8. Cakra Night

31 6 3
                                    

"Namanya Julaibib radhiallahu 'anhu (RA), begitulah ia dipanggil. Namanya menunjukkan kalau ciri fisiknya yang kerdil dan pendek. Julaibib hadir ke dunia tanpa mengetahui siapa ayah dan ibunya. Demikian pula orang-orang, semua tidak tahu, atau tidak mau tahu tentang nasab Julaibib. Padahal, bagi masyarakat Yatsrib (Madinah), tidak bernasab dan tidak bersuku merupakan aib yang besar. Tampilan fisik dan keseharian Julaibib yang lusuh menjadi alasan orang lain tidak mau dekat-dekat dengannya. Wajahnya sangar, pendek, bungkuk, hitam, dan fakir. Kainnya usang, pakaiannya lusuh, kakinya pecah-pecah tidak beralas. Atau, bisa dibilang compang-camping. Tidak ada rumah untuk berteduh, tidur hanya berbantalkan tangan, berkasurkan pasir, dan kerikil. Tidak ada perabotan, minum hanya dari kolam umum yang diambil dengan telapak tangan.

Suatu hari, Abu Barzah, pemimpin Bani Aslam, sampai-sampai berkata tentang Julaibib, "Jangan pernah biarkan Julaibib masuk di antara kalian! Demi Allah jika dia berani begitu, aku akan melakukan hal yang mengerikan padanya!" demikianlah keadaan Julaibib kala itu. Miris. Namun, Allah berkehendak menurunkan rahmatNya, Julaibib menerima hidayah, dan dia berada di barisan terdepan dalam salat maupun jihad. Meski hampir semua orang tetap memperlakukannya seolah ia tiada, namun tidak demikian dengan Rasulullah SAW, sang Rahmatan lil'alamin.
Julaibib yang tinggal di shuffah Masjid Nabawi, suatu hari ditegur oleh Rasulullah. "Julaibib…", begitu lembut beliau SAW memanggil, "Tidakkah engkau menikah?"
"Siapakah orang yang mau menikahkan putrinya dengan diriku ini Ya Rasulallah?" kata Julaibib tersenyum. Tidak ada kesan menyesali diri atau menyalahkan takdir Allah pada kata-kata maupun air mukanya. Rasulullah SAW juga tersenyum. Mungkin memang tidak ada orang tua yang berkenan pada Julaibib. 

Hari berikutnya, ketika bertemu dengan Julaibib, Rasulullah kembali menanyakan hal sama. "Julaibib, tidakkah engkau menikah?" Dan Julaibib menjawab dengan jawaban yang sama. Tiga kali, tiga hari berturut-turut. Dan pada hari ketiga itulah, Rasulullah memegang lengan Julaibib dan membawanya ke salah satu rumah seorang pemimpin Anshar. "Aku ingin menikahkan putri kalian," kata Rasulullah pada si pemilik rumah. "Betapa indahnya dan betapa berkahnya," demikian respons pemilik rumah dengan wajah berseri-seri, mengira bahwa sang Nabi lah calon menantunya. "Ooh.. Ya Rasulullah, ini sungguh akan menjadi cahaya yang menyingkirkan temaram di rumah kami." "Tetapi bukan untukku," kata Rasulullah. "Ku pinang putri kalian untuk Julaibib," tegas Rasulullah. "Julaibib?" ucapnya tak percaya, nyaris terpekik ayah sang gadis. "Ya. Untuk Julaibib." jawab Rasulullah. "Ya Rasulullah. Saya harus meminta pertimbangan istri saya tentang hal ini," kata ayah sang gadis. "Dengan Julaibib?" Istrinya menjawab, "Bagaimana bisa? Julaibib berwajah lusuh, tidak bernasab, tidak berkabilah, tidak berpangkat, dan tidak berharta. Demi Allah tidak. Tidak akan pernah putri kita menikah dengan Julaibib."

Perdebatan itu tidak berlangsung lama. Dari balik tirai sang putri berujar: "Siapa yang meminta?" Kemudian, sang ayah dan ibunya pun menjelaskan.
"Apakah kalian hendak menolak permintaan Rasulullah? Demi Allah, kirim aku padanya. Dan demi Allah, karena Rasulullah yang meminta, maka tiada akan membawa kehancuran dan kerugian bagiku."kata sang gadis. Sang gadis salehah itu lalu membaca ayat (yang artinya):

"Dan tidaklah patut bagi lelaki beriman dan perempuan beriman, apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan lain tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan RasulNya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata". (QS. Al-Ahzab: 36)

Setelahnya, Nabi dengan tertunduk berdoa untuk sang gadis salihah itu. “Ya Allah, limpahkanlah kebaikan atasnya, dalam kelimpahan yang penuh berkah. Jangan kau jadikan hidupnya payah dan bermasalah," demikian doa indah Rasulullah. Maka benarlah doa Nabi SAW. Tak lama kemudian Allah karuniakan jalan keluar baginya. Kebersamaan di dunia ternyata tidak ditakdirkan terlalu lama. Meski di dunia sang istri salehah dan bertaqwa, tapi bidadari telah terlampau lama merindukannya di Surga. Merindukan Julaibib. Julaibib lebih pantas menghuni surga daripada dunia yang tidak bersahabat padanya.

Story of MadrasahWhere stories live. Discover now