Part 8

39 10 0
                                    

Jessica mengaduk minuman sachet rasa matcha dengan pelan, kemudian menyeruputnya lewat sedotan.

"Je, lo beneran enggak belajar? Gue kok meragukan ya?"

Jessica menghela nafasnya lelah. Lala dan rasa keingintahuannya yang kuat, seringkali membuatnya kewalahan kalau ditanyai masalah seperti ini.

"Gue enggak belajar La. Semalem gue nyusun buku, terus iseng buka sedikit. Cuma bolak-balik doang, gue aja enggak tahu sekarang materi apa," jelas Jessica.

Setelahnya tidak mengumpulkan tugas, Jessica malah disuruh mengerjakan tugas di papan tulis. Sebenarnya ia tahu, Hari tidak menyukainya.

Maka dari itu, guru itu memberinya soal dari materi yang belum dijelaskan. Namun, ia berhasil menjawabnya.

Tentu saja, hal itu membuat gurunya dan teman-teman sekelasnya itu melongo. Baru tahu mereka, kalau Jessica secerdas itu.

Lala memicingkan matanya, lalu kembali menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi kantin.

"Kenapa gue enggak dilahirkan dari keluarga Dharmawan aja? Biar jadi cerdas gitu," gerutunya.

Jessica meringis.

Jangan, La. Lo bisa mati stres kalau lahir dari keluarga ini, batinnya.

Jessica menyuapkan sebuah bakso masuk ke dalam mulutnya dengan pelan, menikmati raut Lala yang terlihat kesal dengannya.

Suara tarikan kursi membuat mereka menoleh. Sosok Jevano dan Dean yang ternyata ingin duduk bersama mereka.

"Hai, La. Sorry ganggu kalian. Kita cuma mau duduk sambil ngobrol. Udah lama 'kan kita enggak ngantin bareng ya, Je?" ujar Jevan sembari duduk di samping Jean.

Sehingga posisinya menjadi Jessica berhadapan dengan Lala, sedangkan Jevan berada di sisi kanan Jessica, serta Dean yang di sisi kirinya.

"Kamu makan batagor? Enggak pakai bumbu kacang 'kan?" tanya Jessica.

Jevan memiliki alergi dengan kacang-kacangan. Sekali tak sengaja makan kacang, maka tumbuh bintik-bintik kemerahan di kulitnya. Yang paling parah, Jevan harus dirawat di rumah sakit.

Jevan mengacak rambut kekasihnya itu pelan. Merasa gemas dengan rasa perhatian dan raut cemas perempuan ini.

"Aku pakai saus nih. Tapi, masih enak kok. Mau nyoba?" Jevan menyodorkan sesuap batagor ke mulut Jessica.

"Kamu harus kurangin minum-minuman sachet kayak gini, Je. Enggak baik kalau keseringan minum manis. Nanti aku bawain matcha bubuk aja, jangan diminum pakai gula. Yang pahit-pahit gitu baru sehat," nasehatnya.

Jessica cemberut, membuat Jevan semakin gemas.

"Plis deh, Van. Lihat-lihat tempat dong, pacaran mulu!" seru Dean yang diangguki Lala.

"Sirik aja lo. Makanya cari cewek sana!" balas Jevan kesal.

Dean menepuk bahu Lala. "Ngapain cari cewek? Ini ada yang nganggur."

Jessica menyeringai menatap sahabatnya yang tengah malu-malu kucing. Menatap Lala versi SMA juga nampaknya sangat seru dibanding ketika ia dewasa.

Sebenarnya, Jessica sendiri terbawa suasana masa SMAnya kembali. Ia kembali bersikap cuek dan terkesan sombong. Dan lagi, bersikap bar-bar.

"Udah deh, malesin banget diginiin."

***

"Je, kamu tahu 'kan, kalau aku cuma mencintai kamu?"

Jessica menoleh, menatap wajah kekasihnya yang telah bersamanya sejak tahun lalu. Ia merasa bingung, kenapa tiba-tiba membahas ini?

"Ya?"

Jevan menggenggam tangannya dengan lembut. "Aku enggak ingin main rahasia-rahasiaan. Kalau ada sesuatu yang mengganjal, kamu bisa cerita. Kamu ngerti, 'kan?"

Jessica mengangguk, namun matanya menatap Jevan menyelidik. Ia merasa aneh dengan perilaku Jevan, mereka 'kan baik-baik saja. Seharusnya, ia masih belum mengetahui kabar pengkhianatan ayahnya sekarang. Jadi, apa maksud Jevan berbicara begini?

"Kamu kenapa Van? Kok malah ngebahas rahasia. Rahasia apaan coba?" tanya Jessica pura-pura tidak mengerti. Memang sekarang belum waktunya ia mengetahui tentang itu, 'kan?

Jevan menghela nafasnya.

"Kamu mengerti maksud aku, Je. Kamu bukan seperti Jeje yang aku kenal dulu. Beberapa hari ini, kamu berubah," ujarnya.

Jessica merasa jantungnya berdegup kencang. Apa yang dimaksudnya itu dia yang kembali ke masa sekarang, berbeda dengan dulu? Jadi, dia mencurigainya yang tiba-tiba berubah?

"Aku berubah bagaimana?"

Jevan menatapnya dengan tatapan yang tidak terbaca. "Selama ini kamu acuh dengan sekitarmu, tiba-tiba saja mengurusi urusan orang lain. Senyum, tawa, dan cara kamu bersikap, seperti bukan Jessica."

Sungguh, Jessica benar-benar dibuat pusing dengan maksud Jevan. Apa dia lebih menyukai sifatnya dulu? Nakal, jahat, sinis, begitu?

"Kamu bicara jangan muter-muter deh. Aku bingung. Maksud kamu, aku bukan Jessica apa?" tanyanya.

Jevan mendengus. Itu adalah pertama kalinya, Jessica melihatnya kesal. Kenapa? Apa keputusannya salah untuk mengubah nasibnya?

"Kamu cemas. Semua sikap kamu sama aku, seperti ditahan dan seolah cemas akan sesuatu. Makanya aku tanya, apa kamu merahasiakan sesuatu?" tanya Jevan kesal.

Terlalu banyak rahasia, bahkan, ia sendiri pun bingung harus mengatakan apa.

Sepertinya ada yang aneh di sini. Apa kedatangannya kemari membuat banyak hal yang seharusnya terjadi berubah, sesuatu yang seharusnya tidak terjadi pun terjadi?

"Kamu ingin aku mengatakan rahasiaku? Lalu, kamu akan percaya?"

Jevan mengangguk. Sungguh, ia merasa ada yang ganjal dengan hubungannya. Jessica bukan lah seperti remaja yang menjadi budak cintanya seperti dulu. Sekarang, menjadi berjarak dengannya.

"Kalau aku bilang, aku ingin mengubah takdirku ... apa kamu percaya?" tanya Jessica lagi.

Kenapa jadi membahas takdir?

"Kamu membahas perubahan sikapku. Dan aku hanya jujur, alasannya karena aku tidak ingin terjebak kembali seperti apa yang sudah aku alami ...." Jessica menghela napas.

"Kamu sebelumnya bilang bahwa kamu cinta aku? Kalau begitu, bagaimana jika kamu tahu ibu kamu, berselingkuh dengan papa aku? Kamu masih mencintai aku?" lanjutnya dengan kedua mata berkaca-kaca.

Jevan menahan napasnya. "Apa?"

Jessica melepaskan tautan tangan mereka, kemudian berdiri dari duduknya. "Aku tahu jawaban kamu, makanya aku minta maaf Jevan, atas semuanya. Aku berpikir, bisa memperbaiki hubungan kita agar semua tidak seperti yang kualami di masa depan. Tapi, aku sadar, bahwa aku tidak bisa seenaknya mengubah masa depan."

Ia berbalik, kemudian berjalan pergi meninggalkan Jevan dengan perasaan bingungnya.

Jessica mempercepat jalannya, ia memegang dadanya yang berdenyut sakit. Rasanya sama seperti saat mereka putus di saat dulu.

Ia salah telah beranggapan bahwa ia bisa mengubah takdir. Nyatanya, ini semua adalah kehendak Tuhan.

Sekuat apa pun ia berusaha, nyatanya Tuhan tidak mengizinkannya bersama Jevan. Lalu, apa lagi yang bisa ia lakukan?

Tetapi satu hal yang harus ia lakukan. Mungkin hubungannya memang tidak bisa diperbaiki, tetapi, keluarganya.

Mungkin, Tuhan masih berbaik hati dengannya dengan memberinya kesempatan untuk bersama keluarganya.

Inilah alasannya. Alasan mengapa ia dikembalikan ke masa lalu.

Bukan untuk menyesali masa lalu. Bukan juga untuk kembali bersama lelaki yang dicintainya.

Tetapi, untuk memberinya kesempatan memperbaiki diri dan berusaha lebih baik lagi. Dengan diberi kesempatan bersama keluarga dan kembali merasakan hangatnya keluarga.

Terima kasih, Tuhan.

[#4] Back To DesemberWhere stories live. Discover now