambut kedatangannya di toserba setelah menyelesaikan kuliah siangnya. Kata-kata kasar ayahnya terus terngiang-ngiang. Ia kerap kali mendengarnya dan selalu membuat hatinya sakit. Bagaimana dengan keadaan ibunya yang menjadi objek umpatan-umpatan kasar itu?
Nata menghela napas lelah. Apakah jin pemantik emosi setelah lelah bekerja memang sekurang ajar itu? Nata semakin terisak. Ia tidak bisa berbuat banyak selain lari dari keributan keluarganya.
"Ayah dulu gak suka marah-marah. Kenapa sekarang jadi kayak gitu," adu Nata pada langit Jakarta yang tampak mendung.
"Nat, gue tau lo nangis." Nata sontak menghentikan isakannya saat mendengar suara cowok dari belakangnya. Ia mendengus kasar. Sekarang kegiatan menangisnya terganggu karena kehadiran seseorang.
"Dari mana lo tau kalau gue di sini?" ucap Nata dengan nada berat.
"Gue gak sengaja liat lo nangis dan ngikutin lo sampai sini," jawab cowok itu.
"Harusnya lo gak ke sini, harusnya lo gak gangguin gue, harusnya lo gak kenal gue, Sat," keluh Nata. Ia ingin membentak cowok yang kini berdiri di sebelah kanannya, tetapi tenaganya sudah habis terkuras oleh emosi.
Arsyad tertegun. Nata memang tidak memarahinya, tetapi melihat gadis itu berucap dengan nada putus asa ternyata cukup membuatnya merasa bersalah. Akan tetapi, Arsyad melakukan itu semua karena ia peduli pada gadis itu.
"Maaf, Nat. Tapi gue peduli sama lo,"
Nata tertawa pelan. "Percuma lo peduli sama gue karena gue gak bakalan pernah mandang lo sebagai orang spesial," ungkap Nata tanpa memedulikan perasaan cowok di sampingnya.
Lagi dan lagi, Arsyad kembali ditampar kenyataan bahwa Nata tidak akan pernah memberikannya kesempatan untuk memperjuangkan gadis itu. Ia menoleh ke samping. Cowok itu tidak melihat kehadiran Nata di sana, ia lalu berbalik ke arah pintu masuk rooftop, ternyata Nata sudah tidak terlihat oleh netranya.
Nata melangkah lebar-lebar keluar dari gedung perkuliahan. Sepi adalah atmosfer yang menyambutnya kala menyusuri koridor, jadi ia tidak perlu bersusah payah menyembunyikan air matanya. Ia berhenti melangkah saat merasakan getaran ponsel di saku tas punggungnya. Dalam hitungan detik, benda pipih itu sudah berpindah ke tangan Nata.
Nama Tirta berpendar di layar gawai berwarna putih itu. Nata tak berminat menjawab panggilannya, ia pun membiarkan alat komunikasi itu bergetar dalam genggamannya.
"Sori, Ta. Gue lagi gak pengen diganggu," lirih Nata sembari berlalu ke parkiran kampus dengan air mata terus berderai.
Tirta berdecak. Ia menatap sekitar parkiran yang masih menyisakan beberapa kendaraan di sana. Dari penglihatannya, ia masih melihat mobil sang pacar terparkir di antara mobil yang ada. Tirta mengernyit saat melihat seorang gadis di sebelah kirinya tengah bersiap-siap untuk melajukan motornya. Entah sejak kapan gadis di sebelahnya ini berada di sana. Merasa mengenal gadis itu, Tirta akhirnya menyapa.
"Nata?" Gadis itu sontak menghentikan kegiatannya.
Jantung Nata berpacu hebat. Ia sangat mengenal suara ini. Tiba-tiba ia mengingat sesuatu, pesan dari Tirta bahwa cowok itu sedang menuju ke sini. Kedua tangannya berubah menjadi dingin. Ia tidak siap bertemu dengan siapapun sekarang, apa lagi Tirta! Cairan bening pun masih meluncur bebas dari kedua matanya.
Beruntung ia sudah mengenakan helmnya. Namun, usahanya sia-sia kala cowok di sebelahnya menaikkan kaca helmnya begitu cepat. Alhasil, wajah berantakannya pun terekspos.
"Lo nangis?"
📘
The sixth day ODOC wH
.
.
Aku pun mulai oleng😅😂
KAMU SEDANG MEMBACA
Jurnal Biru ✓
Teen FictionNata melempar jurnal birunya kesal. Bagaimana tidak, usahanya untuk melupakan Tirta semakin sulit ia lakukan. Semakin ia ingin menjauh maka semakin Tirta menariknya. Hingga Tuhan pun membantu Nata untuk benar-benar menjauh dari Tirta saat cowok itu...